Schoolmedia News Jakarta â Peringatan Hari Korban Terorisme menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali dampak panjang yang dialami para penyintas aksi teror. Tidak hanya luka fisik, namun juga trauma psikis, kehilangan, dan stigma sosial yang kerap menghantui para korban, khususnya perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan dukungan penuh terhadap penanganan dan pemulihan perempuan korban terorisme yang hingga kini masih menghadapi hambatan dalam memperoleh hak-haknya. Mulai dari layanan kesehatan, pengobatan, pendidikan, hingga jaminan ekonomi dan kesejahteraan, banyak di antara mereka belum mendapatkan perhatian yang memadai.
âTidak sedikit perempuan korban terorisme juga menghadapi stigma dan diskriminasi, terlebih ketika dampak aksi terorisme menjadikan mereka mengalami disabilitas permanen, seperti tuli, netra, daksa, dan lainnya,â ujar Dahlia Madanih, Komisioner Komnas Perempuan.
Dahlia menekankan, pelaksanaan Rancangan Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RANPE) fase pertama 2020â2024 merupakan modal penting untuk melanjutkan dukungan bagi korban. Salah satunya melalui pemetaan dan pendataan korban terorisme yang harus dimiliki Pemerintah Pusat maupun Daerah, sehingga kebijakan dapat disusun berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan.
Saat ini, Komnas Perempuan memantau penyusunan RANPE fase kedua 2025â2029 yang akan mengusung sembilan tema prioritas. Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfa Anshor, menegaskan bahwa tema-tema tersebut harus mampu menjawab persoalan utama yang dihadapi kelompok sasaran, seperti perempuan, anak, pelajar, pemuda, mantan narapidana terorisme (napiter), minoritas agama, hingga aparatur negara.
âPelaksanaan RANPE fase kedua tidak bisa dilepaskan dari isu krusial yang dialami perempuan, seperti kekerasan di ranah privat, publik, dan negara; perkawinan anak; tindakan intoleransi; regulasi diskriminatif; serta politisasi agama dan identitas,â tegas Maria.
Komisioner Komnas Perempuan Daden Sekendar menyampaikan empat rekomendasi utama yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi RANPE selanjutnya:
-
Mekanisme referral khusus untuk pendampingan dan pemulihan perempuan korban aksi terorisme, karena pola kekerasan dan dampaknya berbeda dengan gender-based violence pada umumnya.
-
Penguatan organisasi atau paguyuban korban agar dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam memperluas akses layanan kesehatan, pemulihan trauma, pendidikan keluarga, serta dukungan ekonomi.
-
Identifikasi kebutuhan korban secara mendalam, termasuk mereka yang masih membutuhkan penanganan medis maupun psikologis lanjutan.
-
Dukungan bagi kepemimpinan perempuan dalam merawat upaya pencegahan, perlindungan, serta penguatan budaya damai melalui berbagai sektor kehidupan kebangsaan.
Peringatan Hari Korban Terorisme tahun ini sekaligus menjadi pengingat bahwa pemulihan tidak hanya berbicara soal layanan medis, tetapi juga soal pemenuhan hak korban untuk hidup bermartabat tanpa stigma. Perempuan korban terorisme, terutama yang mengalami disabilitas akibat ledakan dan serangan, masih sering dipandang dengan diskriminasi.
Komnas Perempuan menegaskan pentingnya sinergi antara Kementerian/Lembaga, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan organisasi masyarakat sipil dalam menciptakan ruang pemulihan yang inklusif, adil, dan berkeadilan gender.
âMemulihkan korban terorisme berarti juga menjaga kemanusiaan kita bersama, agar bangsa ini bisa terus menegakkan nilai keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian,â tutup Dahlia.
Data & Tren Korban Terorisme di Indonesia
-
Indeks Terorisme Indonesia
Indeks Terorisme (Global Terrorism Index) mencatat Indonesia mengalami penurunan dampak terorisme. Skor Indeks 2024 adalah 4,17, naik sedikit dari 3,99 di tahun 2023 â namun masih tergolong rendah. Rata-rata dari tahun 2002â2023 adalah 5,11. -
Peringkat Global
Dalam Global Terrorism Index 2024, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan dampak rendah ("low impacted by terrorism"), naik dari kategori sebelumnya yang termasuk sedang terdampak ("medium impacted") pada 2023âmenjadi peringkat ke-31, naik tujuh peringkat. -
Tidak Ada Korban Jiwa
Salah satu pencapaian penting: 2023 tercatat sebagai tahun tanpa korban jiwa akibat terorisme di Indonesia, berkat sinergi BNPT, instansi terkait, dan penegak hukum dengan strategi zero attack. -
Kompensasi Korban oleh LPSK
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (LPSK) mencatat sejak 2016 hingga 2024, sebanyak 785 korban terorisme telah menerima kompensasi senilai total Rp 113,3 miliar. -
Kasus Korban Berat & Historis
-
Sejak 1970 hingga 2020, tercatat sekitar 1.345 korban jiwa akibat terorisme di Indonesia, dengan puncaknya pada 2002âtahun Bom Baliâyang menyebabkan 246 kematian (202 korban warga sipil)
-
Menurut catatan detik.com via data Polri/BNPT, total korban akibat aksi terorisme (baik oleh kelompok militan maupun operasi kontra-terorisme) hingga Agustus 2022 mencapai 1.370 orang korban (termasuk operasi kontra-terorisme), dengan hanya sekitar setengahnya yang sudah menerima kompensasi.
Indonesia berhasil memperbaiki posisi di Global Terrorism Index dan meraih status negara dengan low impact. Meskipun Indeks Terorisme naik tipis (4,17 dari 3,99), total korban jiwa tetap rendah bahkan mencapai nol di 2023âtorehan penting dalam upaya perlindungan publik dan sinergi penegakan keamanan nasional.
Sejak 2016, 785 korban telah menerima kompensasi senilai Rp 113,3 miliar melalui LPSK. Namun, data 2022 menunjukkan jumlah korban total yang terdampak adalah sekitar 1.370âartinya masih ada celah korban yang belum tersentuh oleh dukungan hukum dan finansial.
Periode 1970â2020 mencatat total korban jiwa sebanyak 1.345 orang, dengan lonjakan paling besar terjadi pada Bom Bali 2002 (246 korban tewas).
Tim Schoolmedia
-
Tinggalkan Komentar