Cari

“Santri Bicara Perdamaian, Dunia Masih Perang: MQK Internasional 2025 Jadi Simbol Islam Ramah?”



Schoolmedia News Wajo == Ribuan santri, ulama, dan masyarakat tumplek blek di Pesantren As’adiyah, Wajo, Sulawesi Selatan, Kamis (2/10/2025). Suasana riuh tepuk tangan, lantunan salawat, hingga tabuhan musik tradisional Bugis-Makassar menandai dibukanya Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Internasional 2025. Untuk pertama kalinya, ajang kompetisi membaca kitab kuning yang selama ini dikenal sebagai “ruh intelektual pesantren” menjangkau level dunia.

Menteri Agama Nasaruddin Umar, yang hadir langsung membuka acara, menyebut momentum ini sebagai babak baru diplomasi budaya pesantren Indonesia. “MQK bukan sekadar perlombaan, tetapi ruang silaturahmi ulama, santri, dan akademisi lintas negara. Kita ingin menunjukkan Islam Indonesia yang rahmatan lil-‘alamin, ramah, dan penuh persaudaraan,” ujarnya.

Dengan mengusung tema “Merawat Lingkungan dan Menebar Perdamaian”, MQK Internasional 2025 menekankan relevansi turats—khazanah klasik Islam—dengan tantangan global. Dalam sambutannya, Menag menyoroti ancaman perubahan iklim yang lebih mematikan dibandingkan perang.

“Jika perang menelan 67 ribu korban jiwa per tahun, maka perubahan iklim merenggut hingga empat juta jiwa per tahun. Ini harus menjadi perhatian kita. Perilaku manusia yang tidak benar terhadap alam adalah akar masalahnya, dan agama harus mengambil peran di sini,” tegasnya.

Nasaruddin bahkan memperkenalkan konsep ekoteologi, gagasan kerjasama spiritual antara manusia, alam, dan Tuhan. “Kemenag ingin mensponsori apa yang kami sebut ekoteologi. Inilah saatnya ajaran kitab kuning digali untuk menjawab isu lingkungan,” tambahnya.

Pembukaan MQK berlangsung meriah dengan penampilan seni budaya Bugis-Makassar oleh santriwati, diiringi orkestra tradisional. Ribuan pasang mata menyaksikan perhelatan yang disebut Menag sebagai “sangat bersejarah.”

Sebanyak 798 santri semifinalis dari seluruh Indonesia beradu intelektualitas bersama 20 peserta dari tujuh negara ASEAN, sementara Thailand dan Filipina hadir sebagai observer.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menambahkan bahwa MQK tahun ini menandai tiga hal penting: untuk pertama kalinya berskala internasional, pelaksanaannya sepenuhnya berbasis digital, dan diselenggarakan di kawasan Indonesia Timur.

Selain perlombaan, MQK juga dirangkaikan dengan agenda Pramuka Santri, Expo Kemandirian Pesantren, Halaqah Internasional, hingga Gerakan Ekoteologi. Malam harinya, digelar Night Inspiration dengan penampilan musisi seperti Veve Zukfikar, Raim Laode, Arda Naff, dan Budi Doremi.

Di balik kemeriahan ini, MQK Internasional juga menjadi ruang refleksi atas kondisi Islam di dunia. Saat sebagian wilayah Timur Tengah masih didera konflik sektarian, dan Islam kerap dipersepsikan secara negatif di Barat, pesantren Indonesia mencoba menghadirkan wajah lain: damai, inklusif, sekaligus solutif terhadap isu global.

Namun tantangan besar tetap terbentang. Persoalan toleransi di tingkat lokal masih kerap memunculkan gesekan antarumat beragama, bahkan antar sesama umat Islam sendiri. Di tingkat global, Islam kerap diposisikan dalam bayang-bayang ekstremisme. Dalam konteks ini, MQK Internasional bisa menjadi diplomasi lunak (soft diplomacy), meski butuh konsistensi nyata di lapangan, bukan hanya simbolisme festival keagamaan.

Menutup sambutannya, Menag mengingatkan kembali kejayaan peradaban Islam klasik. “Sejarah mencatat pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lahir ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Farabi, hingga Ibnu Rusydi. Kita berharap MQK Internasional bisa melahirkan generasi baru yang bukan hanya piawai membaca kitab, tapi juga memberi solusi atas tantangan zaman,” ujarnya.

Acara pembukaan ditutup dengan penanaman pohon di halaman Pesantren As’adiyah—sebuah simbol sederhana, namun kuat, tentang hubungan iman, ilmu, dan ekologi.

Sebagai ajang internasional perdana, MQK memang sukses menghadirkan wajah Islam Nusantara yang moderat. Namun, pertanyaan krusial masih menggantung: mampukah pesantren dan Kemenag mengawal ajaran toleransi hingga menembus sekat politik identitas di dalam negeri? Dan sejauh mana ekoteologi yang digagas benar-benar bertransformasi menjadi aksi nyata, bukan sekadar jargon akademik?

MQK Internasional 2025 menjadi pintu. Tapi pintu itu hanya berarti jika ada langkah nyata melangkah ke dalamnya—menuju Islam yang ramah lingkungan, toleran, dan mampu memberi solusi atas krisis global.

Lipsus Sebelumnya
Lonjakan Harga Pangan dan Kelangkaan BBM: “Sentakan” terhadap Inflasi dan Panggilan Aksi Mahasiswa dan Sipil

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar