Schoolmedia News Jakarta == Pada hari-hari terakhir bulan Agustus 2025, jalanan di berbagai kota besar Indonesia dipenuhi suara demonstrasi. Teriakan mahasiswa, buruh, dan aktivis menggema menuntut perubahan dan keadilan. Namun, di tengah semangat perlawanan sipil itu, muncul kabar-kabar yang lebih sunyi, lebih menyakitkan: orang-orang mulai hilang tanpa jejak.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan kekhawatiran serius terhadap tindakan represif aparat keamanan selama periode 25â31 Agustus 2025. Demonstrasi yang sejatinya dilindungi oleh konstitusi, justru dibalas dengan ribuan penangkapan sewenang-wenang, kekerasan terhadap warga sipil, danâyang paling mengerikanâmunculnya dugaan kuat praktik penghilangan paksa.
Melalui Posko Pengaduan Orang Hilang yang dibuka sejak 1 September, KontraS mencatat 44 laporan orang hilang. Dari jumlah tersebut, 42 orang telah ditemukan, namun 33 di antaranya ditemukan dalam kondisi penahanan diam-diam oleh aparat. Mereka dikurung tanpa akses ke keluarga, tanpa pendamping hukum, dan tanpa kejelasan status hukum.
Hal ini, menurut KontraS, jelas memenuhi unsur penghilangan paksa, sebagaimana dilarang dalam Pasal 2 dan Pasal 17 ayat (1) Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED), yang telah diratifikasi Indonesia.
Namun dua nama masih belum ditemukan hingga kini:
-
Muhammad Farhan Hamid
-
Reno Syachputra Dewo
Keduanya terakhir terlihat di sekitar Mako Brimob, Kwitang, Jakarta Pusat. Hingga surat ini dirilis oleh KontraS pada 29 September, tidak ada informasi resmi dari aparat negara terkait keberadaan mereka. Tidak ada penyelidikan transparan. Tidak ada upaya yang dapat dilihat publik. Yang tersisa hanyalah keheningan, dan tangisan keluarga yang menanti di ambang pintu.
Di tengah kekosongan informasi, keluarga Farhan dan Reno bergandengan tangan bersama KontraS, mendesak negara untuk:
-
Segera melakukan pencarian menyeluruh dan intensif terhadap keduanya.
-
Membuka data dan proses investigasi di semua lokasi penahanan resmi maupun non-resmi milik Polri dan TNI.
-
Menindak tegas pelaku penghilangan paksa, termasuk mereka yang berada di posisi komando.
-
Melibatkan lembaga independen, seperti Komnas HAM dan LPSK, dalam pencarian dan perlindungan korban serta keluarganya.
-
Menjamin keterbukaan informasi kepada publik dan memberikan reparasi menyeluruh kepada korban dan keluarga.
-
Mengevaluasi total kebijakan pengamanan aksi massa dan menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap Pembela HAM dan pendamping hukum.
Surat yang dirilis KontraS ini juga dikirimkan secara resmi kepada Kompolnas, Menteri Dalam Negeri, Ombudsman RI, dan Ketua DPR RI.
Penghilangan paksa bukanlah cerita baru di negeri ini. Luka masa lalu masih membekas pada keluarga korban 1998, yang hingga hari ini belum mendapatkan kebenaran, keadilan, atau kepastian. Kini, di 2025, penghilangan itu kembali menghantui, dengan pola yang nyaris serupa: diam-diam, tanpa jejak, dan nyaris tanpa akuntabilitas.
Banyak yang bertanya: apa yang membuat negara ini terus mengulang kesalahan yang sama?
Penghilangan paksa adalah kejahatan serius terhadap kemanusiaan. Ini bukan sekadar pelanggaran HAMâtetapi pengingkaran terhadap seluruh prinsip demokrasi dan konstitusi yang menjamin hak atas kebebasan, keamanan, dan keadilan. Ketika aparat negara bisa menculik warganya sendiri tanpa proses hukum, maka tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar aman.
KontraS menyatakan, "Negara wajib bertindak, bukan berdiam. Setiap detik keterlambatan adalah penghinaan terhadap keadilan."
Meski dibungkam, suara keluarga korban tak akan hilang. Di media sosial, tagar #TemukanFarhanReno mulai ramai digunakan. Di depan gedung-gedung pemerintah, lilin-lilin dinyalakan. Mahasiswa dan aktivis membentangkan spanduk bertuliskan:
"Hari ini mereka yang hilang. Besok bisa jadi kita."
Di tengah gelombang represivitas negara, satu pertanyaan sederhana tetap menggema: berapa banyak orang lagi yang harus hilang agar negara sadar?
Dan ketika dua nama ituâFarhan dan Renoâmasih belum pulang, maka tanggung jawab tidak bisa hanya dibebankan pada KontraS, keluarga, atau masyarakat sipil. Ini adalah tanggung jawab negara. Konstitusional, moral, dan kemanusiaan.
Dan hingga mereka kembali, perlawanan tak akan berhenti. Karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
#TemukanFarhanReno
#StopPenghilanganPaksa
#HAMBukanPilihan
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar