
Schoolmedia News Jakarta == Kebijakan pemerintah yang memperbolehkan warga negara asing (WNA) menjadi direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai langkah ini sebagai kebijakan yang ngawur dan tidak menjawab akar persoalan tata kelola di tubuh BUMN.
Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang memberi kewenangan Badan Pengelola (BP) BUMN untuk menunjuk warga negara asing sebagai anggota direksi.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyatakan kebijakan tersebut dimaksudkan untuk membawa standar internasional dalam pengelolaan BUMN. Namun, bagi ICW, alasan itu tidak berdasar dan justru mengabaikan fakta bahwa sebagian besar BUMN telah mengadopsi standar internasional.
Pada 2021, sebanyak 98 dari 107 BUMN sudah memiliki sertifikasi SNI ISO 37001:16 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan. Jadi, dalih standar internasional itu tidak relevan, tulis ICW dalam siaran pers yang diterima redaksi, Kamis (23/10).
ICW mengingatkan bahwa perubahan Pasal 15A ayat (3) dalam UU tersebut ââ¬â yang memberi wewenang BP BUMN untuk mengabaikan syarat kewarganegaraan Indonesia bagi direksi ââ¬â membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Pasal ini sangat rawan disalahgunakan karena tidak mengatur mekanisme seleksi dan syarat transparansi bagi penunjukan WNA. Publik tidak tahu dalam kondisi apa warga asing dianggap layak memimpin perusahaan negara, tegas ICW.
Tanpa regulasi turunan yang jelas, ICW khawatir penunjukan direksi asing bisa dilakukan secara tertutup dan tidak akuntabel. Kebijakan ini berpotensi menjadi pintu masuk bagi praktik kolusi baru di tubuh BUMN, tulis lembaga antikorupsi itu.
ICW juga menyoroti hambatan hukum dalam penindakan kasus korupsi yang melibatkan warga negara asing. UU Tipikor saat ini tidak memiliki yurisdiksi ekstrateritorial, sehingga jika praktik suap atau pencucian uang dilakukan di luar negeri, aparat Indonesia sulit menjangkaunya.
Kasus suap Rolls-Royce yang melibatkan Emirsyah Satar adalah contoh nyata. Pemberi suap warga Inggris tidak bisa dijerat karena transaksi terjadi di luar wilayah hukum Indonesia, tulis ICW.
Begitu pula dalam kasus korupsi mantan Dirut Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, yang mengalihkan aset ke Swiss. Indonesia kala itu tidak memiliki perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Swiss, sehingga proses pelacakan dan pengembalian aset mandek.
Menurut ICW, jika WNA diangkat menjadi penyelenggara negara tanpa pembenahan regulasi lintas yurisdiksi, maka akan muncul ââ¬Åruang impunitasââ¬Â baru yang menghambat penegakan hukum.
Setelah penghapusan Pasal 9G melalui revisi terbaru, direksi BUMN kembali masuk dalam kategori penyelenggara negara, yang berarti tunduk pada UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN.
Konsekuensinya, WNA yang duduk sebagai direksi BUMN wajib melaporkan harta kekayaan (LHKPN), serta tunduk pada ketentuan suap dan gratifikasi. ICW mengingatkan, lembaga seperti KPK dan Kejaksaan Agung harus memastikan penegakan hukum yang setara terhadap WNA yang melanggar.
KPK tidak boleh pandang bulu. Jika ada direksi asing yang tidak melapor LHKPN atau menerima gratifikasi, harus ditindak sebagaimana pejabat Indonesia lainnya, ujar ICW.
Kebijakan Tidak Sentuh Akar Masalah
ICW menegaskan bahwa perbaikan BUMN bukan terletak pada asal kewarganegaraan direksinya, tetapi pada pembenahan tata kelola dan akuntabilitas internal.
Sejak 2016 hingga 2024, ICW mencatat 234 kasus korupsi di tubuh BUMN dengan 400 pejabat menjadi tersangka dan kerugian negara mencapai Rp68 triliun.
Fakta itu menunjukkan, masalah BUMN bukan soal kemampuan individual, melainkan sistem pengawasan yang lemah dan intervensi politik yang tinggi, ujar ICW.
Sebagai tindak lanjut, ICW mendesak tiga langkah konkret:
-
BP BUMN harus transparan dalam penunjukan warga asing sebagai direksi, dengan aturan ketat soal seleksi, konflik kepentingan, dan kebutuhan jabatan.
-
KPK wajib menegakkan kewajiban pelaporan LHKPN dan menindak pelanggaran gratifikasi oleh direksi asing.
-
Kejaksaan RI dan KPK harus menindak tegas setiap dugaan korupsi yang melibatkan WNA di jajaran BUMN tanpa diskriminasi.
Kebijakan membuka jabatan direksi BUMN bagi WNA juga dinilai tidak sensitif terhadap semangat nasionalisme ekonomi yang selama ini dijunjung BUMN sebagai pelaksana fungsi publik.
BUMN adalah tulang punggung ekonomi nasional. Memberikan posisi strategisnya kepada warga asing tanpa sistem pengawasan yang kokoh adalah langkah elitis yang mengkhianati mandat konstitusi, pungkas ICW.
Dengan dalih standar internasional pemerintah dinilai justru menyingkirkan prinsip kedaulatan ekonomi dan membuka potensi kebocoran baru dalam pengelolaan aset negara.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar