Schoolmedia News Jakarta â Pemerintah tampaknya masih sibuk mendengar suara bising politik, sementara suara hening para penyandang tuli terus dipinggirkan. Ironisnya, suara itu justru tidak membutuhkan pengeras, melainkan bahasa isyarat yang setara dan diakui negara.
Dalam audiensi antara Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum (akrab disapa Deputi Lisa), dan Dirjen Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, serta Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen, Tatang Muttaqin, pemerintah seolah-olah tersadar bahwa bahasa isyarat bukan sekadar gerakan tangan, tetapi identitas budaya komunitas tuli.
âBahasa isyarat adalah hak komunikasi yang dijamin undang-undang, sekaligus bagian dari identitas budaya teman-teman tuli. Negara harus hadir untuk menjamin hak ini melalui kebijakan yang jelas, konsisten, dan inklusif,â ujar Deputi Lisa penuh semangat.
Namun di balik pernyataan gagah itu, fakta berbicara lain. Mayoritas (91%) penyandang tuli di Indonesia menggunakan bahasa isyarat sehari-hari yang berbeda dengan yang diajarkan guru di sekolah. Hasilnya? Murid bingung, guru gagap, dan layanan publik tetap seperti pantomim yang tak pernah usai.
Lebih getir lagi, Indonesia hanya punya sekitar 500 juru bahasa isyarat (JBI) bersertifikat untuk melayani 1,92 juta penyandang tuli. Rasio ini jauh dari standar WHO, yang menyarankan 1 JBI untuk 100 orang tuli. Kalau logika ini dipaksakan, satu JBI di Indonesia ibarat superhero: harus "melayani" 3.840 orang tuli sekaligus. Bayangkan kecepatan tangan yang dibutuhkan untuk itu.
Dirjen Tatang Muttaqin mencoba menenangkan suasana. âKami menyambut baik upaya Kemenko PMK untuk bergerak menuju Selaras Bahasa Isyarat. Mari kita berjalan bersama,â ujarnya diplomatis. Sayangnya, "berjalan bersama" selama ini justru sering berarti jalan di tempat.
Pertemuan tersebut setidaknya berhasil mengidentifikasi masalah utama: guru tidak bisa bahasa isyarat, akses publik minim, standar nasional tak jelas, dan honor juru bahasa isyarat masih lebih kecil dibandingkan honor pembawa acara hajatan.
Solusi yang ditawarkan tampak manis: penyusunan MoU, peningkatan kapasitas guru, percepatan sertifikasi JBI, hingga regulasi baru. Tetapi, publik sudah kenyang janji manis pemerintah yang lebih sering berhenti di spanduk program ketimbang masuk ke ruang kelas atau ruang layanan publik.
Deputi Lisa menutup dengan pernyataan penuh harapan: âSelaras Bahasa Isyarat bukan hanya proyek, tapi sebuah gerakan untuk memastikan tidak ada lagi hambatan komunikasi bagi saudara-saudara kita tuli.â
Sayangnya, gerakan itu masih lebih sering berhenti di meja rapat ber-AC, bukan di lapangan tempat penyandang tuli menghadapi tembok komunikasi setiap hari.
Karena itu, jangan heran bila komunitas tuli sering menyindir: pemerintah memang bisa mendengar, tapi tidak pernah benar-benar "mendengarkan".
Kondisi Realitas Lapagan
Sebut saja Andini (24), seorang penyandang tuli di Sidoarjo, yang harus berurusan dengan kantor kelurahan untuk mengurus administrasi. Tanpa kehadiran juru bahasa isyarat, Andini dipaksa menulis di kertas dan menunjukkan layar ponsel untuk berkomunikasi. Petugas hanya menanggapi dengan senyum kikuk, lalu menyodorkan formulir tanpa benar-benar memahami maksud Andini. âSaya merasa seperti orang asing di negeri sendiri,â tulis Andini lewat aplikasi pesan singkat.
Di rumah sakit, kisahnya tak jauh berbeda. Banyak penyandang tuli mengaku diperlakukan seperti pasien kelas dua. Dokter dan perawat sering hanya menebak-nebak maksud pasien tuli, bahkan ada yang sekadar menunjuk-nunjuk. Alih-alih layanan kesehatan, situasi itu lebih mirip tebak-tebakan berhadiah.
Pertemuan pejabat tinggi itu setidaknya berhasil mengidentifikasi masalah utama: guru tidak bisa bahasa isyarat, akses publik minim, standar nasional tak jelas, dan honor juru bahasa isyarat masih lebih kecil dibandingkan honor pembawa acara hajatan.
Solusi yang ditawarkan tampak manis: penyusunan MoU, peningkatan kapasitas guru, percepatan sertifikasi JBI, hingga regulasi baru. Tetapi publik sudah kenyang janji manis pemerintah yang lebih sering berhenti di spanduk program ketimbang masuk ke ruang kelas atau ruang layanan publik.
Deputi Lisa menutup dengan pernyataan penuh harapan: âSelaras Bahasa Isyarat bukan hanya proyek, tapi sebuah gerakan untuk memastikan tidak ada lagi hambatan komunikasi bagi saudara-saudara kita tuli.â
Sayangnya, gerakan itu masih lebih sering berhenti di meja rapat ber-AC, bukan di lapangan tempat penyandang tuli menghadapi tembok komunikasi setiap hari.
Karena itu, jangan heran bila komunitas tuli sering menyindir: pemerintah memang bisa mendengar, tapi tidak pernah benar-benar "mendengarkan".
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar