Cari

Wamendiksmen, Dr Fajar Riza Ul Haq: “Batasi Penggunaan Gawai pada Anak Usia Dini Untuk Cegah Brain Rot atau Pembusukan Otak Digital”


Schoolmedia News Jakarta --- Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikdasmen, Dr Fajar Riza Ul Haq mengajak Fasilitator PAUD Holistik Integratif (PAUD HI) yang memiliki peran sentral sebagai pendamping sekaligus penggerak layanan yang mencakup pengasuhan, pendidikan, kesehatan, gizi, dan perlindungan anak usia dini untuk mengingatkan orangtua membatasi penggunaan gawai atau smartphone. 

Menurut Wamendikdasmen, di era serba digital seperti sekarang, pemandangan anak kecil asyik bermain gawai (gadget) bukan lagi hal yang asing. Berdasarkan berbagai riset terbaru, lebih dari 70% anak usia sekolah di Indonesia sudah terpapar gawai secara rutin. 

Mirisnya, banyak di antara mereka yang sudah mengenal ponsel sejak usia balita, bahkan sebelum bisa bicara dengan lancar. 

"Karena saya memilik tiga anak, anak paling kecil usia PAUD masih 5 tahun dan paling besar kelas 5 SD, setelah membaca banyak penelitian terkait bahaya penggunaan HP pada anak usia dini ini membuat kekhawatiran saya sebagai orangtua," ujar Fadjar Riza Ulhaq dalam arahannya kepada Fasilitator PAUD HI yang mengikuti Bimtek Penguatan Fasilitator Tahap 2 di Jakarta, Rabu (5 /6). Mendampingi arahan Wamendikdasmen, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Dr Nia Nurhasanah M.Pd.

Dikatakan oleh Wamendikdasmen, fenomena ini memicu kekhawatiran para ahli tumbuh kembang anak. Salah satu istilah yang mulai mengemuka adalah "brain rot" atau pembusukan otak digital, yang menggambarkan kondisi penurunan kemampuan kognitif akibat paparan layar yang berlebihan sejak dini. 

"Otak anak usia 0-6 tahun sedang berada dalam masa keemasan pertumbuhan dan pembentukan koneksi saraf. Ketika otak lebih sering distimulasi oleh layar pasif daripada interaksi nyata, proses tumbuh kembang bisa terganggu secara permanen," ujarnya.

Dijelaskan oleh Fadjar, sejak kemunculan media sosial dan smartphone, pola pengasuhan keluarga mengalami pergeseran signifikan. Banyak orang tua, sadar atau tidak, mulai menggantikan peran mereka dengan layar. Anak-anak diberi gawai agar "anteng", agar orang tua bisa menyelesaikan pekerjaan atau sekadar menikmati waktu sendiri. 

"Sayangnya, kenyamanan jangka pendek ini bisa menjadi bumerang di masa depan. Penggunaan HP secara berlebihan pada anak usia dini dikaitkan dengan berbagai dampak negatif," tugasnya.

Sejumlah dampak negatif yang akan terjadi pada Anak Usia Dini akibat terpapar gawai secara antara lain:

Penurunan kemampuan bahasa dan komunikasi

Kesulitan fokus dan konsentrasi

Gangguan tidur

Masalah perilaku dan emosi

Ketergantungan digital sejak usia dini merusak kesehatan mental anak


Orangtua Filter Terbaik 

Menurut Fadjar, orangtua adalah filter terbaik. Membatasi penggunaan gawai bukan berarti menghindari teknologi sepenuhnya. Yang penting adalah pengawasan dan pendampingan. Anak perlu dikenalkan pada dunia digital secara bertahap, sesuai usia, dan dalam konteks pembelajaran aktif.

"Beberapa langkah yang saya lakukan sebagai orang tua antara lain tidak memberikan HP pribadi kepada anak usia di bawah 6 tahun. Menetapkan jadwal dan durasi penggunaan layar (misalnya maksimal 1 jam/hari untuk anak usia 3–6 tahun). Mengajak anak bermain di luar rumah, membaca buku, atau berdongeng bersama. Dan memberi contoh penggunaan teknologi yang bijak dalam keluarga,"  paparnya.

Dikatakan, pembatasan penggunaan HP bukan sekadar aturan, tetapi bentuk kasih sayang. Anak usia dini butuh sentuhan, pelukan, dan komunikasi nyata, bukan layar yang dingin. Jika kita ingin generasi masa depan tumbuh sehat secara fisik, mental, dan sosial, maka pengasuhan yang sadar teknologi harus dimulai sekarang dari rumah kita sendiri.

Di tengah arus digitalisasi, penting bagi orang tua dan pendidik untuk menghidupkan kembali kebiasaan membaca buku fisik. Buku manual merangsang konsentrasi, memperluas kosakata, dan menumbuhkan imajinasi anak. Tidak seperti konten digital yang bersifat cepat dan dangkal, buku memberi ruang bagi anak untuk berpikir, memahami, dan merenung.

Membaca buku juga merupakan aktivitas yang mempererat ikatan emosional antara anak dan orang tua. Saat anak dibacakan cerita, mereka bukan hanya menyerap bahasa, tetapi juga rasa aman dan kasih sayang.


Indonesia Tertinggi Screentime di Dunia

Dalam paparannya, Wamendikdasmen menyebutkan dalam laporan global digital report menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 7 jam 22 menit per hari di depan layar angka tertinggi di dunia, di atas rata-rata global 6 jam. Ironisnya, mayoritas waktu tersebut digunakan untuk hiburan dan media sosial, bukan untuk hal-hal produktif seperti belajar, bekerja, atau mengembangkan keterampilan.

Dijelaskan fenomena ini menciptakan tantangan besar bagi dunia pendidikan dan pengasuhan anak. Fasilitator PAUD dan orang tua harus mencari solusi atas serapan digitalisasi yang terjadi tanpa kontrol. Anak-anak tak bisa dibiarkan mengikuti arus digital tanpa panduan yang bijak. Harus ada upaya bersama untuk menyeimbangkan antara teknologi dan kebutuhan dasar tumbuh kembang anak.

Untuk mencegah generasi masa depan mengalami pembusukan otak digital, berikut langkah konkret yang bisa dilakukan:

Batasi screen time sesuai rekomendasi usia (maksimal 1 jam per hari untuk usia 3 - 6 tahun)

Jadwalkan waktu membaca buku bersama anak setiap hari

Ajak anak bermain fisik secara aktif, baik di dalam rumah maupun di luar

Hindari penggunaan HP sebagai “penenang anak saat rewel

Jadilah teladan dalam penggunaan gawai secara sehat di rumah

Kebahagiaan dalam ekosistem PAUD sangat bergantung pada kesejahteraan guru. Untuk menghadirkan pembelajaran mendalam (deep learning) di satuan PAUD, kesejahteraan guru bukan hanya penting—tetapi menjadi kunci utama. Guru yang sejahtera akan lebih mampu menciptakan suasana belajar yang hangat, penuh kasih, dan bermakna.

Bangunlah karakter anak sejak usia dini dengan membiasakan sikap bersyukur dan berterima kasih. Ajarkan anak mengucapkan tiga kata ajaib—tolong, maaf, dan terima kasih—sebagai fondasi pembentukan karakter yang kuat. Kebiasaan kecil ini akan menjadi dasar tumbuhnya pribadi yang santun, empatik, dan menghargai sesama.

Di era digital saat ini, semakin banyak anak yang membawa handphone (HP) ke kamar tidur, bahkan hingga larut malam. Sepintas, hal ini tampak sepele—sekadar anak ingin menonton video, bermain gim, atau bersosialisasi lewat media sosial. Namun, kebiasaan ini dapat berdampak serius pada kesehatan mental dan tumbuh kembang anak, terutama jika dilakukan secara rutin setelah pukul 9 malam, paparnya.

Pentingnya 7 KAIH Diterapkan 

Menurut Fadjar, mencermati kekhawatiran tersebut inilah yang melatari mengapa 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat perlu lebih dari sekadar slogan. Kebiasaan ini bisa menjadi pedoman praktis bagi orangtua untuk membentuk karakter anak yang sehat secara fisik, mental, dan sosial

Anak yang terbiasa bermain HP hingga malam seringkali menunjukkan gejala kecanduan layar. Mereka menjadi sulit tidur, mudah cemas, dan enggan berinteraksi secara langsung. Padahal, interaksi dengan orangtua dan lingkungan sekitar sangat penting untuk perkembangan emosional anak. Salah satu kebiasaan anak hebat adalah berinteraksi aktif dan positif dengan keluarga dan teman.

Dikatakan dengan membatasi penggunaan HP setelah pukul 9 malam, anak belajar mengatur waktu dan disiplin dalam menjalankan rutinitas harian. Ini bagian dari membentuk kebiasaan bertanggung jawab atas waktu dan tugasnya, yang akan terbawa hingga dewasa.

Dalam proses tumbuh kembang anak dan remaja, peran guru dan orangtua sangatlah krusial. Mereka bukan hanya pemberi informasi, tapi juga pembentuk karakter, nilai, dan arah hidup anak. Namun, belakangan ini muncul kekhawatiran: semakin banyak anak dan remaja yang justru lebih percaya dan menggantungkan diri pada teman sebaya dibanding pada orangtua atau guru. Fenomena ini perlu disikapi serius.

"Teman sebaya memang penting bagi perkembangan sosial dan emosional. Di usia remaja, misalnya, anak mulai mencari identitas diri dan merasa lebih nyaman berbagi cerita kepada orang yang seumuran. Namun, jika semua keputusan penting, nilai, dan sikap hidup lebih banyak dipengaruhi oleh teman sebaya daripada orang dewasa yang membimbing, maka kita sedang menghadapi krisis otoritas," jelasnya.

Salah satunya karena komunikasi antara orangtua, guru, dan anak seringkali terputus. Di rumah, orangtua sibuk dengan pekerjaan. Di sekolah, guru terfokus pada kurikulum. Akibatnya, anak mencari tempat lain untuk merasa dimengerti: teman sebaya. Celakanya, teman sebaya pun belum tentu memiliki kedewasaan atau nilai yang tepat untuk dijadikan panutan.

Peran orangtua dan guru tak tergantikan. Orangtua adalah fondasi pertama pendidikan karakter. Dari merekalah anak belajar kasih sayang, disiplin, dan integritas. Guru adalah jembatan pengetahuan dan pembimbing moral. Mereka memiliki pengalaman dan perspektif yang luas untuk membantu anak menghadapi tantangan hidup.

Agar tidak tergantikan perannya, orangtua dan guru perlu membangun komunikasi yang terbuka dan hangat. Dengarkan anak tanpa menghakimi. Berikan waktu dan perhatian. Tunjukkan keteladanan dalam sikap dan tindakan. Bangun kepercayaan sehingga anak merasa nyaman berbagi, bukan hanya dengan teman sebaya, tapi juga dengan orang dewasa yang peduli dan bertanggung jawab terhadap masa depannya. 

Dalam kesempatan itu, Direktur PAUD mengatakan saat ini hampir 80% Satuan Pendidikan Anak Usia Dini telah melaksanakan program PAUD HI. Pentingnya satuan PAUD melakukan program PAUD HI (Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif) adalah untuk memastikan anak-anak mendapatkan layanan yang menyeluruh dan terpadu, mencakup pendidikan, kesehatan, gizi, pengasuhan, perlindungan, dan kesejahteraan. 

PAUD HI bertujuan untuk mengembangkan potensi anak secara utuh dan melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. 

Selain itu, PAUD HI ikut mempersiapkan anak-anak untuk lebih siap memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Program ini memberikan fondasi yang kuat untuk perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak, sehingga mereka lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekolah,” ujarnya. 

Peliput : Awang dan Eko Harsono 


Berita Sebelumnya
Kemendikdasmen Terbitkan Surat Edaran Pelaksanaan Permendikdasmen Nomor 8 Tahun 2025: Dana BOSP Difokuskan untuk Buku, Pemeliharaan, dan Honor

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar