Schoolmedia News Medan == Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kembali menggelar sosialisasi Tes Kemampuan Akademik (TKA) di Medan. Ratusan siswa SMA dan SMK memadati aula kegiatan, mengikuti simulasi TKA yang akan dilaksanakan secara resmi pada November mendatang.
Suasana hangat terlihat sepanjang acara. Beberapa siswa menyambut optimistis, terutama setelah mendapat penjelasan bahwa TKA akan menjadi sertifikasi kompetensi akademik yang bisa dipakai bukan hanya untuk melanjutkan pendidikan, tetapi juga untuk keperluan seleksi kerja, hingga TNI, Polri, dan CPNS.
Namun di balik semangat itu, muncul pertanyaan besar: apakah TKA memang solusi yang dibutuhkan pendidikan Indonesia, atau sekadar rebranding Ujian Nasional yang dulu ditinggalkan?
Bagi siswa seperti Nur Hassanah dari SMA Muhammadiyah 18 Sunggal, TKA memberi jawaban atas keresahannya. Ia semula bingung soal ketidaksamaan standar nilai rapor antar sekolah, tetapi kini merasa lebih yakin karena TKA berfungsi sebagai validator.
Namun ada juga suara cemas. Marcelino dari SMA Dharma Pancasila mengaku khawatir menghadapi tes baru ini. Meski simulasi daring memberinya kepercayaan diri, ia menilai persiapan tetap penuh tekanan. Kekhawatiran berbeda datang dari Kesia Lisa Putri (SMA Santo Thomas 2 Medan) yang menyoroti potensi kecurangan.
Sementara itu, guru dan kepala sekolah justru melihat TKA dari sudut pragmatis. Fadhli Hazmi Arifin, Kepala SMK Muhammadiyah 9 Medan, menyebut TKA penting karena sertifikatnya bisa dipakai lintas keperluan. Krisda Fadila, guru SMKS SPP Snakma Muhammadiyah, bahkan menilai TKA akan membangun budaya belajar lebih terukur.
Perbandingan TKA Dengan Tes Sebelumnya
-
Ujian Nasional (UN): memberi standar nasional, tapi dikritik karena menimbulkan tekanan psikologis dan hanya mengukur kognitif hafalan.
-
Asesmen Nasional (AN): hadir sebagai tes diagnostik berbasis literasi, numerasi, dan karakter. Namun dianggap tidak relevan langsung bagi siswa karena tak berpengaruh pada kelulusan maupun seleksi masuk perguruan tinggi.
-
TKA: memadukan fungsi seleksi dengan sertifikasi. Secara resmi, ia hadir sebagai jawaban atas kebutuhan objektivitas nilai. Tetapi banyak pihak menilai TKA berpotensi menghidupkan kembali pola lama Ujian Nasionalâdengan âpembungkusâ lebih modern.
Menurut Prof. Arif Budimanta, pakar kebijakan publik, TKA bisa dilihat sebagai reinkarnasi Ujian Nasional. âKita dulu sepakat meninggalkan UN karena tidak ramah psikologis bagi siswa dan terlalu sempit dalam mengukur kemampuan. TKA tampaknya ingin lebih fleksibel, tetapi tetap saja berorientasi seleksi massal,â ujarnya.
Sementara itu, Indah Susilowati, peneliti pendidikan dari UGM, menilai TKA akan menambah lapisan kebingungan bagi ekosistem pendidikan. âSekolah sudah beradaptasi dengan AN yang berbasis diagnostik. Kini muncul lagi TKA yang fungsinya mirip UN tapi diklaim lebih objektif. Pergantian kebijakan yang terlalu cepat membuat guru dan siswa lelah adaptasi,â katanya.
Kritik lain datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyoroti potensi beban psikologis. âTKA mungkin lebih modern, tetapi tetap berisiko menciptakan tekanan besar bagi siswa kelas XII, apalagi jika hasilnya dijadikan syarat lintas jalur karier,â tegas salah satu komisionernya.
Terdapat tiga titik rawan TKA yaitu:
-
Kesetaraan Akses â Tidak semua sekolah siap dengan infrastruktur digital untuk TKA. Ini bisa memperlebar kesenjangan kota-desa.
-
Policy Fatigue â Terlalu seringnya pergantian model tes membuat siswa dan guru kehilangan arah.
-
Beban Psikologis â Alih-alih memberi motivasi, TKA bisa memunculkan kecemasan berlebih, sama seperti UN dulu.
TKA kini digadang sebagai jawaban atas kebutuhan tes yang lebih objektif, terukur, dan aplikatif. Namun di tengah dukungan siswa dan guru di Medan, kritik pakar menunjukkan bahwa TKA belum sepenuhnya bebas dari problem lama.
Menurut Mendikdasmen Abdul Muâti, TKA tidak akan menjadi penentu kelulusan siswa. Sebaliknya, ia dijanjikan sebagai alat ukur tambahan yang bisa menjadi pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi atau jalur prestasi.
Namun, ada kontras yang menarik: jika TKA tidak wajib dan tidak mempengaruhi kelulusan, seberapa menarik daya tariknya untuk siswa dan sekolah yang selama ini sudah kewalahan dengan tekanan ujian?
Regulasi (Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025) memang menyebutkan bahwa TKA merupakan âpengukuran capaian akademik murid pada mata pelajaran tertentu.â Tapi regulasi itu sendiri belum menjawab sejumlah tantangan implementasi teknis di derah 3T.
Dari pengamatan dan perbandingan kebijakan, berikut kelebihan dan tantangan yang mencuat:
Kelebihan Potensial
-
Skala nasional & standar baku: Dengan satu instrumen nasional, kemungkinan variasi standar antar sekolah dapat ditekan.
-
Sertifikasi kompetensi: Sertifikat TKA bisa dipakai lintas tujuan (kuliah, kerja, jalur profesi), yang menjadikannya lebih aplikatif dibanding AN yang bersifat diagnostik.
-
Tanpa biaya langsung bagi siswa: Bebas biaya ujian bagi siswa, mengurangi beban finansial tambahan.
Tantangan Besar
-
Kesiapan infrastruktur
Sekolah di pedalaman atau kawasan dengan koneksi internet terbatas bisa kesulitan menjalankan TKA berbasis komputer. Ini berisiko memperlebar kesenjangan antara sekolah kota dan desa. -
Adaptasi kebijakan yang cepat
Dalam kurun waktu relatif singkat, sekolah dan guru sudah harus menyesuaikan diri dari UN ke AN kemudian ke TKA. Pergantian ini bisa memicu kelelahan adaptasi dan kebingungan metodologi pengajaran. -
Beban psikologis tetap ada
Meskipun TKA diklaim tidak menentukan kelulusan, klaim bahwa hasilnya âbanyak dipakaiâ dalam seleksi bisa menyebabkan tekanan tinggi bagi siswa kelas XIIâmengingat segala persiapan dan ekspektasi orang tua/sekolah. -
Belum ada data performa awal
Karena TKA baru akan dilaksanakan kali pertama di banyak tempat, belum ada ukuran empiris apakah skor TKA benar-benar mencerminkan kemampuan siswa secara adil dan valid. -
Potensi âreinkarnasi UNâ
Beberapa pakar berpendapat TKA berisiko menjadi versi baru Ujian Nasional, di mana aspek seleksi kembali menonjol, bukan diagnostik pembelajaran.
Pertanyaan mendasarnya tetap sama: apakah TKA akan benar-benar membawa transformasi pendidikan Indonesia, atau hanya sekadar wajah baru dari Ujian Nasional yang sudah kita kubur?
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar