Cari

Bahaya Sunyi Perkawinan Anak Tanpa Bukti Hukum Tak Tercatat, Tak Terlindungi


Schoolmedia News Jakarta = Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyampaikan, perkawinan anak yang tidak tercatat bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan sumber kerentanan berlapis bagi perempuan dan anak. 

Hal tersebut ditegaskan dalam kegiatan Diseminasi Studi Memperkuat Bukti untuk Mendorong Aspek Gender dalam Sistem Pencatatan Perkawinan Anak di Indonesia yang diselenggarakan PUSKAPA dengan dukungan UNFPA di Jakarta, Kamis (12/12/2025).

Perkawinan anak merujuk pada pernikahan yang dilakukan oleh individu di bawah usia 19 tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, angka perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan, tetapi masih tergolong tinggi, dengan proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun mencapai 6,92%. Praktik ini lebih umum terjadi di daerah perdesaan dibandingkan perkotaan, di mana akses pendidikan dan informasi sering kali terbatas. 

Perkawinan anak membawa berbagai dampak negatif, termasuk:

Kesehatan Reproduksi: Anak perempuan yang menikah di usia muda berisiko tinggi mengalami komplikasi kesehatan saat melahirkan dan masalah kesehatan reproduksi lainnya. 

Pendidikan: Banyak anak perempuan yang terpaksa putus sekolah setelah menikah, yang mengurangi peluang mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. 

Kekerasan: Perkawinan anak sering kali terkait dengan kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka

Deputi yang akrab disapa Lisa menyampaikan bahwa meskipun angka perkawinan anak secara nasional menunjukkan tren penurunan dari 6,92 persen pada 2023 menjadi 5,90 persen pada 2024, data tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan. Masih banyak praktik perkawinan anak yang berlangsung di luar sistem pencatatan resmi, sehingga menghilangkan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak.

Ia menekankan bahwa praktik perkawinan anak kerap dipengaruhi oleh tafsir agama, norma sosial, dan budaya yang berkembang di masyarakat. Namun demikian, pembenaran sosial tersebut tidak boleh mengabaikan dampak serius yang ditimbulkan. "Ketika praktik tersebut menimbulkan mudarat dan menghilangkan perlindungan hukum, negara tidak boleh diam," tegasnya.

Deputi Lisa menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan fondasi penting dalam perlindungan hak perempuan dan anak, mulai dari akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, hingga kepastian status hukum. Oleh karena itu, penguatan sistem pencatatan sipil yang inklusif dan responsif gender menjadi bagian integral dari upaya pencegahan perkawinan anak.

Kegiatan diseminasi ini membahas hasil studi PUSKAPA bersama Centre of Excellence for Civil Registration and Vital Statistics Systems (CoE-CRVS) dan UNFPA yang menyoroti kesenjangan gender dalam pencatatan perkawinan anak serta keterkaitannya dengan kemiskinan, rendahnya pendidikan, norma sosial, dan keterbatasan akses layanan administrasi kependudukan.

Menurut Deputi Lisa, temuan studi tersebut sejalan dengan arah kebijakan pembangunan nasional, termasuk RPJMN 2025–2029 dan RPJPN 2025–2045, serta mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 5 tentang kesetaraan gender. Pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak menjadi 5,61 persen pada 2025 dan 4,23 persen pada 2029 melalui kebijakan berbasis bukti dan penguatan sinergi lintas sektor.

Dalam kesempatan tersebut, Deputi Lisa juga mengapresiasi sikap progresif Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa nikah siri dapat menjadi haram apabila menimbulkan mudarat bagi perempuan dan anak. Menurutnya, pandangan tersebut merupakan praktik baik yang perlu diterjemahkan ke dalam kebijakan dan layanan nyata di lapangan.

Menutup sambutannya, Deputi Lisa mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat kolaborasi dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Ia menegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan instrumen perlindungan yang tidak dapat ditawar.

"Perkawinan anak harus dicegah semaksimal mungkin. Namun negara tetap wajib hadir melindungi anak-anak, termasuk mereka yang telah terlanjur menikah," pungkasnya. 

Kegiatan ini turut dihadiri Direktur PUSKAPA Ni Luh Putu Maitra Agastya, UNFPA Indonesia Country Representative Hassan Mohtashami, Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian PPN/Bappenas Muhammad Cholifihani, serta perwakilan kementerian dan lembaga terkait.

Tim Schoolmedia

Artikel Selanjutnya
Refleksi Perjuangan Perempuan di Peringatan Hari Ibu ke-97, Menteri PPPA Pimpin Tabur Bunga dan Anjangsana Veteran Perempuan
Artikel Sebelumnya
Dukungan Lintas Sektor Optimalkan Upaya Penguatan Karakter dan Pola Asuh Anak di Indonesia

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar