Schoolmedia News Jakarta == Gelombang keluhan masyarakat kembali menyeruak di tengah turunnya nilai rupiah. Harga sembilan bahan pokok melonjak tajam, sementara kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dilaporkan terjadi di sejumlah daerah. Kombinasi dua masalah krusial ini diyakini para ekonom berpotensi menambah tekanan inflasi dalam waktu dekat.
Di pasar tradisional di Jakarta, Bandung, hingga Surabaya, harga cabai, daging ayam, dan telur mengalami kenaikan signifikan. Data pemantauan harga Kementerian Perdagangan menunjukkan cabai rawit merah menembus Rp85.000 per kilogram, sementara harga daging ayam potong naik di kisaran Rp42.000 hingga Rp45.000 per kilogram. Lonjakan serupa juga dialami telur ayam ras yang kini dijual Rp32.000 per kilogram.
Tak hanya pangan, antrean panjang di sejumlah SPBU akibat distribusi BBM tersendat semakin memperburuk situasi. Kelangkaan solar bersubsidi dilaporkan di beberapa daerah pesisir, menghambat aktivitas nelayan dan logistik.
Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, S.E., M.Sc., Ph.D., menilai kondisi ini merupakan hasil tumpang tindih persoalan pasokan dan permintaan. âKenaikan harga pangan di pasar tradisional Bandung, misalnya, terjadi karena pasokan menipis akibat faktor musim dan distribusi, sementara permintaan meningkat karena konsumsi rumah tangga dan program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintah,â ujarnya, Kamis (2/10).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi bulanan memang kerap fluktuatif mengikuti harga komoditas. Namun, lonjakan harga pangan terbukti tetap memberi kontribusi pada laju inflasi, meski skalanya terbatas. Wisnu mengingatkan adanya risiko efek rambatan (second-round effects) ke sektor lain. âBagi industri kecil dan UMKM, kenaikan harga telur, minyak goreng, dan ayam bisa meningkatkan biaya produksi. Ujungnya, harga jual produk juga naik,â jelasnya.
Kelangkaan BBM menambah kompleksitas situasi. Biaya transportasi naik, distribusi pangan terganggu, dan harga logistik melonjak. Situasi ini bisa menciptakan lingkaran setan inflasi: harga pangan naik karena distribusi terhambat, sementara kelangkaan BBM membuat ongkos distribusi kian mahal.
âJika tidak segera ditangani, efek domino ini bisa menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah. Program MBG dan bantuan sosial memang penting, tetapi pelaksanaannya harus hati-hati agar tidak memperparah lonjakan permintaan di pasar,â kata Wisnu.
Perlu Reformasi Kebijakan
Wisnu menilai pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan intervensi jangka pendek seperti operasi pasar atau subsidi BBM. Ia menekankan pentingnya reformasi kebijakan pangan dan energi secara struktural.
Dalam jangka pendek, strategi stabilisasi harga harus diperkuat melalui operasi pasar, pemanfaatan stok Bulog, hingga sistem monitoring harga real-time agar intervensi lebih tepat sasaran. Namun dalam jangka panjang, kata Wisnu, dibutuhkan perbaikan infrastruktur logistik, modernisasi Bulog, serta peningkatan kapasitas produksi lokal untuk mengurangi ketergantungan impor.
âStabilitas harga pangan harus menjadi prioritas utama menjaga kesejahteraan masyarakat. Pemerintah perlu berani menjadikan gejolak harga sebagai titik balik menuju reformasi pangan berkelanjutan, bukan sekadar meredam krisis sesaat,â pungkasnya.
Fenomena kelangkaan BBM dan lonjakan harga pangan kali ini bukan sekadar masalah teknis pasokan dan permintaan. Ia memperlihatkan lemahnya tata kelola distribusi energi dan pangan yang kerap berulang setiap tahun. Tanpa reformasi mendasar, masyarakatlah yang terus menanggung biaya inflasi, sementara kebijakan jangka pendek hanya jadi tambal sulam.
Mahasiswa dan Masyarakat Sipil Beri Solusi
Mengandalkan pemerintah saja tidaklah cukup. Di momen seperti ini, mahasiswa dan elemen masyarakat sipil memiliki peran strategis â bukan sekadar sebagai pengamat, melainkan sebagai penggerak dan pengawal kebijakan publik. Berikut beberapa langkah aksi yang bisa dijalankan:
Peran | Langkah Aksi Konkret |
---|---|
Pengawas Publik & Advokasi | Membentuk tim pemantau harga pangan dan ketersediaan BBM di pasar lokal, lalu melaporkan temuan ke media massa atau lembaga pengawas; mendorong transparansi data distribusi oleh pemerintah dan Bulog. |
Kampanye Kesadaran & Edukasi Konsumen | Melakukan kampanye sederhana (media sosial, poster, diskusi publik) agar masyarakat lebih cermat memilih bahan pangan dan menghindari panic buying; edukasi agar konsumsi tidak membebani rantai pasok. |
Kolaborasi dengan Pemerintah Daerah & Lembaga Nonprofit | Mengusulkan program food bank atau dapur publik di lingkungan kampus atau kota; bekerja sama dengan pemda untuk operasi pasar lokal atau subsidi terarah bagi warga miskin. |
Inovasi Pangan Lokal & Pertanian Urban | Menginisiasi kebun kota (urban farming) di lingkungan kampus atau warga; promosi produksi pangan lokal, hortikultura, dan pemanfaatan lahan sisa agar ketergantungan impor bisa dikurangi. |
Penelitian & Kebijakan Alternatif | Melakukan riset cepat (skrining pasar, survei harga) dan menyiapkan policy brief sebagai rekomendasi kepada pemerintah; mendorong penggunaan teknologi distribusi (aplikasi logistik, sistem pemantauan harga berbasis digital). |
Melalui aksi-aksi tersebut, mahasiswa dan masyarakat sipil tidak hanya menjadi pasif menyaksikan gejolak harga, tetapi turut mempengaruhi agar kebijakan publik lebih responsif, tepat sasaran, dan akuntabel.
Gejolak kelangkaan BBM dan lonjakan harga pangan ini bukanlah fenomena musiman biasa. Ia menunjukkan kelemahan struktural dalam sistem distribusi energi dan pangan nasional. Pemerintah sebaiknya tidak terus bergerak reaktif, tetapi merancang kebijakan preventif.
Wisnu mengingatkan bahwa mekanisme intervensi seperti operasi pasar dan stok Bulog memang krusial dalam jangka pendek, tetapi di jangka panjang dibutuhkan reformasi: perbaikan infrastruktur logistik, modernisasi Bulog berbasis data, peningkatan produksi lokal, dan pengawasan ketat terhadap praktik penimbunan.
Mahasiswa dan elemen sipil bisa menjadi âmata dan suara publikâ â memastikan bahwa intervensi pemerintah tidak hanya bersifat simbolis, melainkan efektif melindungi kelompok paling rentan. Jika setiap lonjakan harga dibiarkan tanpa respons, maka siapa yang menanggung beban?
Semoga lonjakan harga kali ini menjadi momentum bagi publik dan pemerintah untuk bersama membangun ketahanan pangan dan stabilitas harga jangka panjang â bukan sekadar meredam krisis sesaat.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar