Schoolmedia News Jakarta â Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengklaim keberhasilan signifikan dalam implementasi Program Prioritas Pendidikan Bermutu untuk Semua sepanjang periode Oktober 2024 hingga September 2025. Dengan alokasi anggaran sebesar Rp181,72 triliun, program ini disebut menghadirkan manfaat langsung bagi guru, siswa, dan masyarakat.
Sekretaris Jenderal Kemendikdasmen, Suharti, menegaskan bahwa capaian tersebut bukan sekadar angka statistik, tetapi benar-benar dirasakan masyarakat.
âProgram prioritas ini nyata membawa dampak langsung bagi guru, siswa, dan masyarakat. Mulai dari revitalisasi satuan pendidikan, digitalisasi pembelajaran, hingga peningkatan tunjangan dan beasiswa,â ujarnya di Jakarta, Selasa (16/9).
Program Prioritas Pendidikan 2025 layak diapresiasi dari sisi alokasi anggaran dan sejumlah capaian kuantitatif. Namun, tantangan terbesar terletak pada pemerataan implementasi, efektivitas pemanfaatan anggaran, dan pengukuran dampak jangka panjang.
Tanpa perbaikan tata kelola, penguatan kualitas guru, dan pemerataan akses infrastruktur, ada risiko program ini hanya menghasilkan capaian administratif tanpa perubahan substansial di ruang kelas maupun kehidupan masyaraka
Namun, di balik klaim capaian gemilang ini, terdapat sejumlah catatan kritis yang menuntut perhatian serius.
Infrastuktur Bagus Isi Masih Kosong
Revitalisasi 15.523 satuan pendidikan memang melampaui target awal 10.440 sekolah. Angka ini dipandang sebagai bukti komitmen pemerintah memperbaiki infrastruktur pendidikan. Tetapi, pakar pendidikan mengingatkan bahwa pembangunan fisik saja tidak otomatis meningkatkan kualitas pembelajaran. Rasio guru-murid, manajemen sekolah, dan kurikulum kerap luput dari sorotan, sehingga infrastruktur baru berisiko menjadi âgedung kosongâ tanpa penguatan substansi.
Janji Pemerataan Versus Resiko Literasi Lebih Buruk
Salah satu program unggulan, digitalisasi pembelajaran, telah menjangkau lebih dari 285 ribu sekolah dari PAUD hingga SKB. Pemerintah berharap langkah ini menutup kesenjangan pembelajaran dan meningkatkan keterampilan digital siswa.
Namun, di banyak daerah 3T, keterbatasan internet, listrik, dan perangkat masih menjadi batu sandungan. Alih-alih meratakan akses, digitalisasi justru dikhawatirkan memperlebar ketimpangan pendidikan antara kota dan desa. Selain itu, belum ada strategi jelas dalam membangun literasi digital yang kritis agar siswa tidak hanya menjadi konsumen teknologi.
Tunjangan Guru Jauh Panggang Dari Api
Peningkatan kesejahteraan guru non-ASN melalui insentif Rp2 juta per bulan, subsidi upah, serta program sertifikasi diapresiasi banyak pihak. Guru merasa kehidupannya lebih terjamin.
Meski begitu, masalah ketidakadilan masih membayangi. Guru di daerah terpencil, guru non-ASN, hingga pendidik di sekolah nonformal seringkali tidak mendapat perlakuan yang setara. Penyaluran tunjangan dalam bentuk dana langsung tanpa evaluasi kinerja juga menimbulkan kekhawatiran moral hazard.
Program Indonesia Pintar (PIP) dan Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) yang menargetkan jutaan siswa dari keluarga prasejahtera terbukti membantu menekan angka putus sekolah. Begitu juga dengan Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) yang menopang biaya operasional sekolah.
Tetapi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa besaran PIP sering tidak cukup menutup kebutuhan riil pendidikan. Mekanisme distribusinya pun masih rawan salah sasaran. Sementara itu, dana BOSP di banyak sekolah hanya dipakai untuk kebutuhan rutin tanpa dorongan inovasi, ditambah masih lemahnya transparansi dan akuntabilitas.
Berdampak Nyata Dalam Angan
Pemerintah menegaskan bahwa setiap rupiah dari anggaran pendidikan kembali ke masyarakat. Namun, pengamat menilai klaim âdampak nyataâ masih terlalu normatif jika tidak dilengkapi evaluasi independen. Perubahan substansial dalam mutu lulusan, pengurangan kesenjangan, dan peningkatan daya saing bangsa baru bisa terlihat dalam jangka panjang, bukan sekadar dari angka penyerapan anggaran.
Program Prioritas Pendidikan 2025 layak diapresiasi karena menunjukkan keseriusan pemerintah memperbesar akses pendidikan. Tetapi tantangan terbesar bukan lagi soal anggaran, melainkan tata kelola, pemerataan, serta efektivitas implementasi di lapangan.
Tanpa perbaikan menyeluruh, capaian spektakuler dalam bentuk angka bisa saja berakhir sebagai pencitraan administratif ketimbang perubahan nyata dalam ruang kelas dan kehidupan masyarakat.
Tinggalkan Komentar