Cari

“Salah Cetak, Salah Ajar: Mengapa Buku Bermasalah Masih Masuk ke Ruang Kelas?”



Schoolmedia News Jakarta == Buku ajar merupakan jantung dari proses pembelajaran di sekolah. Di dalamnya tersimpan nilai, ilmu, dan arah pendidikan yang akan membentuk cara berpikir anak bangsa.

Namun, ketika buku ajar yang beredar justru mengandung kekeliruan substansi, bahasa, atau nilai, maka generasi muda bisa terjebak dalam pemahaman keliru yang berakibat panjang.

Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berulang kali menegaskan komitmen memastikan buku ajar di sekolah sesuai kurikulum, bermutu baik, dan mudah diakses.

“Buku ajar adalah sumber belajar utama. Melalui Sistem Informasi Perbukuan Indonesia (SIBI), kami memastikan buku yang digunakan di sekolah seharusnya telah melalui proses penilaian dan pengawasan agar layak,” ujar Kepala Pusat Perbukuan, Supriyatno.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan pengawasan ini masih memiliki celah besar. Pada 21 Agustus 2025, sebuah video di TikTok dari akun @ootd_glowbytika dengan lokasi Kota Cirebon memicu kontroversi. Video itu menyoroti isi buku ESPS Pendidikan Pancasila 1 untuk SD/MI Kelas 1 terbitan Penerbit Erlangga. BSKAP mengaku langsung melakukan pengecekan internal serta menelusuri identitas sekolah yang menggunakan buku tersebut.

Kasus ini bukan yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, publik berkali-kali dihebohkan dengan temuan buku ajar yang tidak tepat, antara lain:

  • Buku IPS SMP kelas VIII (2019) yang menyebut ibu kota negara Malaysia adalah “Kuala Lampu,” alih-alih Kuala Lumpur.

  • Buku Bahasa Indonesia SD kelas IV (2021) yang memuat ilustrasi kartun bernuansa SARA dan menuai kritik keras dari orang tua murid.

  • Buku Sejarah SMA (2023) yang menyinggung peran tokoh bangsa secara tidak proporsional dan dinilai berpotensi menimbulkan bias sejarah.

  • Buku Matematika kelas V (2024) yang memiliki soal tidak logis, seperti “jika seekor ayam memiliki 5 kaki, berapakah jumlah kaki 3 ekor ayam?”

Deretan kasus tersebut menunjukkan bahwa celah distribusi dan lemahnya verifikasi di sekolah masih memungkinkan buku-buku tanpa Surat Keputusan (SK) kelayakan beredar luas. 

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan secara tegas mengamanatkan agar setiap buku ajar yang digunakan di sekolah harus melewati proses penilaian yang ketat: mulai dari substansi, bahasa, hingga nilai kebangsaan. Tetapi dalam praktiknya, distribusi dan pengawasan di lapangan sering kali kalah cepat dibanding peredaran buku komersial.

“Pengawasan seharusnya tidak hanya berhenti di tingkat pusat, tetapi harus menyentuh dinas pendidikan daerah hingga sekolah. Banyak sekolah yang akhirnya menggunakan buku tanpa meneliti SK kelayakan, hanya karena distribusinya lebih mudah atau harganya lebih murah,” kata seorang pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Diah Pramesti.

BSKAP menyebut sudah menyiapkan mekanisme pelaporan melalui laman resmi SIBI maupun kanal pengaduan publik. Namun, kenyataannya, tidak semua guru dan orang tua mengetahui cara mengakses informasi tersebut. Keterbatasan sosialisasi menyebabkan partisipasi publik masih rendah.

“Buku yang salah bukan hanya soal teknis. Ia bisa merusak pola pikir anak. Karena itu guru dan orang tua harus lebih kritis memeriksa buku ajar sebelum dipakai,” tambah Diah.

Pusat Perbukuan menegaskan salah satu program prioritasnya adalah Penilaian Buku yang juga meliputi pengawasannya. Namun, tanpa integritas penerbit dan kewaspadaan publik, kasus buku bermasalah akan terus berulang.

Ke depan, BSKAP berjanji memperkuat pengawasan agar setiap buku yang beredar benar-benar sesuai standar mutu. “Kami juga mengimbau kepada seluruh pelaku perbukuan untuk menjaga integritas dengan mengikuti proses penilaian sesuai ketentuan,” kata Supriyatno.

Komitmen pemerintah melalui regulasi sudah jelas. Namun, pelaksanaan pengawasan di lapangan masih jauh dari ideal. Kasus-kasus buku bermasalah yang lolos ke ruang kelas menunjukkan lemahnya ekosistem pengawasan. Bila dibiarkan, bukan hanya kurikulum yang kacau, tetapi juga arah pembentukan karakter generasi muda akan melenceng.

Sistem pengawasan harus diperkuat dengan melibatkan semua pihak: pemerintah, penerbit, guru, orang tua, bahkan siswa. Buku ajar bukan sekadar teks cetakan, melainkan fondasi pengetahuan dan nilai bangsa.

Komitmen pemerintah melalui regulasi sudah jelas. Namun, pelaksanaan pengawasan di lapangan masih jauh dari ideal. Kasus-kasus buku bermasalah yang lolos ke ruang kelas menunjukkan lemahnya ekosistem pengawasan. Bila dibiarkan, bukan hanya kurikulum yang kacau, tetapi juga arah pembentukan karakter generasi muda akan melenceng.

Ada beberapa langkah yang seharusnya segera dilakukan:

  1. Sekolah wajib melaporkan daftar buku yang digunakan setiap semester kepada dinas pendidikan setempat untuk diverifikasi.

  2. Penguatan peran dinas pendidikan daerah agar tidak hanya menjadi penyalur, tetapi juga pengawas mutu buku di wilayahnya.

  3. Sanksi tegas bagi penerbit yang mengedarkan buku tanpa SK kelayakan, mulai dari denda hingga larangan distribusi sementara.

  4. Sosialisasi masif tentang SIBI kepada guru dan orang tua agar publik dapat berpartisipasi aktif dalam pengawasan.

  5. Audit berkala konten buku ajar yang sudah digunakan di sekolah untuk mencegah kesalahan berulang.

Tanpa langkah konkret seperti itu, pengawasan hanya akan berhenti pada janji dan komitmen, sementara buku bermasalah terus mengancam ruang belajar anak-anak Indonesia.

Tim Schoolmedia

Artikel Sebelumnya
610 Mahasiswa UGM Terima Beasiswa LPDP

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar