Cari

Sejarah Adalah Penanda Moral Bangsa, Melupakan Sejarah Membuat Luka Terus Membusuk


SCHOOLMEDIA NEWS JAKARTA 

Sejarah adalah milik rakyat, bukan milik penguasa. Ia adalah jejak kolektif yang harus dijaga keotentikannya, tidak boleh diputarbalikkan atau dihapus hanya karena tidak menguntungkan segelintir elite.

Namun, akhir-akhir ini upaya sistematis untuk memutihkan sejarah Indonesia tampak semakin nyata, khususnya terhadap tragedi besar yang terjadi dalam masa Gerakan Reformasi 1998. Berbagai peristiwa kelam seperti penculikan aktivis prodemokrasi, pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa, dan kekerasan yang meluas saat itu perlahan coba dikaburkan, bahkan dihapus dari narasi resmi sejarah bangsa.

Reformasi 1998 tidak hanya soal pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke era Reformasi. Ia merupakan kulminasi dari akumulasi kemarahan rakyat terhadap otoritarianisme, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ribuan mahasiswa dan rakyat turun ke jalan. Banyak dari mereka menjadi korban penembakan, penculikan, dan intimidasi.

Fakta Penculikan Aktivis oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)

Pemerintah Indonesia, di bawah tekanan publik dan dunia internasional, membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mei 1998. TGPF dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 1998. Salah satu tugas utama TGPF adalah menginvestigasi kekerasan massal, termasuk penculikan aktivis dan kekerasan terhadap perempuan.

Beberapa temuan penting TGPF:

13 aktivis dinyatakan hilang secara paksa, termasuk Wiji Thukul, Bimo Petrus, dan Herman Hendrawan. Hingga hari ini mereka tidak diketahui keberadaannya.

9 aktivis lainnya berhasil kembali, dan mereka mengaku diculik oleh satuan militer tertentu, disiksa, dan diinterogasi tanpa proses hukum.

Penanggung jawab lapangan dalam operasi penculikan disebut berasal dari satuan khusus militer yang terorganisasi, dan terhubung ke lingkaran elite kekuasaan saat itu.

Komnas HAM kemudian menetapkan bahwa penculikan tersebut adalah pelanggaran HAM berat. Namun, hingga kini tidak ada proses hukum tuntas terhadap aktor intelektual dan eksekutor utama.

Pemerkosaan Sistematis terhadap Perempuan Tionghoa

TGPF juga menyelidiki kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998, khususnya di Jakarta. Temuan menyedihkan muncul:

Setidaknya 85 perempuan Tionghoa menjadi korban kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan massal, pelecehan, dan penyiksaan seksual.

Korban melaporkan bahwa pelaku adalah massa terorganisir, yang masuk ke rumah-rumah, apartemen, dan toko milik warga keturunan Tionghoa.

Banyak korban mengalami trauma berat dan memilih tidak melapor karena takut, malu, dan tidak adanya perlindungan dari negara.

Salah satu laporan TGPF mencatat adanya indikasi bahwa aksi ini bukan spontan, melainkan terjadi dalam pola terstruktur dan sistematis.

TGPF juga mencatat banyak hambatan dalam investigasi, termasuk intimidasi terhadap saksi, penghancuran barang bukti, dan tidak adanya perlindungan bagi korban. Negara dianggap gagal hadir melindungi warganya, apalagi menindak pelaku.

Bahaya Menghapus Sejarah Demi Kekuasaan

Upaya untuk menafikan tragedi Reformasi 1998, termasuk penculikan dan kekerasan seksual, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi dan keadilan. Narasi bahwa “tidak ada penculikan”, atau “tidak terbukti pemerkosaan etnis Tionghoa”, adalah bentuk kekerasan kedua terhadap para korban: penghapusan eksistensi mereka dari sejarah.

Beberapa gejala penghapusan ini antara lain:

Buku pelajaran sejarah yang tidak menyebutkan detail peristiwa Mei 1998.

Pidato pejabat publik yang menyederhanakan Reformasi hanya sebagai “transisi kekuasaan”.

Tekanan terhadap aktivis dan jurnalis yang mengangkat ulang kasus ini.

Absennya pengakuan dan permintaan maaf resmi dari negara kepada korban.

Sejarah Adalah Penanda Moral Bangsa.

Kita tidak bisa membangun masa depan yang adil dengan menyangkal masa lalu. Rekonsiliasi hanya mungkin terjadi jika ada pengakuan terhadap luka, bukan penyangkalan. Generasi muda Indonesia berhak tahu kebenaran, bukan dongeng politik yang dipoles demi kekuasaan.

Kita harus berkata tegas: stop menulis sejarah untuk membenarkan kekuasaan. Tulis sejarah untuk kebenaran, untuk keadilan, dan untuk memastikan bahwa tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Karena sejarah yang dilupakan adalah luka yang membusuk.

Penulis Eko B Harsono 

Penulis adalah mantan  wartawan  Harian Suara Pembaruan, Harian Nasional dan menjadi wartawan saksi sejarah peristiwa 98




Artikel Sebelumnya
Tim Penilai Jabatan Akademik Dosen Lektor Kepala dan Guru Besar tahun 2025 Diumumkan

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar