Cari

Di Balik Wacana Pemblokiran IMEI: Publik Diuji, Pemerintah “Testing the Water”



Schoolmedia News Jogyakarta == Suasana di ruang digital Indonesia kembali bergolak. Setelah sempat membekukan sementara izin operasional TikTok melalui tanda daftar penyelenggara sistem elektronik (PSE), Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) lagi-lagi memantik perdebatan baru.

Kini, isu yang dilempar ke publik adalah wacana pemblokiran dan pendaftaran ulang nomor internasional ponsel, atau International Mobile Equipment Identity (IMEI). Dalihnya: perlindungan konsumen.

Tapi di mata sejumlah pengamat, langkah ini terasa seperti deja vu—sebuah pola klasik ketika pemerintah melemparkan ide ke ruang publik untuk mengukur seberapa besar riuh yang akan muncul. Testing the water, begitu istilahnya dalam politik.

Beberapa waktu lalu, Kemenkomdigi mengguncang jagat maya dengan pembekuan sementara tanda daftar PSE TikTok. Alasannya: TikTok menolak memberikan data lengkap aktivitas platform dalam rentang 25 hingga 30 Agustus periode genting ketika aksi-aksi demonstrasi sosial dan politik merebak di berbagai kota Indonesia. Publik bertanya-tanya, mengapa negara begitu ingin menelisik aktivitas digital warga di tengah gejolak politik?

Namun pembekuan itu tak bertahan lama. Tanpa penjelasan yang memadai, pemerintah kembali mencabut kebijakan tersebut. Tak ada evaluasi publik, tak ada laporan hasil investigasi. Hanya diam, lalu berganti isu baru: pendaftaran ulang IMEI.

Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar pergantian topik. Tapi seperti mengalihkan pandangan publik dari isu yang lebih besar soal transparansi data, kebebasan digital, dan relasi kuasa antara negara dan warganya di ruang siber.

Deputi Sekretaris Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Iradat Wirid, melihat dengan jernih manuver Kemenkomdigi itu. Ia menyebut, isu pemblokiran IMEI hanyalah semacam wacana uji pasar.

''Saya kira ini cukup sering dilakukan, dalam istilah politik disebut testing the water, untuk melihat respon publik,'' ujarnya, Senin (20/10).

Menurut Iradat, belum ada kejelasan hukum terkait wacana ini. Pemerintah memang telah mengumumkan rencana pemblokiran dan pendaftaran ulang IMEI, tapi hingga kini tak satu pun peraturan turunannya disahkan.

''Apabila tujuannya untuk melindungi pengguna, saya pikir aturan turunannya harus segera disahkan. Atau justru aturan mengenai perlindungan data masyarakat yang harus lebih dulu ditegakkan,'' tegasnya.

Pernyataan Iradat menggambarkan kekhawatiran yang lebih luas: bahwa negara kerap kali menggunakan isu perlindungan konsumen sebagai tameng. Di baliknya, ada potensi pengumpulan data besar-besaran yang belum tentu aman dari kebocoran atau penyalahgunaan.

Antara Kekuasaan dan Kepercayaan

Masyarakat digital Indonesia bukan kali ini saja dihadapkan pada kebijakan yang menuntut verifikasi ulang. Sejak aturan PSE pada 2020, banyak pengguna internet sudah terbiasa dengan berbagai bentuk pendaftaran dari aplikasi hingga perangkat.

Namun, ketika perlindungan data pribadi belum sepenuhnya kokoh, wacana semacam IMEI justru menambah lapisan beban administratif.

Iradat mengingatkan, penggunaan identitas kependudukan yang semakin data dari nomor KTP, SIM, hingga IMEI perlu dipertimbangkan agar tidak justru menekan masyarakat. Kalau aturan perlindungan data pribadi belum terproteksi dengan baik melalui regulasi turunan, pendaftaran ulang IMEI ini hanya akan menambah beban, baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah yang harus menanggung tanggung jawab lebih besar, jelasnya.

Kritiknya tak berdiri sendiri. Sejumlah akademisi lain menilai bahwa persoalan utama bukan pada keinginan melindungi konsumen, melainkan pada lemahnya tata kelola data digital di Indonesia. Regulasi yang tambal sulam membuat masyarakat sulit percaya bahwa data mereka benar-benar aman di tangan pemerintah.

Wacana pemblokiran IMEI ini bukan pertama kali muncul. Lima tahun lalu, ketika isu PSE pertama kali mengemuka pada 2020, kekhawatiran serupa sempat mencuat: apakah negara sedang berupaya memperluas kontrolnya atas ruang digital?

Iradat menilai, meskipun narasi kontrol negara belum bisa disimpulkan dari satu kebijakan, kecenderungan semacam ini patut diawasi. Sebenarnya narasi ini sudah muncul sejak 2020 ketika isu PSE itu muncul. Ada ketakutan, tapi sejauh ini kita masih bisa bersuara, katanya.

Kalimat masih bisa bersuara terdengar getir, tapi realistis. Sebab, ruang digital Indonesia memang belum benar-benar bebas dari intervensi negara. Pembekuan sementara TikTok pada akhir Agustus, misalnya, memberi sinyal bahwa pemerintah bisa bertindak cepat terhadap platform global jika dinilai tidak kooperatif.

Namun di sisi lain, langkah cepat itu tidak diikuti transparansi publik tentang siapa yang meminta data, untuk kepentingan apa, dan bagaimana data itu digunakan.

Kemenkomdigi, lembaga yang lahir dari penggabungan Kemenkominfo dan Kementerian Digital, kini berada di persimpangan: antara mengedepankan keamanan digital atau mempertahankan kepercayaan publik. Dua hal ini sering kali saling berbenturan.

Dalam situasi geopolitik dan sosial yang sensitif, lembaga ini memikul tanggung jawab besar untuk menegakkan kedaulatan digital tanpa mencederai kebebasan sipil. Namun langkah-langkah seperti pembekuan TikTok tanpa transparansi dan wacana IMEI tanpa payung hukum hanya mempertebal kesan bahwa pemerintah bergerak tanpa arah kebijakan yang konsisten. Bagi publik, yang terasa bukan perlindungan, melainkan pengawasan.

Dalam sejarah kebijakan digital Indonesia, ada satu benang merah yang sulit diurai: pemerintah sering kali bergerak berdasarkan logika kontrol, bukan kolaborasi. Padahal, di ruang digital yang dinamis, kekuasaan tidak bisa lagi dijalankan secara sepihak.

Ruang digital sejatinya adalah ekosistem yang hidup dari partisipasi publik. Ketika setiap pengguna merasa bahwa data dan privasinya dipertaruhkan, maka kepercayaan terhadap pemerintah pun menurun. Tanpa kepercayaan itu, kebijakan apa pun betapapun mulia tujuannya akan berhadapan dengan resistensi.

Iradat menegaskan, masyarakat perlu mengawal setiap aturan baru yang muncul di ruang digital. Publik perlu mengkritisi, karena saat ini pun suara publik masih memiliki kekuatan untuk mengawal, ujarnya.


Pernyataan itu menjadi alarm sekaligus pengingat bahwa demokrasi digital hanya bisa tumbuh jika publik aktif menjaga keseimbangannya.

Saat Negara dan Warga Berhadapan di Layar

Bagi CfDS UGM, transparansi bukan hanya soal membuka data, tapi juga soal bagaimana pemerintah berkomunikasi. Hubungan antara masyarakat, platform, atau industri ini dengan pemerintah harus dijaga transparansinya, tegas Iradat.

Artinya, setiap kebijakan digital harus lahir dari dialog, bukan keputusan sepihak. Pemerintah mesti menjelaskan kepada publik apa dasar kebijakan, bagaimana implementasinya, dan siapa yang akan bertanggung jawab bila kebijakan itu melanggar hak warga. Sebab tanpa transparansi, setiap kebijakan hanya akan dibaca sebagai ancaman terselubung.

Di balik berbagai kebijakan sementara dan wacana itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: apakah ruang digital sedang dijadikan alat politik?

Wacana yang dilempar ke publik, kemudian diamati reaksinya, sering kali menjadi strategi komunikasi politik yang efisien. Pemerintah bisa membaca sentimen publik tanpa perlu mengumumkan keputusan resmi.

Namun dalam konteks digital, strategi semacam ini berisiko tinggi. Warga negara bukan sekadar penonton, melainkan pihak yang terdampak langsung. Ketika publik merasa hanya dijadikan bahan uji, kepercayaan terhadap institusi akan semakin menipis. Dan ketika kepercayaan hilang, pemerintah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara atas nama perlindungan rakyat.

Ruang digital Indonesia kini menjadi medan baru bagi demokrasi. Ia bukan ruang kosong yang bisa diatur sesuka hati, melainkan arena yang dipenuhi suara, data, dan kepentingan. Ketika negara melangkah masuk dengan kebijakan yang tidak jelas arah dan dasar hukumnya, masyarakat berhak bertanya: untuk siapa semua ini dibuat?

Iradat menutup pernyataannya dengan refleksi yang menohok. Masyarakat harus tetap waspada terhadap aturan-aturan baru yang akan muncul, katanya.

Was-was, tapi tidak diam. Karena dalam era digital, diam berarti memberi ruang bagi kekuasaan untuk bergerak tanpa kontrol.

Dua dekade pasca reformasi, batas antara negara dan warga di ruang digital semakin kabur. Pemerintah bisa memantau, memblokir, bahkan mengatur akses informasi dengan dalih keamanan. Tapi di sisi lain, publik juga semakin cerdas membaca arah kebijakan.

Wacana pemblokiran IMEI dan pembekuan TikTok bukan sekadar isu teknis. Ia adalah cermin dari bagaimana negara memandang rakyatnya: sebagai mitra atau sebagai objek kontrol.
Dan seperti di banyak episode kebijakan digital sebelumnya, jawabannya bergantung pada satu hal seberapa kuat publik mau mengawal.

Karena di era data dan algoritma, demokrasi bukan hanya soal suara di bilik pemilu. Tapi juga tentang siapa yang berhak menekan tombol blokir di ruang digital.

Pemerintah boleh berbicara tentang perlindungan konsumen dan keamanan nasional. Tapi tanpa transparansi, semua itu hanya akan terdengar seperti eufemisme dari satu hal: kontrol.
Dan ketika publik kehilangan kepercayaan, bahkan kebijakan yang paling rasional pun akan kehilangan legitimasi.

Tim Schoolmedia


Lipsus Selanjutnya
Mengubah Ruang Kelas PAUD Dari Pasif Menjadi Interaktif Sebuah Niscayaan
Lipsus Sebelumnya
Dies Natalis ke-62 Fakultas Kehutanan UGM, “Hutan yang Tak Lagi Perawan dan Nada Rimbawan dari Bulaksumur”

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar