Schoolmedia News Jakarta == Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan 11 poin bentuk pelanggaran hukum dan HAM dalam proses penangkapan, penahanan hingga penetapan tersangka terhadap aktivis demokrasi di berbagai daerah. Berdasarkan temuan ini, YLBHI berpendapat bahwa penangkapan ini merupakan bentuk teror sistematis negara, bentuk perburuan dan upaya pembungkaman terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi masyarakat sipil.
Penangkapan massif yang terjadi justru mengaburkan pokok permasalahan yang disuarakan masyarakat terkait kebijakan negara (Pemerintah dan DPR) yang menindas dan bentuk kriminalisasi serta upaya menutupi kebenaran peristiwa dengan pencarian âkambing hitamâ dengan tidak mengusut peristiwa secara utuh dan imparsial.
Setidaknya terdapat 11 poin temuan LBH-YLBHI terkait pola dan modus umum pelanggaran hukum dan HAM dalam penangkapan aktivis paska demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi di penghujung agustus dan September, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ketiadaan atau dibatasinya akses informasi untuk keluarga maupun kuasa hukum terkait dengan mereka yang ditangkap dan ditersangkakan. Hal ini menyebabkan sulitnya keluarga atau tim advokasi untuk menemukan korban paska penangkapan hingga adanya dugaan orang hilang atau praktik penghilangan paksa;
2. Praktik penangkapan sewenang-wenang terjadi secara masif dengan modus:
- Tidak adanya alat bukti permulaan yang cukup dan kuat;
- Penangkapan dilakukan oleh aparat keamanan tanpa menggunakan seragam;
- Penangkapan dilakukan di malam/dini hari;
- Penangkapan pun selanjutnya diteruskan dengan pemeriksaan yang acap kali dilakukan secara maraton tanpa waktu istirahat yang cukup;
- Penangkapan disertai dengan penghalang-halangan akses bantuan hukum. Hingga saat ini beberapa kantor LBH-LBH mengalami kesulitan dalam mengakses data korban ditangkap dan memberikan pendampingan bantuan hukum.
3. Pemeriksaan dilakukan hingga dini hari tanpa memperhatikan waktu dan kondisi Kesehatan;
Di Surabaya, Fakhrurrozi mulai diperiksa oleh Polda Jatim pada pukul 00:30 WIB dinihari ketika statusnya sudah dijadikan sebagai tersangka. Penangkapan dan pemeriksaan dini hari ini adalah pola polisi untuk memberikan efek kejut dan memanfaatkan kondisi fisik dan psikologis mereka yang ditangkap. Ini adalah praktek mengarah pada penyiksaan.
4. Pemeriksaan dan penjemputan paksa saksi dengan memperlakukannya seperti tersangka kejahatan berat (extraordinary crime);
Ini terjadi di Yogyakarta dalam kasus Perdana Arie Veriasa dan Fakhrurrozi. Perdana Arie ditangkap oleh Polda DIY sebagai saksi pada 24 September 2025. Namun ketika tiba di Polda DIY, statusnya langsung berubah sebagai tersangka. Hal serupa juga menimpa Fakhrurrozi. Ia dijemput oleh Polda Jawa Timur di kediamannya di Yogyakarta pada 26 September 2025, lalu dijemput secara paksa (tanpa surat perintah penangkapan) sehari setelahnya tanpa terlebih dahulu memberikan surat panggilan pemeriksaan.
5. Penggeledahan/penyitaan barang-barang pribadi secara tidak sah tanpa menggunakan surat penggeledahan maupun penyitaan;
Pola ini dilakukan terhadap orang-orang yang dianggap aktor provokator. Ini setidaknya ditemukan dalam penanganan kasus Delpedro yang kantor dan apartemennya digeledah, dan juga Fakhrurrozi yang laptop, telepon genggam, dan puluhan buku disita.
6. Penyitaan buku, artikel dan zine sebagai barang bukti kejahatan;
Polisi, di lapangan dan di banyak rilis pers mereka menjelaskan bahwa aksi-aksi kerusuhan tidak terlepas dari adanya keterlibatan massa dengan ideologi anarkisme. Polda Jatim, menggambarkan para demonstran yang dijadikan tersangka sebagai anarko setelah menggeledah kediamannya dan mendapati âbuku-buku bernuansa paham anarkismeâ. Praktek tersebut terjadi setidaknya dalam penanganan kasus Delpedro (Jakarta), Fakhrurrozi (Yogyakarta/Jatim), dan GLM (Jatim). Menteri Koordinator Hukum dan HAM Yusril mengatakan bahwa penyitaan tersebut dilakukan untuk âmelihat latar belakang kasus.â Polda Metro Jaya menggambarkan banyak massa aksi yang ditangkap sebagai âanarkoâ ketika memberi keterangan peran dalam pendataannya.
7. Penghalang-halangan akses bantuan hukum, pengacara formalitas/manipulasi bantuan hukum hingga dugaan intervensi korban penangkapan untuk mencabut kuasa yang telah diberikan kepada LBH-YLBHI;
Ini jelas melanggar hak atas peradilan yang adil yang dijamin dalam berbagai peraturan perundangâundangan mulai dari Kovenan Hak Sipil dan Politik hingga KUHAP. Di Kediri, pencabutan kuasa dilakukan atas alasan âkeamananâ. Pencabutan kuasa juga dialami oleh LBH Samarinda secara tiba-tiba. Kami menduga terdapat tekanan terhadap para aktivis yang ditangkap.
8. Praktik kekerasan dan penyiksaan terhadap anak untuk mengejar pengakuan;
Dari 960 individu yang ditersangkakan, 265 di antaranya adalah anak-anak. Di Magelang, 26 anak yang ditangkap mengalami penyiksaan. Salah satu anak yang didampingi oleh LBH Yogyakarta mengaku bahwa dirinya dicambuk menggunakan selang, ditampar, ditendang, dan dipukul bagian dadanya. Penyiksaan ini dilakukan untuk memaksa korban untuk mengaku terlibat dalam demonstrasi. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Ini dilakukan karena pemeriksaan tidak didampingi oleh orang tua, BAPAS, dan penasehat hukum. Sehingga prakteknya tidak berdasarkan UU SPPA.
Ketiadaan pendampingan ini juga akhirnya membuka ruang-ruang pemerasan. Kami menemukan hal ini terjadi terhadap korban di Makassar. Aparat Polda Sulawesi Selatan, sempat meminta âuang rokokâ terhadap korban. Hal serupa juga ditemukan di wilayah Jakarta dan Bogor.
9. Penyebarluasan Data Pribadi dan Stigma terhadap anak sebagai pelaku kekerasan;
Penyebaran data pribadi ini dilakukan di Magelang terhadap massa aksi yang ditangkap. Penyebaran data pribadi tersebut dilakukan melalui grup pesan singkat WhatsApp.
10. Praktik Impunitas dan diskriminasi penegakan hukum;
Tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut terhadap 10 korban meninggal di berbagai daerah maupun yang mengalami luka berat akibat kekerasan aparat. Tidak menindaklanjuti temuan adanya dugaan kehadiran dan keterlibatan aparat militer (Anggota TNI maupun BAIS) dalam kerusuhan. Termasuk praktik kekerasan, penyiksaan hingga pembunuhan oleh aparat terhadap demonstran atau masyarakat tidak diproses hukum pidana, juga adanya laporan kasus salah tangkap.
11. Adanya upaya âpembungkamanâ terhadap korban salah tangkap untuk tidak menempuh upaya hukum.
Ini dilakukan dengan iming-iming membayar biaya kompensasi, dibarengi dengan desakan untuk menandatangani surat pernyataan untuk tidak membawa kasus dilaporkan secara pidana maupun perdata.
Berdasarkan pemantauan LBH YLBHI yang dirujuk dari berbagai sumber, Kami menemukan setidaknya per 27 September 2025, Polri telah menetapkan 960 orang sebagai tersangka berhubungan dengan aksi demonstrasi dan kerusuhan Agustus 2025. Adapun data jumlah tersangka sebagai berikut: Polda Jambi: 3, Polda Lampung: 8 (1 dewasa, 7 anak), Polda Sumsel: 15 (12 dewasa, 3 anak), Polda Banten: 2, Polda Metro Jaya: 232 (200 dewasa, 32 anak), Polda Jabar: 111 (80 dewasa, 1 anak), Polda Jateng: 136 (80 dewasa, 56 anak), Polda Jatim: 325 (185 dewasa, 140 anak), Polda DIY: 5 (4 dewasa, 1 anak), Polda Bali: 14 (10 dewasa, 4 anak), Polda NTB: 21 (15 dewasa, 6 anak), Polda Kalbar: 4 (1 dewasa, 3 anak), Polda Kaltim: 7, Polda Sulbar: 2, Polda Sulsel: 58 (46 dewasa, 12 anak), Bareskrim Polri: 5.
Berdasarkan pendampingan di lapangan dan data secara umum, pasal-pasal yang disangkakan terhadap mereka yang ditangkap dan kriminalisasi didasarkan pada tindakan yang diatur dalam KUHP seperti pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 187 KUHP tentang pembakaran, Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama-sama, pasal 28 ayat (2 dan 3) UU ITE tentang berita bohong dan penghasutan, hingga Pasal 1 ayat 2 UU Darurat No 12 Tahun 1951. Klasterisasi penangkapan dilakukan antara pelaku lapangan dan mereka yang dianggap sebagai provokator. Ini dibangun untuk menguatkan dalil kepolisian terkait demonstrasi-demonstrasi yang terjadi, (selalu) terdapat dalang di baliknya. Selain Pasal tersebut juga ditemukan pasal-pasal lain yang digunakan diantaranya: Pasal 406, Pasal 66 UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Pasal 55 dan/atau Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara.
Dilihat dari pola demikian, kami menduga bahwa Kepolisian Republik Indonesia hendak membangun sebuah narasi demonstrasi yang terjadi selama bulan Agustus-September adalah hasil dari provokasi segelintir orang. Pembangunan narasi âprovokasiâ ini bahkan dilegitimasi secara langsung oleh Presiden Prabowo dalam konferensi persnya yang menyebutkan adanya upaya âmakarâ dan âterorismeâ. Narasi ini digunakan untuk mengubur fakta ketidakpuasan/kemarahan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan DPR yang tidak berpihak bahkan menindas masyarakat seperti kenaikan tunjangan DPR, Kenaikan pajak PPN, Penyusunan regulasi ugal-ugalan, Korupsi di berbagai sektor, termasuk praktik brutalitas dan ketidakadilan kepolisian sendiri selama ini, dsb. Selain itu Kriminalisasi terhadap mereka yang selama ini bersuara kritis digunakan untuk membungkam gerakan masyarakat sipil dan menutupi aktor sesungguhnya dari terjadinya kerusuhan.
Berdasarkan pada hal-hal diatas, LBH YLBHI menyampaikan sikap sebagai berikut;
- Mendesak Kepada Kepolisian Republik Indonesia cq. Kapolri untuk membebaskan seluruh massa aksi dan mencabut status tersangka tanpa syarat;
- Mendesak Kepada Kepolisian Republik Indonesia cq. Kapolri untuk menghentikan Pemburuan dan Kriminalisasi Aparat Terhadap Aktivis Pro-Demokrasi;
- Mendesak Presiden dan DPR RI untuk mengusut tuntas kerusuhan dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen;
- Mengajak Publik untuk menjaga tegaknya demokrasi dan negara hukum dengan terus bersuara dan menolak kriminalisasi terhadap kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berekspresi warga negara;
- Mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera merumuskan dan melaksanakan agenda reformasi kepolisian dengan melibatkan masyarakat masyarakat sipil;
Jakarta, 29 September 2025
Pengurus LBH dan YLBHI
Tinggalkan Komentar