Cari

Indonesia Peringkat ke-3 Dunia Kasus Eksploitasi Seksual Anak Terjadi 1.450.403 Kasus



Schoolmedia News Jakarta == Suara tawa anak di balik layar gawai tak selalu bermakna bahagia. Di ruang digital yang tanpa batas, jutaan anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual daring. Laporan tahun 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia dengan 1.450.403 kasus eksploitasi seksual anak secara daring. Sebuah angka yang menyayat nurani, sekaligus menjadi alarm bagi bangsa yang tengah menapaki era transformasi digital.

Malam itu, layar ponsel Dita (bukan nama sebenarnya), 14 tahun, terus menyala. Notifikasi demi notifikasi masuk dari seseorang yang ia kenal lewat media sosial. Awalnya percakapan ringan, kemudian bergeser menjadi permintaan foto pribadi.

Dita tak tahu bahwa percakapan itu adalah awal dari mimpi buruk — video dirinya disebar ke berbagai platform tanpa sepengetahuannya. Ia menjadi bagian dari statistik mengerikan: jutaan anak yang tereksploitasi secara seksual di ruang digital.

Kasus seperti Dita bukan satu dua. Indonesia kini berada di posisi ketiga dunia dalam kasus Child Sexual Exploitation (CSE), dengan lebih dari 1,45 juta kasus dilaporkan sepanjang 2024. Angka ini bukan sekadar data. Ia adalah potret buram dari ekosistem digital yang belum sepenuhnya ramah bagi anak.

Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Anak (SIPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sepanjang 2024 tercatat 16.235 laporan kekerasan terhadap anak, dan lebih dari 60 persen di antaranya terjadi di ruang digital — baik berupa perundungan, eksploitasi seksual, maupun penyebaran konten intim tanpa izin.

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menegaskan bahwa perlindungan anak di ruang digital bukan lagi isu pinggiran, melainkan isu publik yang mendesak dan menyentuh martabat bangsa.

“Komdigi membangun ekosistem digital yang tidak hanya mendorong kreativitas dan pembelajaran, tetapi juga menjamin setiap anak terlindungi dari ancaman dunia digital,” ujar Nezar dalam forum Multistakeholder Dialogue on Follow the Money: Unmasking Child Sexual Exploitation through Financial Transactions di Jakarta, Kamis (2/10/2025).

Forum ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan — mulai dari penyedia layanan keuangan, lembaga penegak hukum, lembaga internasional, hingga platform digital global — untuk membahas bagaimana aliran uang dapat ditelusuri untuk mengungkap jaringan kejahatan eksploitasi seksual anak daring yang kini makin terorganisir.

Ancaman baru kini datang dari teknologi. Artificial Intelligence (AI) yang seharusnya menjadi alat kemajuan, justru digunakan sebagian pelaku untuk menciptakan konten kekerasan seksual berbasis anak.

Nezar mengungkapkan, laporan Internet Watch Foundation (IWF) mencatat lebih dari 3.500 konten berbasis AI diunggah ke dark web pada Juli 2024, dan jumlah itu melonjak hingga 20.000 konten pada Oktober 2023.

Sebagai langkah konkret, pemerintah resmi memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).

PP ini menjadi tonggak penting dalam upaya menutup celah hukum perlindungan anak di dunia maya. Melalui PP TUNAS, seluruh platform digital diwajibkan menerapkan sistem pencegahan dan pelaporan eksploitasi anak, termasuk penggunaan teknologi pendeteksi otomatis pada konten seksual eksplisit yang melibatkan anak.

“PP TUNAS bukan sekadar regulasi, melainkan panduan etis bagi semua penyelenggara sistem elektronik untuk menjamin ruang digital yang aman,” jelas Nezar.

PP ini juga mengatur kewajiban bagi penyedia platform untuk melakukan verifikasi usia pengguna, menyediakan fitur laporan cepat eksploitasi anak, dan menerapkan sistem moderasi konten adaptif berbasis AI yang diawasi manusia.

PP Tunas dan SAMAN Jadi Harapan 

Selain PP TUNAS, Komdigi telah meluncurkan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN) yang memantau kepatuhan platform terhadap prinsip perlindungan anak. Sistem ini memungkinkan pengawasan lebih cepat terhadap konten berisiko tinggi yang beredar di media sosial dan situs berbagi video.

Pemerintah juga tengah menuntaskan Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional, yang menekankan prinsip tata kelola AI berbasis manusia (human-centered governance). Langkah ini menjadi pondasi agar teknologi tidak menjadi alat eksploitasi, melainkan sarana pemberdayaan.

Nezar Patria menekankan bahwa perlindungan anak tidak bisa hanya dilakukan pemerintah. Dunia usaha, perbankan, penyedia layanan digital, hingga masyarakat sipil harus menjadi bagian dari solusi.

“Mari jadikan forum ini sebagai momentum kolaborasi yang lebih kuat antara kementerian, lembaga, penyedia jasa keuangan, e-wallet, hingga mitra global. Perlindungan anak di ruang digital adalah investasi bagi masa depan,” tandasnya.

KemenPPPA juga mengimbau masyarakat untuk aktif melapor melalui kanal SAPA129, portal lapor.go.id, dan aplikasi SIPA jika menemukan indikasi kekerasan atau eksploitasi anak di dunia maya. Setiap laporan akan ditindaklanjuti oleh unit layanan terpadu yang melibatkan psikolog, pendamping hukum, dan aparat penegak hukum.

Di tengah derasnya arus digitalisasi, anak-anak seharusnya tumbuh dengan rasa aman, bukan takut. Dunia maya seharusnya menjadi ruang belajar dan berkreasi, bukan ruang luka yang membekas seumur hidup.

PP TUNAS dan sistem perlindungan lintas sektor hanyalah langkah awal. Tantangan terbesar tetap pada kesadaran kolektif: bahwa setiap klik, unggahan, dan kebijakan harus berpihak pada kepentingan terbaik anak.

Karena di balik statistik 1.450.403 kasus itu, ada suara-suara kecil yang menunggu dunia dewasa untuk benar-benar melindungi mereka. Dan di sanalah, masa depan Indonesia sedang dipertaruhkan.

Tim Schoolmedia 

Artikel Selanjutnya
Jelang Putusan Praperadilan Kasus Chromebook Nadiem Makarim Senin 20 Oktober 2025
Artikel Sebelumnya
Pendidikan Bukan Sekadar Sekolah: Saatnya Kita Ubah Cara Pandang

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar