Cari

188 Juta Anak Sekolah di Dunia Terjebak Obesitas: Antara Ultra Processed Food, Inovasi, dan Masa Depan Generasi



Schoolmedia News Yogyakarta – Di balik wajah riang anak-anak sekolah yang berlarian di halaman, tersimpan ancaman yang semakin nyata. Laporan terbaru UNICEF menyebutkan, 1 dari 10 anak atau sekitar 188 juta anak usia sekolah dan remaja di dunia kini mengalami obesitas. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret darurat kesehatan yang sudah melampaui masalah kekurangan berat badan dalam spektrum malnutrisi global.

Salah satu contohnya dialami Rania (10), siswi sekolah dasar di Yogyakarta. Ia lebih sering mengonsumsi makanan cepat saji dan camilan kemasan dibanding nasi dan sayur di rumah. “Lebih enak, gurih, dan praktis,” katanya polos. Namun di balik kebiasaan itu, berat badan Rania terus naik, pernapasannya sering tersengal, dan ia kini enggan ikut olahraga bersama teman-temannya. Kisah Rania hanyalah sebutir pasir dari lautan besar persoalan obesitas anak di dunia.

Guru Besar FK-KMK UGM, Prof. Dr. Lily Arsanti Lestari, menegaskan obesitas anak tak lepas dari konsumsi ultra processed food (UPF) yang kini begitu lekat dalam keseharian. “Bukti ilmiah menunjukkan hubungan kuat antara konsumsi UPF dengan obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, hingga kanker. Efek ini dimediasi oleh peradangan kronis, gangguan metabolisme, hingga perubahan mikrobiota usus,” jelasnya dalam sebuah webinar nasional, Selasa (16/9).

Namun, Lily menekankan bahwa tantangan besar ke depan bukan hanya menyoroti bahaya, tetapi juga menciptakan metode penelitian lebih standar serta kebijakan publik yang tegas, seperti penerapan cukai dan intervensi multi-level untuk menekan konsumsi UPF.

Inovasi dan Kreasi 

Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Giyatmi, M.Si., Ketua PATPI, mengingatkan bahwa teknologi pangan juga membawa manfaat. UPF, katanya, adalah inovasi untuk meningkatkan ketersediaan, keamanan, dan daya simpan produk. “Namun, di sisi lain, UPF dituding sebagai penyebab obesitas, diabetes, dan penurunan kualitas gizi. Kontroversi inilah yang penting dibahas bersama,” ujarnya.

Senada, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, MSc., Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, menjelaskan bahwa UPF umumnya diformulasi industri dengan lebih dari lima bahan tambahan, termasuk aditif dan minyak terhidrogenasi. “Tujuan utama ultra processing adalah menciptakan produk praktis, menguntungkan, dan hyper-palatable. Fokus kita seharusnya digeser: bukan sekadar prosesnya, tapi hasil dan tujuan akhirnya,” ujarnya.

Dari perspektif bisnis, Ir. Mukhlis Bahrainy, CEO Pachira Group, menilai pentingnya melihat inovasi teknologi pangan secara bijak. Ia mencontohkan pemanfaatan modified protein yang bisa menghasilkan tekstur creamy namun rendah lemak. “Makanan yang kita konsumsi tidak selalu buruk hanya karena masuk kategori UPF. Begitu juga non-UPF tidak otomatis baik. Kuncinya ada pada kecerdasan konsumen dalam memilih dan menyesuaikan dengan kebutuhan tubuh,” katanya.

Tak kalah penting, regulasi menjadi benteng terakhir. Dra. Dwiana Andayani, Apt., Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, menekankan peluang besar inovasi produk sehat berbasis bahan alami dan rendah gula. Ia mencontohkan tren produk seperti minuman sari nabati tanpa pemanis, protein bar rendah gula, hingga roti gandum tanpa tambahan gula. “Peluang inovasi semakin terbuka seiring meningkatnya kesadaran konsumen akan gaya hidup sehat,” ujarnya.

Kisah Rania dan jutaan anak lain di dunia menjadi cermin pergeseran zaman. Di satu sisi, teknologi pangan memberi kemudahan, efisiensi, dan rasa yang memikat. Namun di sisi lain, generasi masa depan terancam oleh epidemi obesitas yang diam-diam merampas kualitas hidup mereka.

Laporan UNICEF adalah peringatan keras bahwa obesitas bukan sekadar soal fisik, tetapi juga krisis sosial, ekonomi, dan budaya konsumsi. Pertanyaannya kini, apakah kita mampu membalik arah—dari sekadar menyalahkan produk menuju membangun sistem pangan sehat, regulasi kuat, industri yang bertanggung jawab, dan masyarakat yang lebih cerdas dalam memilih makanan?

Tim Schoolmedia 

Artikel Sebelumnya
Hanya Rp55,4 Triliun Anggaran Pendidikan di Tahun 2026, Cukupkah untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2045?

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar