Schoolmedia News Jakarta == Langit Jakarta Selatan sore itu tak terlalu cerah, tapi halaman Pengadilan Negeri Jakarta Selatan justru terasa hangat oleh desakan kamera dan suara wartawan. Di balik kerumunan itu, sebuah nama kembali menggema Nadiem Anwar Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Bukan lagi sebagai pembicara inovasi, melainkan sebagai pemohon praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook oleh Kejaksaan Agung RI.
Di ruang sidang 1, Hotman Paris Hutapea duduk tegak. Tangan kanannya sibuk membolak-balik berkas, sementara sorot matanya tajam menembus podium ahli hukum pidana Suparji Ahmad, dosen dari Universitas Al-Azhar Indonesia yang didatangkan pihak Kejagung sebagai saksi ahli.
Saksi Ahli mengatakan, harus ada kerugian negara yang bisa dihitung untuk menjerat seseorang dengan pasal korupsi, bukan? tanya Hotman dengan nada setengah menantang.
Suparji mengangguk pelan. Benar, sepanjang kerugian itu nyata dan dapat dihitung.
Dan siapa yang berwenang menghitung? tekan Hotman.
Tidak harus BPK, bisa lembaga lain yang penting hasilnya valid.ââ¬Â
Artinya bisa siapa saja? Hotman menaikkan alis. ââ¬ÅBahkan pihak yang punya kepentingan?
Ruang sidang mendadak hening. Hanya suara detak jam dan kamera wartawan yang sesekali berdecit dari belakang.
Sidang praperadilan ini sejatinya bukan lagi sekadar soal prosedur hukum, tapi juga pertarungan tafsir atas makna kerugian negara dan kapan seharusnya ia dihitung.
Kubu Nadiem, dipimpin Hotman Paris, berpendapat bahwa penetapan tersangka tidak sah karena dilakukan sebelum adanya perhitungan resmi kerugian negara. Tanpa angka pasti, menurut mereka, tuduhan korupsi kehilangan fondasi hukum.
Sementara itu, kubu Kejagung menegaskan bahwa unsur kerugian bisa dibuktikan secara potensial, dan angka detailnya boleh menyusul dalam tahap pembuktian pokok perkara.
Kalau penyidik harus menunggu LHP dulu, maka banyak kasus akan berhenti di meja audit, kata Suparji menjelaskan.
Namun Hotman cepat menukas: ââ¬ÅLebih baik berhenti, daripada menetapkan orang tanpa dasar angka. Ini hukum, bukan ramalan.
Sorak kecil terdengar dari bangku pengunjung sidang. Hakim menegur agar sidang tetap tenang.
Jejak Kasus Chromebook
Untuk memahami panasnya suasana, kita perlu menengok ke belakang ââ¬â ke proyek ambisius Kemendikbudristek bernama Digitalisasi Sekolah.
Antara tahun 2019 - 2023, pemerintah menggulirkan program pengadaan jutaan unit Chromebook untuk sekolah dasar hingga menengah. Tujuannya mulia: mempercepat pemerataan pendidikan digital di seluruh pelosok Indonesia.
Namun, di lapangan, muncul laporan adanya perangkat tak terpakai, tidak kompatibel, bahkan rusak sebelum dipakai.
Pada Mei 2025, Kejagung mulai menyelidiki proyek itu. Nilai pengadaan disebut mencapai lebih dari Rp17 triliun, dengan potensi kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.
23 September 2025, Nadiem resmi mengajukan praperadilan setelah ditetapkan sebagai tersangka.
3 Oktober, sidang perdana digelar. Kejagung mengklaim memiliki empat alat bukti.
8 Oktober, agenda berlanjut ke pembuktian dan pemeriksaan ahli ââ¬â dan di sinilah adu logika hukum antara Hotman dan Suparji terjadi.
Kejagung membawa 90 dokumen bukti, sementara kubu Nadiem bersikukuh bahwa tanpa audit resmi, semua bukti itu hanya ââ¬Åbayangan kertasââ¬Â.
Kasus ini bukan hanya soal hukumââ¬âia juga menyentuh politik dan persepsi publik.
Program Chromebook adalah simbol transformasi digital di era Nadiem. Jika terbukti bermasalah, maka kredibilitas kebijakan pendidikan digital ikut tergerus.
Sebaliknya, jika tuduhan ini terbukti lemah, publik akan melihatnya sebagai preseden buruk bagi reformasi pendidikan dan penegakan hukum yang berlebihan.
Bagi sebagian pihak, sidang ini adalah ujian transparansi Kejaksaan Agung, yang dalam beberapa tahun terakhir gencar mengangkat kasus besar, namun kerap dituding terlalu cepat menetapkan tersangka.
Bagi pihak lain, ini adalah ujian tanggung jawab moral Nadiemââ¬âbahwa niat baik kebijakan tidak menghapus potensi penyalahgunaan anggaran.
Perdebatan ini menyingkap satu masalah laten dalam sistem hukum kita: ketergantungan pada audit sebagai simbol kebenaran hukum.
Hotman berpendapat, tanpa LHP BPK atau BPKP, tidak ada dasar objektif untuk menilai kerugian negara. Tapi Suparji dan pihak Kejagung melihatnya berbeda: hukum pidana tidak mensyaratkan lembaga tertentu untuk mengonfirmasi kerugian, asalkan kerugiannya nyata dan dapat dihitung.
Perbedaan ini bukan sekadar soal prosedur, tapi soal filsafat hukum:
Apakah hukum pidana bertumpu pada kepastian angka, atau pada kebenaran substantif?
Jika pengadilan kelak memutuskan bahwa penetapan tersangka tetap sah meski kerugian belum terhitung resmi, maka Indonesia sedang membuka bab baru dalam hukum acara pidana ââ¬â di mana dugaan dapat mendahului perhitungan.
Namun, bila hakim mengabulkan gugatan praperadilan Nadiem, itu akan menjadi peringatan keras bagi aparat penegak hukum untuk berhati-hati sebelum menuduh, dan untuk menghormati prinsip audit independen sebagai benteng keadilan.
Di luar ruang sidang, publik menunggu dalam kebingungan: siapa yang benar, siapa yang terburu-buru?
Yang pasti, kasus ini bukan hanya soal Chromebook, tapi soal integritas hukum di era digital tentang sejauh mana negara boleh menuduh, sebelum benar-benar menghitung.
Ketika sidang ditutup sore itu, Hotman merapikan jas merah mudanya, tersenyum ke arah kamera, dan berkata lirih kepada wartawan. Kalau hukum tidak menghitung dengan benar, maka keadilan jadi sekadar perasaan.
Di sudut lain, tim Kejagung menunduk, memeluk map berisi dokumen. Di dalamnya, mungkin tersimpan bukti, atau sekadar keinginan untuk membuktikan.
Sidang akan berlanjut. Dan publik masih menunggu bukan hanya siapa yang menang, tapi siapa yang benar.
Infografik Kasus
Program Digitalisasi Sekolah diluncurkan oleh Kemendikbudristek di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim.
Tujuannya: pemerataan akses pendidikan digital di sekolah-sekolah seluruh Indonesia.
Produk utama: Chromebook, perangkat berbasis Chrome OS.
Nilai proyek: ñ Rp17 triliun (dalam beberapa tahap pengadaan).
Tahun 2023 - 2024
Laporan mulai bermunculan:
-
Banyak Chromebook mangkrak di gudang sekolah.
-
Tidak semua sekolah memiliki jaringan internet memadai.
-
Dugaan mark-up harga dan spesifikasi tidak sesuai tender.
Kejagung mulai pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket).
Mei 2025
Kejaksaan Agung RI resmi menyelidiki proyek Chromebook sebagai kasus dugaan korupsi.
Fokus penyidikan:
-
Pengadaan perangkat dan software pendukung.
-
Keterlibatan vendor dan pejabat pembuat komitmen (PPK).
-
Penentuan kerugian negara (belum ada LHP resmi).
September 2025
Kejagung menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka.
Dasar: alat bukti permulaan, dokumen pengadaan, dan keterangan saksi internal.
23 September 2025: Nadiem mengajukan permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan.
3 Oktober 2025
Sidang praperadilan dibuka.
Kejagung memohon agar gugatan Nadiem ditolak karena cacat formil.
Mereka menyatakan memiliki 4 alat bukti utama.
6 Oktober 2025
Pihak Kejagung menyerahkan sebagian dokumen bukti tambahan.
Hakim menetapkan agenda sidang lanjutan dengan pemeriksaan ahli dari Kejagung.
8 Oktober 2025
Agenda pembuktian dan pemeriksaan ahli.
Saksi ahli: Suparji Ahmad (Universitas Al-Azhar Indonesia).
Perdebatan sengit dengan Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum Nadiem.
Topik utama: Apakah penetapan tersangka sah tanpa audit kerugian negara resmi?
Kejagung membawa sekitar 90 dokumen bukti.
Kategori | Nama / Lembaga | Peran |
---|---|---|
Pemohon Praperadilan | Nadiem Makarim | Mantan Mendikbudristek; menggugat penetapan tersangka oleh Kejagung |
Kuasa Hukum Pemohon | Hotman Paris Hutapea | Membela Nadiem, menuding Kejagung melanggar prosedur hukum |
Termohon | Kejaksaan Agung RI | Penegak hukum yang menetapkan Nadiem sebagai tersangka |
Ahli Hukum Pidana | Dr. Suparji Ahmad, UAI | Saksi ahli Kejagung; menjelaskan unsur kerugian negara |
Hakim Tunggal PN Jaksel | I Ketut Darpawan | Memimpin sidang praperadilan |
Lembaga Audit | BPK / BPKP | Belum diketahui keterlibatan resminya dalam penghitungan kerugian |
Publik & Media | Penonton, saksi, sekaligus pengadil moral dari luar ruang sidang |
Aspek | Data / Estimasi |
---|---|
Tahun pengadaan | 2019-2023 |
Anggaran total | Rp17 triliun |
Unit Chromebook dibeli | 2,4 juta unit |
Estimasi harga per unit | Rp67 juta |
Laporan masalah | 20- 30% unit tidak digunakan efektif |
Dugaan kerugian negara | Rp500 miliar Rp1 triliun (belum terverifikasi audit) |
Lembaga pelaksana | Kemendikbudristek, LPSE, sejumlah vendor swasta |
Isu | Kubu Nadiem (Pemohon) | Kubu Kejagung (Termohon) |
---|---|---|
Kerugian Negara | Harus berdasarkan LHP resmi (BPK/BPKP) sebelum penetapan tersangka. | Bisa didasarkan pada bukti awal dan audit internal. |
Penetapan Tersangka | Prematur, karena alat bukti belum cukup. | Sudah sah karena ada bukti permulaan yang cukup. |
Audit | Unsur formil yang wajib ada. | Unsur pembuktian yang bisa dilengkapi belakangan. |
Motif Kasus | Politis, menyerang reputasi. | Hukum murni, demi akuntabilitas anggaran negara. |
Kasus Chromebook bukan sekadar soal perangkat digital, tapi soal integritas prosedur hukum.
Bila kerugian belum dihitung tapi tuduhan sudah dilayangkan, kita sedang meminjam keadilan dari masa depan.
TimSchoolmedia
Tinggalkan Komentar