Cari

Kursi Komisaris BUMN: Sarang Baru Politik Balas Jasa dan Ancaman Korupsi



Schoolmedia News Jakarta == Kasus korupsi yang tak kunjung surut dan kerugian finansial yang terus membebani banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya menjadi pembelajaran berharga dan peringatan keras bagi pemerintah. BUMN, yang sejatinya adalah instrumen ekonomi negara untuk menyejahterakan rakyat, kini justru menghadapi krisis tata kelola yang sistemik.

Alih-alih melakukan perbaikan fundamental, yang terjadi adalah semakin meruyaknya praktik rangkap jabatan dan dominasi kepentingan politik dalam penunjukan Dewan Komisaris. Fenomena ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan sebuah regresi tata kelola yang secara langsung mengancam integritas dan keberlanjutan perusahaan pelat merah, membuka lebar pintu bagi konflik kepentingan dan potensi korupsi.


Riset terbaru dari Transparency International Indonesia (TI Indonesia) menunjukkan gambaran yang sangat mengkhawatirkan. Hingga 30 September 2025, catatan kami menunjukkan adanya 33 wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.

Angka ini belum mencakup satu Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM yang merangkap di BP Danantara dan satu Kepala Staf Kepresidenan yang juga menjabat komisaris di PT Pertamina Hulu Energi. Praktik ini secara nyata mengabaikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan meremehkan semangat perbaikan yang didengungkan.

Bahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 128/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 28 Agustus 2025, yang seharusnya menjadi landasan untuk mengurangi praktik rangkap jabatan, faktanya tak cukup membuat pemerintah bergeming.

Dominasi PEPs: Ketika BUMN Dijadikan 'Pabrik' Balas Jasa Politik

Dalam upaya membongkar jaringan intervensi politik di BUMN, TI Indonesia melakukan riset lanjutan untuk memetakan komposisi komisaris yang dicurigai sebagai tempat penampungan politisi, birokrat, dan relawan politik. Kami mengkategorikannya sebagai Politically Exposed Persons (PEPs), yang meliputi birokrat, politisi, profesional, akademisi, ormas, aparat penegak hukum, militer, dan mantan pejabat negara.

Kelompok-kelompok ini, terutama para politisi, pejabat publik, dan orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan lingkaran kekuasaan, dianggap sebagai area risiko korupsi yang signifikan bagi BUMN karena potensi penggunaan pengaruh yang tidak semestinya (undue influence) dan konflik kepentingan.

Riset ini dilakukan terhadap 119 perusahaan, mencakup 59 induk BUMN dan 60 anak usaha BUMN, berdasarkan Laporan Keuangan Gabungan BUMN Tahun 2023 yang diterbitkan oleh Kementerian BUMN. Hasilnya sangat mencengangkan.

Dari total 562 jabatan komisaris yang diteliti, komposisi latar belakang komisaris menunjukkan dominasi mutlak dari kalangan birokrat dan politisi.

NoJenis Politically Exposed PersonsJumlah
1Birokrat174
2Politisi165
3Profesional133
4Militer35
5Aparat Penegak Hukum29
6Akademisi15
7Ormas10
8Mantan Pejabat Negara1
TOTAL
562

Data di atas menunjukkan bahwa latar belakang birokrat (174) dan politisi (165) menguasai 60% dari keseluruhan kursi komisaris BUMN. Ini adalah angka yang sulit dipertanggungjawabkan dari perspektif meritokrasi dan profesionalisme.


Sebaran Kekuatan Politik: Induk Usaha sebagai Jantung Intervensi

Analisis lebih dalam pada sebaran PEPs berdasarkan status perusahaan (induk/holding dan anak usaha) semakin memperjelas pola politisasi ini.

  • Pada Induk Usaha (Holding) BUMN, dominasi politisi dan birokrat sangat kuat. Birokrat mencakup 37,8% dan Politisi 31,3% dari total komisaris. Ini mengindikasikan bahwa jabatan-jabatan strategis di tingkat pengambilan keputusan tertinggi sengaja disisihkan untuk memfasilitasi kepentingan birokrasi dan politik.

  • Pada Anak Usaha BUMN, gabungan birokrat dan politisi masih mencapai 51,9%, jauh di atas komisaris dengan latar belakang profesional yang hanya 32,1%.

Tingginya persentase politisi dalam jajaran komisaris ini secara terang-terangan mengindikasikan bahwa jabatan tersebut telah dialokasikan sebagai balas jasa atau penghargaan bagi para pendukung politik pasca-pemilu. Dari 165 kursi yang diduduki politisi, 109 kursi ditempati oleh anggota/kader partai politik dan 56 kursi dialokasikan untuk relawan politik.

Temuan yang paling mengejutkan adalah peta kekuatan partai politik. Partai Gerindra, yang Ketua Umumnya adalah Presiden Prabowo Subianto, mendominasi alokasi kursi komisaris BUMN dengan jumlah mencapai 53 orang.

NoPartai PolitikJumlah Komisaris di BUMN
1Gerindra53
2Demokrat10
3Golkar9
4PDIP6
5PAN6
6PSI6
...Partai Lain19
Total Anggota Parpol
109

Dominasi satu partai politik—apalagi partai yang menaungi Presiden—dalam alokasi kursi strategis di BUMN merupakan indikator kuat politisasi yang dapat mengganggu netralitas, independensi, dan profesionalisme BUMN. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan bisnis BUMN dapat disubordinasi di bawah kepentingan elektoral dan konsolidasi kekuasaan, bukan murni kepentingan bisnis atau pelayanan publik.


Sektor Strategis: Area Rawan Konflik Kepentingan

Politisasi ini juga sangat kental di sektor-sektor BUMN yang paling strategis bagi perekonomian nasional: Energi, Perbankan, dan Infrastruktur.

Jenis PEPsSektor EnergiSektor PerbankanSektor Infrastruktur
Birokrat25,9%26,7%35,4%
Politisi40,5%25,3%23,1%
Profesional13,8%42,7%23,1%
Militer8,6%-4,6%
Aparat Penegak Hukum7,8%1,3%10,8%
Lain-lain3,2%4,0%3,1%

Di Sektor Energi, yang menjadi tulang punggung ketahanan negara, kelompok politisi menguasai porsi terbesar komisaris dengan 40,5%. Angka ini jauh melampaui kelompok profesional (13,8%). Dominasi politisi di sektor energi adalah "jantung konflik kepentingan" karena keputusan investasi, kebijakan harga, dan proyek-proyek besar sangat rentan dipengaruhi motif politik, bukan efisiensi bisnis.

Sementara di Sektor Perbankan, meskipun profesional memiliki porsi terbesar (42,7%), kelompok birokrat (26,7%) dan politisi (25,3%) tetap menduduki lebih dari separuh (52%) kursi komisaris. Intervensi politik dalam sektor keuangan dapat mengancam stabilitas perbankan BUMN dan netralitas penyaluran kredit, yang berpotensi digunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.


Kelemahan Sistem: Abaikan Kapasitas, Tabrak Etika

Riset TI Indonesia menegaskan bahwa masalah utama bukan hanya soal jumlah, tetapi juga proses dan kualitas penunjukan.

1. Rangkap Jabatan dan Konflik Kepentingan:

Kehadiran 33 wakil menteri yang merangkap sebagai komisaris BUMN menciptakan kaburnya batas kewenangan antara regulator dan eksekutor. Pejabat yang seharusnya mengawasi (sebagai komisaris) juga merupakan bagian dari birokrasi yang menentukan kebijakan (sebagai wakil menteri). Hal ini secara inheren melanggar prinsip independensi pengawasan dan berpotensi memicu benturan kepentingan (seperti yang dilarang UU Kementerian Negara dan UU Pelayanan Publik).

2. Due Diligence yang Serampangan dan Anti-Meritokrasi:

Proses penunjukan komisaris BUMN faktanya tidak mengalami pengurangan, bahkan cenderung dilakukan secara serampangan. Aspek kapasitas, pengetahuan yang memadai, dan integritas seringkali dikesampingkan. Penempatan PEPs yang minim latar belakang profesional di sektor kritis mengindikasikan melemahnya sistem meritokrasi. Posisi pengawasan strategis dialihkan dari profesionalisme ke loyalitas politik.

3. Abai terhadap Cooling Off Period:

Penempatan anggota partai politik aktif, mantan birokrat, mantan aparat penegak hukum, dan mantan anggota militer secara serta merta, tanpa jeda masa jabatan (cooling off period), adalah praktik yang sangat berisiko. Masa jeda ini krusial untuk memastikan bahwa individu tersebut telah melepaskan diri dari pengaruh struktural dan jaring-jaring politik sebelumnya. Tanpa cooling off period, potensi penggunaan pengaruh yang tidak semestinya dan konflik kepentingan menjadi sangat tinggi.


Sikap dan Desakan Masyarakat Sipil Indonesia

Melihat fakta sistematis politisasi dan rangkap jabatan ini, masyarakat sipil Indonesia harus mengambil sikap tegas dan terstruktur. BUMN adalah aset bangsa, dan pengelolaannya harus kembali pada prinsip GCG dan profesionalisme, bukan menjadi mesin politik bagi-bagi kekuasaan.

1. Desakan Reformasi Regulasi dan Implementasi GCG

  • Revisi Tuntas Aturan Rangkap Jabatan: Masyarakat sipil harus mendesak Presiden dan DPR untuk segera merevisi UU Kementerian Negara dan Peraturan Menteri BUMN terkait dengan rangkap jabatan, menegaskan larangan mutlak bagi menteri/wakil menteri, serta pejabat birokrasi aktif untuk merangkap sebagai komisaris BUMN. Larangan ini juga harus diperluas untuk mencakup jabatan lain yang memiliki konflik kepentingan aktual atau potensial.

  • Penguatan Aturan Cooling Off Period: Mendesak penetapan kebijakan cooling off period yang ketat (minimal 3-5 tahun) bagi politisi aktif, mantan pejabat negara, dan aparat penegak hukum/militer sebelum dapat menduduki jabatan komisaris. Tujuannya adalah memutus rantai undue influence dan koneksi politik.

  • Standar Meritokrasi yang Diperkuat: Mendorong Kementerian BUMN untuk mewajibkan transparansi penuh proses seleksi dan mewajibkan porsi mayoritas komisaris diisi oleh profesional yang memiliki rekam jejak dan keahlian relevan di sektor industri BUMN terkait.

2. Aksi Pengawasan dan Audit Publik

  • Gugatan dan Pelaporan Hukum: Koalisi masyarakat sipil, bersama lembaga antikorupsi (seperti ICW dan TI Indonesia), harus secara proaktif melaporkan praktik rangkap jabatan yang melanggar hukum (sesuai UU Kementerian Negara dan UU Pelayanan Publik) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI. Laporan ini harus mencakup desakan agar KPK menggunakan fungsi pencegahan korupsi, termasuk merekomendasikan pencopotan pejabat rangkap jabatan.

  • Audit Kinerja Berbasis Independensi: Mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit kinerja dan audit investigasi yang fokus pada hubungan antara komisaris PEPs dengan kebijakan bisnis dan keuangan BUMN. Audit harus mencari bukti adanya kerugian negara atau kebijakan yang bias akibat intervensi politik.

  • Membangun Jaringan Pengawasan Publik (JPP): Membentuk koalisi masyarakat sipil yang fokus pada pemantauan dan analisis data BUMN secara berkala. JPP harus mempublikasikan temuan-temuan rangkap jabatan, afiliasi politik, dan indikasi konflik kepentingan kepada publik secara masif, memanfaatkan kekuatan media dan media sosial.

3. Edukasi dan Mobilisasi Publik

  • Kampanye Anti-Politisasi BUMN: Menggelar kampanye edukasi dan advokasi yang masif untuk menyadarkan publik bahwa politisasi BUMN adalah akar kerugian negara dan penghambat kesejahteraan. Kampanye harus menargetkan kelompok profesional, akademisi, dan generasi muda agar terlibat aktif dalam penolakan terhadap bagi-bagi jabatan politik.

  • Mendesak Akuntabilitas Presiden: Secara langsung menuntut akuntabilitas dan keberanian politik dari Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan praktik penunjukan komisaris yang didominasi kader partai politiknya, khususnya Gerindra, sesuai dengan desakan TI Indonesia. Perbaikan tata kelola BUMN harus dimulai dari pucuk pimpinan dengan memilih individu yang bersih dari kepentingan politik dan berorientasi pada profesionalisme.

  • Kolaborasi dengan Akademisi dan Profesional: Menggandeng kampus dan asosiasi profesional untuk menyusun Kajian Kebutuhan Kompetensi Komisaris di setiap sektor BUMN. Kajian ini dapat menjadi counter-narrative yang kuat terhadap praktik penunjukan politisi tanpa dasar kapasitas yang memadai.


Dominasi PEPs di kursi komisaris BUMN adalah cerminan dari transaksi politik yang membahayakan masa depan ekonomi Indonesia. Praktik ini bukan sekadar persoalan moral atau etika, melainkan ancaman nyata terhadap GCG, integritas, dan potensi korupsi sistemik. Kegagalan pemerintah untuk bertindak tegas pasca-kasus korupsi yang masif dan putusan MK yang jelas adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanah publik.

Masyarakat sipil tidak boleh tinggal diam. Waktunya telah tiba bagi publik, profesional, dan akademisi untuk bersatu, menggunakan semua saluran hukum dan sosial yang ada untuk menekan pemerintah agar segera membersihkan BUMN dari kepentingan politik praktis dan mengembalikannya pada fungsi utamanya sebagai lokomotif ekonomi yang sehat, transparan, dan berintegritas. Jika ini tidak dilakukan, kursi-kursi komisaris akan terus menjadi ladang subur bagi by greed (keserakahan) dan political patronage (balas jasa politik), sementara kerugian negara akan terus membengkak.

Tim Schoolmedia 

Artikel Selanjutnya
Presiden Prabowo akan Hadiri KTT Perdamaian Sharm El-Sheikh
Artikel Sebelumnya
Pendidikan Vokasi Kian Diperkuat, Sinkronisasi dengan Dunia Industri Jadi Fokus Utama

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar