Cari

Luka Tak Terlihat di Balik Tawa Anak-Anak Kita

 


Schoolmedia News Jakarta == Data resmi menunjukkan kenyataan pahit: SIMFONI PPA Semester I 2025 mencatat 392 kasus kekerasan dengan 426 korban. Dari jumlah tersebut, 56,9% berupa kekerasan seksual, 25,8% kekerasan fisik, dan 12,9% kekerasan psikis. Angka itu terus meningkat, menjadi 519 kasus hingga Agustus 2025, dan mencapai 586 kasus per September 2025. Mirisnya, 86% korban adalah perempuan dan 72% di antaranya anak-anak.

Kota Bandar Lampung menempati posisi tertinggi dengan 129 kasus, disusul Lampung Selatan (46 kasus) dan Tulang Bawang Barat (33 kasus). Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret luka yang menoreh kehidupan anak-anak bangsa.

“Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah pelanggaran hak asasi manusia. Kehadiran UPTD PPA dengan fasilitas yang lebih memadai diharapkan mampu memberikan layanan yang cepat, aman, dan ramah korban, mulai dari pelaporan hingga pemulihan,” tegas Menteri PPPA.

Ia juga mengapresiasi komitmen Pemerintah Provinsi Lampung yang serius memperkuat perlindungan korban dengan dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik PPA. Pada tahun 2025, pemerintah pusat mengalokasikan Rp93,7 miliar DAK Fisik PPA untuk 40 daerah prioritas, termasuk Lampung. Dana ini digunakan untuk renovasi gedung UPTD PPA, pembangunan rumah aman, serta penyediaan sarana dan prasarana layanan terpadu bagi korban.

Di balik deretan angka tersebut, ada kisah getir yang sulit diungkap. Sari (14), seorang siswi SMP di Lampung, memilih diam ketika luka lebam di lengannya ditanya guru. Ia tidak berani bercerita bahwa itu akibat cubitan sang ibu yang lelah menanggung tekanan hidup. “Saya takut dimarahi kalau bilang ke orang lain,” bisiknya pelan.

Kesehatan mental yang rapuh sering menjadi konsekuensi tak kasat mata dari kekerasan. Trauma itu tak hanya mengganggu perkembangan anak, tapi juga bisa mewariskan lingkaran kekerasan ke generasi berikutnya.


Plt. Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Kemen PPPA, Suhaeni, mengingatkan pentingnya memperhatikan aspek ini.
“Kesehatan mental adalah aspek penting dari kesejahteraan individu dan masyarakat yang tidak bisa diabaikan. Tekanan hidup semakin meningkat dan berdampak besar terhadap kualitas hidup, produktivitas, serta kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya saat membuka FGD Sinergitas Dukungan Kesehatan Mental dan Psikososial di Bogor, Juli 2024.

Survei kesehatan mental remaja (I-NAMHS 2022) mencatat bahwa 1 dari 3 remaja (34,9%) atau 15,5 juta anak Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Sayangnya, hanya 2,6% yang pernah mengakses layanan konseling.

“Bullying kini tidak hanya terjadi di sekolah. Anak-anak juga menghadapi techno anxiety di dunia digital, bahkan eco anxiety akibat perubahan iklim,” kata Asep Zulhijar, Child Protection Officer UNICEF Indonesia.

Meski tantangan besar, upaya perlindungan terus diperkuat. Kemen PPPA bersama UNICEF dan berbagai kementerian telah mengembangkan modul dukungan kesehatan mental, memperluas kampanye pengasuhan positif, hingga melatih tenaga layanan di daerah.

Perencana Ahli Madya Bappenas, Yosi Diani Tresna, menegaskan bahwa RPJPN 2025–2045 akan menempatkan kesehatan mental sebagai prioritas. Harapannya, krisis ini bisa ditangani agar generasi muda lebih siap menyongsong Indonesia Emas 2045.

Kehadiran rumah aman, layanan konseling ramah anak, hingga dukungan masyarakat menjadi kunci untuk menutup lingkaran kekerasan. Tanpa itu, deretan angka SIMFONI PPA hanya akan terus naik setiap tahun.

Bagi Sari dan jutaan anak lain, harapan sederhana mungkin hanya ingin merasa aman, didengar, dan dipeluk tanpa takut disakiti.
Bagi Indonesia, ini adalah ujian serius: apakah negara benar-benar hadir melindungi anak-anaknya dari luka yang tak selalu terlihat.

Tim Schoolmedia 

Lipsus Sebelumnya
Cegah Kekerasan Seksual di Pesantren dan Madrasah Kemenag Luncurkan Modul Pendidikan Kesehatan Reproduksi Islam

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar