Schoolmedia News Bandung == Pagi itu, Bandung masih basah oleh embun ketika ribuan orang mulai memenuhi Jalan Ganesha. Dari arah Dago, Tamansari, dan Cipaganti, arus manusia mengalir seperti sungai yang mencari muara. Di antara tenda-tenda putih yang berbaris rapi, aroma cat akrilik bercampur dengan wangi kopi tubruk dan gorengan hangat. Seorang anak kecil berlari sambil membawa balon, sementara di kejauhan terdengar gamelan beradu dengan dentuman bass dari panggung musik.
Begitulah Pasar Seni ITB 2025 membuka harinya â sebuah pesta rakyat yang tumbuh dari kampus, meluber ke jalan, dan menjelma menjadi festival kebudayaan paling padat di Indonesia. Lebih dari 200.000 pengunjung memadati kawasan Institut Teknologi Bandung sepanjang Minggu (19/10/2025). Mereka datang dengan antusiasme yang hampir religius: alumni yang pulang, keluarga yang berwisata, seniman yang pamer karya, dan warga kota yang hanya ingin merasakan euforia yang sudah lama hilang.
Sejak pagi buta, Jalan Ganesha berubah menjadi sungai manusia. Ribuan kepala mengalir dari arah Dago, Tamansari, dan Cipaganti menuju gerbang Institut Teknologi Bandung (ITB). Di antara hiruk pikuk penjual kopi, denting gamelan, dan aroma cat akrilik yang samar tercium di udara, Bandung kembali menghidupkan pesta seni paling legendaris di Indonesia â Pasar Seni ITB 2025.
Lebih dari 200.000 pengunjung tercatat memadati kampus Ganesha pada Minggu (19/10/2025). Dalam keramaian itu, ada nostalgia, ada haru, dan ada harapan baru. Setelah lebih dari satu dekade absen, Pasar Seni ITB kembali menjadi oase kreativitas yang menautkan masa lalu dan masa depan seni rupa Indonesia.
Dengan mengusung tema Setakat Lekat, Pasar Seni tahun ini menjadi ruang refleksi tentang bagaimana seni bisa menjadi jembatan antara manusia dan kemanusiaannya di tengah dunia yang kian digital dan dingin.
Rektor ITB, Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., dalam sambutan pembukaannya menegaskan makna tersebut.
âAcara ini bukan hanya milik ITB, tetapi juga kebanggaan Kota Bandung, Jawa Barat, dan Indonesia,â ujarnya di tengah tepuk tangan panjang. âPasar Seni adalah ruang kolaborasi lintas disiplin yang menumbuhkan nilai keberlanjutan dan refleksi mendalam tentang masa depan seni serta masyarakat.â
Dalam suasana yang penuh semangat, Prof. Tata mengingatkan pentingnya menjaga keterhubunganâantara manusia dengan alam, antara tradisi dan teknologi, antara seniman dan publiknya.
Bagi Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, gelaran ini lebih dari sekadar festival seni.
âTerima kasih untuk ITB, khususnya FSRD. Ini bukan sekadar acara kampus, tapi the biggest homecoming alumni ITB di Indonesia,â ujarnya.
Bandung, kota yang sejak lama dikenal dengan denyut kreatifnya, kembali menjadi tuan rumah bagi ribuan perantau seni dan alumni ITB yang pulang untuk merayakan ârumahâ merekaâkampus yang pernah menempa idealisme dan imajinasi.
Dari sudut lain, Menteri Pariwisata RI Widiyanti Putri Wardhana menilai Pasar Seni ITB sebagai salah satu festival seni paling ikonik dan berkelanjutan di tanah air. Dalam kunjungannya, ia bahkan membawa serta sebuah simbol kasih: sebuah lukisan bertajuk Sukulen, karya ibundanya, yang diserahkan sebagai donasi.
âSukulen tumbuh di batang pohon tua yang kering. Ia adalah simbol keteguhan hidup di tengah waktu yang terus berjalan,â ujarnya lirih.
Diselenggarakan oleh Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, Pasar Seni telah menjadi ikon budaya sejak pertama kali digelar tahun 1972. Namun edisi 2025 menjadi istimewa â sebuah kebangkitan setelah 11 tahun vakum.
FSRD berambisi mentransformasikan acara internal kampus ini menjadi festival seni nasional yang inklusif. Bukan hanya milik akademisi dan seniman, tapi juga masyarakat umum yang haus akan ruang ekspresi alternatif.
Dua hari penuh, kampus Ganesha berubah menjadi kota kecil yang berdetak dengan ritme seni: dari Sabuga hingga sepanjang Jalan Ganesha, setiap jengkal ruang dipenuhi karya, tawa, dan dialog.
Sebelum pesta besar ini, publik telah diajak menyusuri sejarah panjang Pasar Seni melalui pameran âKilas Balik: Lima Dekade Pasar Seni ITB (1972â2014)â di Galeri Soemardja, Mei lalu. Arsip lama, foto hitam putih, dan poster lawas dihadirkan untuk mengingatkan: seni punya sejarah, dan sejarah itu terus bergerak.
Tak berhenti di sana, rangkaian pra-acara âBeranda Bersamaâ menghadirkan pertunjukan pop-up di ruang publikâdari Cihampelas Walk, 23 Paskal, hingga Lapangan Gasibu. Di sana, seni turun dari menara gading, menyapa masyarakat di tengah lalu lintas dan keramaian. âKami ingin seni hidup bersama publik, bukan hanya dipajang di galeri,â kata salah satu panitia muda.
Pasar Seni 2025 bukan hanya untuk dilihat, tetapi untuk dialami. Sepuluh wahana tematik dan sebelas instalasi interaktif menjadi jantung acara.
Nama-nama seperti Uulinan, Sikidilik, Laju Lorong, Lorong Gorong, Tendang ke Kandang, Fossil Hunter, hingga Dinokart menjadi magnet pengunjung.
Masing-masing menawarkan pengalaman berbeda â dari nostalgia permainan masa kecil hingga petualangan artistik yang menggugah rasa ingin tahu. Anak-anak tertawa di Uulinan, sementara mahasiswa bereksperimen di Laju Lorong yang gelap dan memantulkan cahaya neon seperti mimpi.
Seni di sini tak lagi dibatasi bingkai atau panggung. Ia hidup, menyentuh, bahkan menantang pengunjung untuk berpikir ulang tentang apa arti keindahan di era digital.
Lebih dari 200 stan seni dan desain berdiri di sepanjang kawasan kampus. Mahasiswa, dosen, komunitas, hingga pelaku industri kreatif menampilkan karya dan produk artistik mereka: dari kerajinan tangan, aksesori, hingga desain fesyen eksperimental.
Efek ekonominya terasa. Hotel-hotel di sekitar Dago dan Setiabudi penuh, UMKM kebanjiran pembeli, dan Bandung kembali hidup layaknya festival rakyat.
Sementara itu, program edukatif seperti lokakarya origami, macramé, pembuatan topeng kardus, hingga fotografi menarik ratusan peserta dari berbagai usia. Semua merasakan langsung proses kreatif, bukan sekadar menonton hasil akhirnya.
Di pojok lapangan rektorat, tenda warna-warni bertuliskan Kids Corner menjadi tempat paling ramai siang hari. Di sana, anak-anak menggambar, menempelkan kertas warna, membuat wayang mini, hingga membaca buku di bawah bimbingan komunitas seperti Pustakalana Childrenâs Library, Tebirium, dan Aniwayang Desa Timun.
âPasar Seni harus jadi ruang lintas generasi,â ujar seorang panitia dari FSRD. âSeni tidak diwariskan lewat teori, tapi lewat pengalaman yang membekas sejak kecil.â
Menjelang senja, suasana berubah menjadi konser terbuka. Dari panggung utama di depan Aula Barat, dentuman musik mengalun dari Project Pop, The Panas Dalam, hingga band mahasiswa ITB sendiri. Sorak sorai pengunjung bergema, seolah Bandung merayakan dirinya sendiri.
Bagi sebagian orang, Pasar Seni adalah nostalgia. Bagi yang lain, ini perayaan hidup. Tapi bagi banyak pengunjung muda, inilah pengalaman pertama mereka bersentuhan dengan semesta seni dalam skala sebesar ini.
Pasar Seni ITB bukan hanya pesta visual, tetapi juga pernyataan: bahwa seni tak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu waktu dan ruang untuk hidup kembali.
Dalam dunia yang semakin sibuk oleh layar dan algoritma, festival ini menjadi ruang bernapasâtempat manusia kembali saling memandang, tertawa, dan terhubung melalui karya.
Seperti kata tema besar tahun ini, Setakat Lekat, Pasar Seni ITB 2025 mengingatkan kita bahwa seni, pada akhirnya, adalah tentang kedekatan: antara cipta dan rasa, antara individu dan semesta. Dan selama itu masih lekat, maka seni akan terus hidup â di Jalan Ganesha, di hati publik, di denyut kota yang bernama Bandung.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar