
Schoolmedia News Jakarta == Suasana ruang sidang Mahkamah Konstitusi di Jakarta, terasa tegang tapi juga penuh penjelasan teknis. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berdiri di depan majelis hakim, menangkis berbagai gugatan uji materi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Di hadapan hakim dan perwakilan pemohon dari kalangan akademisi kedokteran, Budi berusaha meyakinkan bahwa sistem pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakitâhospital-basedâyang diatur dalam undang-undang itu bukanlah bentuk pengambilalihan peran perguruan tinggi.
âPenyelenggara utama bukan berarti eksklusif,â ujar Budi, suaranya datar tapi tegas. âRumah sakit tetap wajib bekerja sama dengan perguruan tinggi sesuai standar pendidikan tinggi kedokteran.â
Budi sadar, kata âberbasis rumah sakitâ telah memunculkan gelombang resistensi di kalangan fakultas kedokteran. Banyak akademisi menilai sistem itu akan memangkas peran universitas yang selama ini menjadi pusat penggemblengan calon dokter spesialis. Tapi di sisi lain, Budi melihat realitas lapangan yang lebih mendesak: Indonesia kekurangan dokter spesialis dalam jumlah besar dan distribusinya timpang di banyak daerah.
Krisis Dokter Spesialis
Kementerian Kesehatan mencatat Indonesia masih kekurangan sekitar 70 ribu dokter spesialis hingga tahun 2032. Dari 38 provinsi, 25 di antaranya mengalami defisit tenaga dokter di bidang-bidang krusial seperti bedah jantung, anestesi, dan kebidanan. Ketimpangan ini membuat rumah sakit daerah kerap bekerja setengah kemampuan.
âBanyak rumah sakit sudah punya ruang operasi modern, tapi tak ada dokter spesialis untuk memakainya,â ujar seorang pejabat Kemenkes yang mendampingi Budi di MK.
Situasi ini menjadi alasan utama lahirnya gagasan pendidikan hospital-based. Dalam sistem baru itu, rumah sakit pendidikan dapat menyelenggarakan program pendidikan spesialis dengan supervisi dari perguruan tinggi dan kolegium profesi. Tujuannya, agar calon dokter bisa belajar langsung di tempat yang membutuhkan mereka, bukan hanya di kota besar tempat fakultas kedokteran berpusat.
âSelama ini pendidikan spesialis tersentralisasi di universitas besar di Jawa,â kata Budi. âAkibatnya, banyak daerah menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan tenaga ahli.â
Melalui skema baru ini, peserta didik akan menempuh pendidikan lebih dekat dengan daerah asalnya, sekaligus mengabdi di rumah sakit setempat. Pemerintah berharap model tersebut akan menumbuhkan rasa keterikatan profesional dengan daerahnya sendiri.
Menurut Budi, langkah Indonesia sebenarnya bukan hal baru di dunia pendidikan kedokteran. âDi banyak negara maju, dokter spesialis dididik di rumah sakit dan dibayar,â ujarnya. âIndonesia satu-satunya yang masih sepenuhnya berbasis universitas.â
Sistem hospital-based telah lama diterapkan di Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Jepang. Para dokter muda di negara-negara itu menjalani pendidikan residensi langsung di rumah sakit, dengan pola magang profesional yang dikombinasikan dengan pengajaran akademik.
Di Indonesia, model serupa sebenarnya pernah ada pada masa awal berdirinya fakultas kedokteran, tapi kemudian bergeser menjadi sistem universitas penuh. Kini, pemerintah mencoba mengembalikan keseimbangan itu dengan menciptakan dua jalur yang berjalan paralel: university-based dan hospital-based.
âKami tidak menghapus yang lama,â kata Budi. âKami menambah jalur baru agar akses pendidikan dokter spesialis lebih luas dan cepat.â
Uji Coba di Enam Rumah Sakit
Kemenkes telah memulai uji coba sistem hospital-based di enam rumah sakit pendidikan: antara lain RSUP Dr. Kariadi Semarang, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSUP Sanglah Denpasar, dan RSUP Dr. Soetomo Surabaya. Sebanyak 109 peserta dari berbagai daerah mengikuti program perintis ini. Mereka datang dari latar belakang yang beragam, tapi memiliki kesamaan: semangat untuk mengabdi di daerah masing-masing setelah lulus.
âKalau model ini berhasil, kami bisa memperbanyak dokter spesialis tanpa harus menunggu kapasitas universitas yang terbatas,â ujar Budi.
Pemerintah menyiapkan skema pembiayaan yang lebih inklusif. Peserta hospital-based dapat menerima tunjangan selama masa pendidikan, sehingga tak perlu menanggung biaya besar seperti sistem universitas selama ini. Hal ini, kata Budi, bisa membuka jalan bagi lebih banyak dokter umum dari daerah terpencil untuk melanjutkan pendidikan tanpa beban finansial berat.
Namun, gagasan ini tidak diterima tanpa kritik. Sejumlah perguruan tinggi menilai model hospital-based berpotensi menurunkan mutu pendidikan spesialis jika tidak diatur ketat. Mereka khawatir, jika rumah sakit diberi peran utama, maka aspek akademik, riset, dan evaluasi kompetensi bisa terpinggirkan.
Asosiasi Fakultas Kedokteran Indonesia (AFKI) bahkan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan sistem baru itu melanggar prinsip pendidikan tinggi yang diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi.
Menjawab hal itu, Budi menegaskan bahwa sistem hospital-based tetap tunduk pada standar akademik yang ditetapkan perguruan tinggi dan kolegium profesi. âRumah sakit tidak bisa berjalan sendiri,â katanya. âMereka wajib bekerja sama dengan universitas dan organisasi profesi sesuai standar yang berlaku.â
Ia menambahkan, kolaborasi justru akan lebih erat karena rumah sakit, universitas, dan kolegium kini duduk sejajar sebagai mitra dalam mencetak dokter spesialis. âKita harus keluar dari ego sektoral. Ini masalah kemanusiaan, bukan sekadar institusi,â ujarnya.
Bangun Dari Pinggiran
Dalam pandangan Budi, sistem baru ini bukan hanya soal efisiensi pendidikan, tapi juga strategi pemerataan layanan kesehatan. Pemerintah menargetkan pada 2032 seluruh provinsi memiliki rasio dokter spesialis yang memadai. Rumah sakit di Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, dan Papua akan menjadi prioritas penerapan hospital-based.
âKalau kita terus menunggu universitas besar membuka program baru, akan terlalu lama,â kata Budi. âPadahal masyarakat di daerah sudah menunggu dokter yang bisa menolong mereka.â
Program ini menjadi bagian dari visi besar transformasi kesehatan Indonesia: memperkuat layanan primer, memperluas akses, dan memastikan tenaga medis tersedia di seluruh pelosok negeri.
Di ruang sidang MK hari itu, Budi menutup penjelasannya dengan nada optimistis. âIni bukan tentang siapa yang mengajar,â ujarnya, âtapi tentang bagaimana negara hadir untuk memastikan setiap warga mendapatkan dokter terbaik, di mana pun mereka berada.â
Sidang berakhir, tapi perdebatan tentang masa depan pendidikan kedokteran Indonesia masih akan panjang. Di tengah kekhawatiran akademik dan harapan pemerintah, satu hal yang pasti: reformasi ini sedang menguji kemampuan bangsa menyeimbangkan antara mutu, akses, dan keadilan dalam pelayanan kesehatan.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar