Cari

Digitalisasi Pembelajaran di Satuan PAUD Versus Ilusi Inovasi, Gaji Guru Rp 300.000 Alat Mengajar Puluhan Juta



Schoolmedia Jakarta == Digitalisasi pendidikan kini kembali menjadi mantra kebijakan pemerintah. Melalui serangkaian Serial Webinar Digitalisasi Pembelajaran Anak Usia Dini, para guru PAUD digiring untuk menjemput era baru: menjadi “digital mentor” yang piawai menggunakan Interactive Flat Panel (IFP) dan Ruang Murid.

Slogan itu terdengar modern dan visioner—seolah Indonesia sedang melangkah cepat menuju masa depan pendidikan digital. Namun di balik gemerlap narasi inovasi, muncul pertanyaan yang menggigit: apakah kebijakan ini benar-benar lahir dari kebutuhan nyata dunia PAUD, atau sekadar proyek teknologi yang dipaksakan ke ruang-ruang kelas yang belum siap?

Anak-anak masa kini memang tumbuh dalam dunia serba layar. Di usia dua tahun, mereka sudah bisa membuka YouTube; di usia tiga, sudah tahu cara skip ads; di usia lima, mampu mencari aplikasi permainan sendiri bahkan mengajari temannya. Fenomena ini sering dijadikan dalih bahwa pembelajaran PAUD pun harus segera menyesuaikan dengan era digital.

Namun, kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Menurut pakar PAUD dari Universitas Negeri Jakarta, Dr. Nurjannah, M.Pd., anak-anak digital native memiliki karakteristik belajar yang unik: cepat menyerap visual, aktif bereksperimen, dan mudah bosan jika pembelajaran monoton. Ia menegaskan, guru masa kini harus bertransformasi menjadi digital mentor—pendamping yang menjembatani teknologi dengan pengalaman belajar bermakna.

“Teknologi bukan untuk menggantikan peran guru, tetapi untuk memperkaya pengalaman belajar anak,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Digitalisasi Pembelajaran Anak Usia Dini”.

Webinar tersebut memperkenalkan dua perangkat andalan: Interactive Flat Panel (IFP) dan Ruang Murid.

  • IFP adalah layar sentuh interaktif multifungsi—gabungan monitor, proyektor, papan tulis digital, dan komputer.

  • Ruang Murid merupakan fitur digital di aplikasi Rumah Pendidikan yang berisi sumber belajar, buku digital, dan video interaktif untuk anak usia dini.

Secara konsep, gagasan ini terdengar ideal. Namun apakah dunia PAUD kita siap menyambutnya?

Di atas kertas, kegiatan pembelajaran dengan IFP tampak mengagumkan. Anak-anak dapat menulis di layar, menjawab kuis digital, atau menyimak video interaktif tentang keragaman Indonesia.
Tapi di banyak PAUD, bahkan listrik yang stabil pun masih menjadi kemewahan.

“IFP itu bagus, tapi terlalu jauh dari realitas kami,” tutur Yuliana, guru PAUD di Kabupaten Kendal. “Kami masih kekurangan alat permainan edukatif, kursi anak rusak, ruang belajar bocor kalau hujan. Sekarang diminta siap dengan IFP? Rasanya seperti diminta naik pesawat padahal kami belum punya jalan ke bandara.”

Ironis Gaji Guru PAUD Rp 300 Ribu Harga IFP Puluhan Juta 

Harga satu unit IFP mencapai puluhan juta rupiah. Bagi lembaga PAUD swasta kecil atau lembaga nonformal di pelosok, angka itu setara dengan operasional satu tahun.Apalagi banyak guru PAUD masih berstatus honorer dengan gaji di bawah UMR.

“Kalau memang mau digitalisasi, seharusnya mulai dari dasar—pelatihan literasi digital, peningkatan infrastruktur, bukan langsung beli alat mahal,” kata Ratna, guru PAUD di Bekasi.

Bagi mereka, webinar yang digelar dua kali sepekan terasa seperti tontonan dari dunia lain. Materi tentang “kelas digital interaktif” dan “mentoring berbasis layar sentuh” terdengar megah, tapi tidak berpijak di tanah tempat mereka berdiri.

Istilah digital mentor yang disematkan kepada guru PAUD menimbulkan reaksi beragam. Di satu sisi, semangat peningkatan kapasitas guru patut diapresiasi. Namun di sisi lain, banyak yang menilai jargon itu sekadar kemasan baru untuk beban lama: guru kembali diminta beradaptasi tanpa dukungan memadai.

“Kalimatnya keren: digital mentor. Tapi apa artinya kalau pelatihan hanya sekali dua kali, dan setelah itu kami dibiarkan belajar sendiri?” keluh Sri Wahyuni, guru PAUD di Kalimantan Selatan.

Ia menambahkan, digitalisasi di jenjang PAUD bukan sekadar soal alat, tetapi soal filosofi. “Anak usia dini butuh sentuhan, bukan sekadar tampilan layar. Kalau kebijakan ini hanya mengejar citra modern, kita sedang salah arah.”

Kebijakan yang memaksa penggunaan IFP tanpa mempertimbangkan kesenjangan wilayah justru memperlebar jurang antara PAUD di kota dan di desa.

Di sekolah-sekolah besar di Jakarta dan Surabaya, IFP mungkin bisa langsung digunakan. Tapi di banyak daerah 3T, bahkan jaringan internet pun belum stabil. Ketika guru di webinar diminta mengakses Ruang Murid, sebagian hanya bisa menghela napas—karena di sekolah mereka sinyal 4G tak kunjung muncul.

“Waktu saya coba buka Ruang Murid, aplikasinya muter terus. Akhirnya kami tetap pakai buku gambar dan alat peraga dari kardus,” ujar Maria, kepala PAUD di Nusa Tenggara Timur.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa digitalisasi tanpa pemerataan infrastruktur hanya akan menciptakan kasta baru dalam pendidikan anak usia dini: PAUD digital di kota besar, dan PAUD manual di desa tertinggal.

Para pemerhati pendidikan anak menegaskan, esensi PAUD terletak pada interaksi langsung—antara guru dan anak, antara anak dan lingkungan, antara bermain dan belajar.

Teknologi bisa menjadi alat bantu, tetapi tidak boleh menggantikan pengalaman nyata. “Anak belajar dengan seluruh tubuhnya, bukan hanya dengan mata dan jari,” kata seorang praktisi PAUD independen.

Jika guru terlalu sibuk mengoperasikan perangkat digital, maka ada bahaya yang lebih halus: hilangnya sentuhan manusiawi dalam proses belajar. Anak bisa menguasai kuis interaktif, tapi kehilangan empati, rasa ingin tahu terhadap alam, dan kemampuan sosial yang tumbuh dari permainan nyata.

Dalam jangka panjang, pendidikan yang terlalu menekankan pada layar justru bisa membuat anak overstimulated secara visual namun miskin pengalaman sensorik.

Serangkaian webinar digitalisasi yang digelar dengan antusias memang mampu memantik semangat sebagian guru. Namun tanpa kejelasan pendanaan, pendampingan, dan pemetaan kebutuhan daerah, program ini berisiko menjadi sekadar pepesan kosong.

Pemerintah tampak lebih sibuk mempromosikan perangkat dan platform ketimbang memperkuat pondasi: kesejahteraan guru, pemerataan sarana, dan kurikulum berbasis kebutuhan anak.

Digitalisasi seolah menjadi jalan pintas politik pendidikan—mudah dijual, tampak modern, dan memotret citra “kemajuan”. Padahal, di balik itu, banyak guru masih berjuang mengajar dengan alat seadanya dan menulis laporan di buku catatan lusuh.

Transformasi digital memang tak bisa dihindari. Namun kebijakan pendidikan tidak boleh terburu-buru menjadikan anak usia dini sebagai kelinci percobaan inovasi teknologi.

PAUD adalah pondasi pertama pembentukan karakter dan kemanusiaan. Di sini anak belajar mengenal empati, rasa ingin tahu, kerja sama, dan kasih sayang. Semua itu tumbuh dari relasi manusiawi, bukan dari layar interaktif.

Pemerintah seharusnya menempatkan digitalisasi sebagai alat bantu—bukan tujuan utama. Dan sebelum membeli ribuan IFP, sebaiknya negara memastikan guru PAUD memperoleh pelatihan, insentif, dan dukungan psikososial yang memadai.

Tanpa itu, digitalisasi hanyalah slogan. Guru dipuji sebagai digital mentor, tapi tetap berjuang sendirian di kelas seadanya. Anak diperkenalkan pada teknologi tinggi, tapi kehilangan kesempatan bermain di tanah yang nyata.

IFP dan Ruang Murid mungkin terdengar futuristik. Tetapi masa depan pendidikan anak usia dini tidak ditentukan oleh seberapa canggih alatnya, melainkan seberapa hangat hubungan antara guru dan murid.

Digitalisasi boleh berjalan, tetapi jangan sampai menggusur esensi: bahwa belajar di PAUD adalah tentang bermain, berinteraksi, dan menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap dunia.

Teknologi seharusnya hadir sebagai pelengkap—bukan pengganti pelukan guru, bukan penghalang tawa anak, dan bukan topeng bagi kebijakan yang kehilangan arah.

Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan Indonesia tidak akan ditentukan oleh berapa banyak layar sentuh di kelas, melainkan oleh seberapa tulus kita menjaga sentuhan kemanusiaan dalam setiap proses belajar anak.

Tim Schoolmedia


Artikel Selanjutnya
Sinergi Kemendikdasmen Dengan Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia
Artikel Sebelumnya
UGM, UI, ITB di Puncak! Inilah Daftar Lengkap Universitas Negeri Terbaik Versi QS WUR 2026

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar