Cari

Tamparan Konstitusional untuk Pemerintah, MK Pulihkan Pengawasan Independen ASN



Schoolmedia News Jakarta == Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan perannya sebagai penjaga akuntabilitas negara. Melalui putusan penting yang dibacakan pada 16 Agustus 2025, MK mengabulkan gugatan koalisi masyarakat sipil atas revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 26 ayat (2) UU ASN bertentangan dengan UUD 1945 karena menghapus keberadaan lembaga independen pengawas sistem merit dan ASN, yakni Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Bagi banyak kalangan, putusan ini bukan sekadar koreksi hukum — melainkan tamparan konstitusional bagi Pemerintah dan DPR yang pada 2023 sepakat meniadakan lembaga pengawas independen di tengah birokrasi yang masih rapuh dan sarat kepentingan politik.

Gelombang kritik terhadap penghapusan KASN menguat sejak revisi UU ASN disahkan pada akhir 2023. Revisi tersebut menyerahkan fungsi pengawasan sistem merit dan netralitas ASN kepada dua lembaga di bawah pemerintah, yaitu Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).

Bagi banyak pengamat, langkah ini merupakan kemunduran reformasi birokrasi. Alih-alih memperkuat profesionalisme ASN, kebijakan itu dianggap justru membuka celah intervensi politik dan memperlemah mekanisme pengawasan yang selama ini dijalankan secara independen oleh KASN.

“Ketika lembaga pengawas ASN berada langsung di bawah kendali pemerintah, objektivitas dan netralitas birokrasi menjadi taruhannya,” ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta.

Kekhawatiran itu pula yang mendorong ICW, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) untuk melayangkan Judicial Review (JR) ke MK pada Agustus 2024, didampingi tim hukum dari Themis Indonesia.

Gugatan itu diajukan tepat setahun menjelang Pilkada serentak 2024, di mana 545 provinsi, kabupaten, dan kota akan memilih pemimpin daerahnya. Para pemohon menilai, tanpa pengawasan independen seperti KASN, ASN akan rentan dimobilisasi untuk kepentingan politik kepala daerah atau calon petahana.

Pengawasan ASN Oleh Lembaga Independen

Setahun kemudian, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pengawasan ASN harus dilakukan oleh lembaga independen, bukan oleh instansi pemerintah yang berpotensi memiliki konflik kepentingan.

MK menilai, sistem kepegawaian di Indonesia selama ini mudah diintervensi oleh kepentingan politik maupun pribadi. Karena itu, menurut Mahkamah, perlu ada pemisahan fungsi dan kewenangan antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan pengawas kebijakan.

“Pengawas kebijakan tidak hanya berfungsi sebagai pengawas, tetapi juga sebagai penyeimbang pembuat dan pelaksana kebijakan untuk memastikan sistem merit berjalan dengan baik, akuntabel, dan transparan,” tulis Mahkamah dalam pertimbangannya.

Dengan putusan tersebut, MK memberi tenggat dua tahun bagi pemerintah untuk membentuk lembaga independen baru yang menggantikan fungsi KASN. Menariknya, delapan dari sembilan hakim konstitusi sepakat dengan pandangan ini. Satu-satunya dissenting opinion datang dari Anwar Usman, yang berpendapat bahwa penghapusan KASN merupakan bagian dari open legal policy—ranah kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang.

Bagi koalisi masyarakat sipil, putusan ini adalah kemenangan bagi reformasi birokrasi. “Keputusan MK memperkuat kembali prinsip sistem merit dan mengembalikan semangat independensi dalam tata kelola ASN,” kata Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif KPPOD.

Koalisi menilai, keberadaan pengawas independen sangat penting untuk membangun birokrasi profesional dan efisien, bebas dari intervensi politik, serta mampu melindungi karier ASN dari tekanan kekuasaan.

Lebih jauh, ICW menyebut bahwa putusan ini bukan hanya mengembalikan fungsi lembaga pengawas ASN, tapi juga menegaskan kembali bahwa asas, nilai dasar, serta kode etik dan perilaku ASN merupakan hal fundamental dalam sistem merit.

Semua prinsip itu, kata ICW, kini kembali memiliki pijakan konstitusional yang kuat setelah sebelumnya dihapuskan secara sepihak oleh revisi UU ASN.

Catatan Kritis Masyarakat Sipil 

Kendati mengapresiasi putusan MK, koalisi masyarakat sipil juga memberikan sejumlah catatan kritis terhadap implikasinya.

Pertama, Mahkamah menolak provisi yang diajukan pemohon untuk memprioritaskan pengawasan independen selama Pilkada 2024. Dengan kata lain, KASN tidak dihidupkan kembali sementara waktu untuk mengawasi netralitas ASN selama proses Pilkada berlangsung.

“Padahal, Pilkada adalah momentum politik strategis di mana ASN sangat rentan ditarik dalam kepentingan politik kepala daerah. Absennya lembaga pengawas independen menjadi kemunduran serius dalam integritas pemilu lokal,” tegas Titi Anggraini dari Perludem.

Kedua, tenggat dua tahun yang diberikan MK dinilai terlalu lama. Menurut koalisi, pemerintah dan DPR tidak perlu memulai dari nol dalam membentuk lembaga baru. Sebab, preseden kelembagaan sudah ada: KASN.

Lembaga tersebut memiliki pengalaman, struktur, dan perangkat hukum yang relatif siap. Bahkan, analisis Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dibentuk oleh Kemenko Polhukam era Mahfud MD juga merekomendasikan penguatan fungsi KASN, bukan pembubarannya.

“Karena itu, pembentukan lembaga independen baru seharusnya bisa dilakukan dalam waktu lebih singkat, dengan memperkuat model KASN yang telah ada—baik dari segi kewenangan, SDM, anggaran, maupun sinergi antarinstansi,” ujar ICW dalam keterangan tertulisnya.

Putusan MK ini, bagi banyak kalangan, menjadi momentum untuk menata ulang arah reformasi birokrasi yang sempat melenceng. Dalam konteks politik yang kerap menempatkan ASN sebagai alat kekuasaan, keputusan ini mempertegas bahwa netralitas aparatur sipil bukan urusan administratif, melainkan konstitusional.

Sepanjang dua tahun terakhir, publik menyaksikan bagaimana revisi UU ASN justru menjadi celah bagi politisasi birokrasi. Laporan ICW mencatat, menjelang Pilkada 2024, puluhan kasus pelanggaran netralitas ASN terjadi di berbagai daerah, mulai dari pejabat daerah yang terang-terangan mendukung calon tertentu hingga mutasi ASN yang sarat nuansa politik balas budi.

Situasi ini diperparah dengan absennya lembaga independen seperti KASN yang selama ini berperan memproses aduan dan merekomendasikan sanksi kepada ASN yang melanggar prinsip netralitas.

Koalisi masyarakat sipil kini menuntut pemerintah dan DPR bertindak cepat menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. ICW menegaskan tiga langkah konkret yang harus segera dilakukan:

  1. Menindaklanjuti putusan MK lebih cepat dari tenggat waktu dua tahun, sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional untuk memperbaiki produk hukum yang mereka hasilkan sendiri.

  2. Memasukkan klausul pembentukan lembaga negara independen dalam revisi UU ASN yang telah dijadwalkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.

  3. Mempersiapkan pembentukan lembaga baru secara transparan dan partisipatif, dengan melibatkan masyarakat sipil dan pakar tata kelola pemerintahan agar lembaga tersebut benar-benar efektif menjalankan fungsi pengawasan sistem merit dan netralitas ASN.

“Tanpa keterlibatan publik dan jaminan independensi, lembaga baru yang dibentuk hanya akan menjadi ‘KASN baru dengan wajah lama’,” kata Kurnia Ramadhana dari ICW.

Reformasi Birokrasi Diganggu Kepentingan Politik 

Reformasi birokrasi di Indonesia sejatinya lahir dari semangat untuk menciptakan pemerintahan yang profesional, bersih, dan melayani. Namun, perjalanan panjang itu kerap tersendat di tengah tarik menarik kepentingan politik.

KASN, sejak berdiri pada 2014, menjadi salah satu tonggak penting reformasi ASN. Selama hampir satu dekade, lembaga ini telah memproses ribuan pelanggaran sistem merit, termasuk promosi jabatan yang tidak sesuai kriteria, serta pelanggaran netralitas ASN di masa pemilu.

Meski memiliki keterbatasan kewenangan dan anggaran, keberadaan KASN terbukti memberikan efek jera dan menjadi kanal pengaduan publik terhadap penyimpangan birokrasi. Oleh karena itu, keputusan DPR dan Pemerintah menghapus lembaga tersebut pada 2023 sempat dianggap sebagai “pukulan telak” bagi integritas sistem kepegawaian nasional.

Kini, dengan putusan MK yang memulihkan prinsip independensi pengawasan ASN, jalan menuju reformasi birokrasi yang sejati kembali terbuka. Namun, sebagaimana diingatkan ICW, putusan pengadilan hanyalah awal. Tantangan sesungguhnya terletak pada kemauan politik pemerintah dan DPR untuk menegakkan putusan tersebut dengan sungguh-sungguh.

Putusan MK ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dasar tata kelola pemerintahan tidak bisa dinegosiasikan. Kemandirian pengawasan ASN bukanlah pilihan politik, melainkan amanat konstitusi.

Tamparan konstitusional ini harus menjadi pelajaran bagi para pembuat kebijakan agar tidak gegabah mengorbankan lembaga-lembaga yang menjadi pilar integritas negara. Sebab, tanpa pengawasan yang independen, netralitas ASN hanya akan menjadi slogan kosong — dan reformasi birokrasi yang diimpikan bangsa ini kembali terancam stagnan.

Seperti ditulis dalam pernyataan resmi ICW:

“Putusan ini bukan semata kemenangan masyarakat sipil, melainkan kemenangan konstitusi atas politik kekuasaan. Kini saatnya pemerintah membuktikan, bahwa mereka masih berpihak pada reformasi dan integritas birokrasi Indonesia.”

Tim Schoolmedia 

Lipsus Sebelumnya
Rakyat Menggugat Negara Dari Rempang ke Merauke, Luka di Balik Proyek Strategis Nasional

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar