Cari

RUU KKS : Ketika Bayang Dwi Fungsi TNI Menyelinap ke Dunia Siber, Orde Baru Dalam Versi Digital


Schoolmedia News Jogyakarta == Sudah dua puluh tahun lebih bangsa ini berupaya menempatkan tentara di barak, bukan di ruang sidang, apalagi di ruang chat. Namun, kini muncul kabar baru: Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan ikut menjaga keamanan siber, sebagaimana tertulis dalam Rancangan Undang-Undang Ketahanan dan Keamanan Siber (RUU KKS).

Sepintas, gagasan ini tampak heroik. Dunia digital yang kian liar memang butuh penjaga. Tapi, ketika penjaga itu berseragam loreng dan membawa mandat hukum, aroma yang tercium bukan lagi keamanan—melainkan kekuasaan.

“Jika peran militer meluber hingga pada urusan hukum, yang dimana itu adalah urusan sipil, jika dibiarkan akan tidak sehat bagi jalannya sistem demokrasi,” ujar Dr. Achmad Munjid, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Senin (20/10).

Nada bicaranya tenang, tapi kritiknya tajam. Seolah ingin mengingatkan bahwa sejarah punya cara sendiri untuk berulang—terutama ketika kekuasaan lupa batas.

Pada 1998, rakyat bersorak. Reformasi menggema di jalanan, menuntut agar militer kembali ke barak dan kekuasaan dipegang oleh rakyat sipil. Pemisahan peran TNI dan Polri menjadi simbol kemenangan demokrasi. Namun, dua dekade kemudian, garis batas itu tampak kabur.

Sejak revisi Undang-Undang TNI pada Maret 2025, tanda-tanda itu makin kentara. Revisi tersebut, yang memberi ruang bagi TNI untuk terlibat di luar operasi militer, seperti ekonomi, politik, hingga hukum, kini menjadi landasan logis keterlibatan militer di ranah siber.

“RUU KKS ini tidak lahir di ruang kosong,” kata Munjid. “Ia bagian dari rangkaian panjang kembalinya dwi fungsi TNI, hanya kali ini lewat kabel internet dan algoritma.”

Ketika Penguasa Merasa  “Ancaman” Itu Adalah Rakyat Sendiri

RUU KKS, yang tengah dibahas di Senayan, menyebut bahwa penegakan hukum siber perlu melibatkan TNI, bersama instansi lain. Dalihnya: ancaman siber bersifat lintas batas, berpotensi mengganggu pertahanan negara, dan karena itu memerlukan keahlian militer.

Masalahnya, dalam rancangan itu tak jelas di mana batas tugas TNI dan lembaga sipil. Apakah tentara boleh menyelidiki kejahatan siber sipil? Mengakses data warga? Atau bahkan menindak netizen yang terlalu vokal di media sosial?

Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung tanpa jawaban.

“Potensi tumpang tindih kewenangan antara sipil dan militer dalam RUU KKS sangat besar,” lanjut Munjid. “Tanpa akuntabilitas yang jelas, abuse of power bukan sekadar ancaman, tapi keniscayaan.”

RUU ini, katanya, seperti memberi kunci rumah demokrasi kepada tamu lama yang dulu sempat diusir karena terlalu dominan. 

Dalam logika militer, setiap ancaman harus ditumpas. Tapi dalam logika demokrasi, setiap perbedaan harus didengarkan. Dua logika ini tak selalu cocok.

Munjid menegaskan, melibatkan TNI dalam urusan penegakan hukum siber bisa mengancam kebebasan sipil. “Jika TNI terlibat, kebebasan sipil dikontrol dengan ‘pendekatan keamanan’. Setiap perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman,” ujarnya.

Bayangkan: kritik terhadap pemerintah bisa dibaca sebagai serangan terhadap negara. Cuitan satir di media sosial bisa dianggap sabotase digital. Dan, dalam sistem yang tak punya kejelasan akuntabilitas, siapa yang akan mengawasi sang pengawas?

Bagi sebagian akademisi, apa yang terjadi saat ini terasa seperti nostalgia berbahaya.

“Ini deja vu,” kata seorang dosen politik UGM yang enggan disebut namanya. “Hanya beda platform. Kalau dulu yang dibungkam lewat operasi intel, sekarang bisa lewat patroli siber.”

Ia mengingatkan pada masa ketika suara kritis dibungkam atas nama stabilitas. Kini, istilahnya diganti: keamanan siber. Tapi tujuannya sama—menjaga kekuasaan dari gangguan warga yang terlalu cerewet.

Munjid menegaskan, kebebasan berpendapat adalah pilar demokrasi yang tak boleh digerogoti dengan dalih keamanan. “Kritik terhadap pemerintah itu justru bentuk kecintaan terhadap negara,” ujarnya. “Yang berbahaya adalah ketika kritik dianggap makar.”

Negara sering kali melihat ancaman dari luar: hacker asing, propaganda digital, atau perang informasi. Tapi lupa, ancaman paling besar justru muncul ketika rakyat sendiri dianggap musuh.

Dalam beberapa tahun terakhir, publik sudah sering mendengar cerita tentang kebocoran data nasional, dari KPU hingga Kementerian. Tapi, alih-alih memperkuat perlindungan data, perhatian justru beralih pada siapa yang bersuara tentang hal itu.

“Peran aparat keamanan harusnya mencegah penyalahgunaan data, bukan membungkam warga yang bersuara,” kata Munjid.

Ia mencontohkan, kebocoran data pribadi seharusnya jadi alarm bagi pemerintah untuk memperkuat sistem pertahanan digital, bukan memperluas wewenang militer ke ranah sipil. “Yang perlu diperkuat adalah teknologi dan tata kelola, bukan patroli bersenjata di dunia maya,” ujarnya, menegaskan.

Dalam suasana digital yang serba terbuka, wajar bila negara ingin melindungi ruang siber dari ancaman. Namun, garis antara perlindungan dan pengawasan sering kali tipis.

Dari Ketahanan ke Ketakutan

RUU KKS membuka peluang bagi TNI untuk ikut mengatur ruang siber atas nama keamanan nasional. Tapi siapa yang menjamin bahwa alat pengawasan itu tidak digunakan untuk memata-matai oposisi atau aktivis sipil?

“Begitu logika militer masuk, ruang publik akan berubah menjadi barak,” ujar Munjid. “Dan jika itu terjadi, demokrasi akan kehilangan oksigennya.”

Di balik setiap RUU selalu ada narasi mulia: menjaga negara, melindungi rakyat, membangun ketahanan nasional. Tapi sejarah menunjukkan, di tangan yang salah, narasi mulia itu bisa berubah jadi alat kontrol.

“Militerisasi ruang publik hingga ruang siber semestinya tidak terjadi jika ingin menjaga demokrasi tetap sehat,” kata Munjid.

Ia mengingatkan, demokrasi tidak bisa hidup dalam ketakutan. Ketahanan siber bukan soal siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang paling akuntabel. “Kekuatan tanpa akuntabilitas hanya melahirkan kekerasan,” ujarnya.

RUU KKS sebenarnya berangkat dari kegelisahan yang benar: keamanan siber Indonesia memang rapuh. Tapi solusi yang ditawarkan justru menimbulkan persoalan baru.

Menurut Munjid, seharusnya pemerintah memperkuat lembaga sipil seperti BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) dengan sumber daya, regulasi, dan pengawasan publik yang lebih baik. “TNI bisa dilibatkan dalam konteks pertahanan eksternal, bukan sebagai penegak hukum yang mengawasi warga sipil,” katanya.

Di sisi lain, ia menekankan pentingnya literasi digital nasional. “Kalau rakyat melek digital, tak perlu negara paranoid pada warganya sendiri.”

Setiap rezim punya cara sendiri untuk memperluas kekuasaan. Dulu, lewat dwifungsi; kini, mungkin lewat firewall demokrasi. Tapi pada akhirnya, bangsa ini harus memilih: ingin mempertahankan demokrasi atau menggantinya dengan keamanan versi militer.

“Militer kuat itu perlu,” kata Munjid menutup pembicaraan, “tapi lebih penting lagi, negara yang sehat dan rakyat yang bebas.”

RUU KKS masih dibahas. Tapi jika pasal-pasalnya dibiarkan mengalir tanpa penyaringan, bukan tak mungkin internet Indonesia suatu hari akan dijaga oleh algoritma bersepatu bot—menghapus kritik seperti menghapus virus, memblokir pendapat seperti memblokir situs.  Dan ketika itu terjadi, demokrasi akan tinggal jadi sebuah password lama yang sudah tak bisa digunakan lagi.

Tim Schoolmedia

Artikel Selanjutnya
Pasar Seni ITB 2025 Saat Seni, Teknologi, dan Keramaian Menyatu di Jalan Ganesha
Artikel Sebelumnya
Sinergi Kemendikdasmen Dengan Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar