Schoolmedia News Jakarta === Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memandang Perkapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian RI ini bermasalah dan mendesak kepada Kapolri untuk segera mencabut keberlakuannya.
Perkapolri ini adalah upaya ilegal Kepolisian untuk melegitimasi kepentingan eksklusif institusi kepolisian dengan menabrak prinsip negara hukum dan demokrasi. Perkapolri 4/2025 telah mengabaikan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan maupun prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Selain itu, Perkapolri ini menunjukkan kegagalan dan tidak adanya komitmen reformasi di tubuh internal kepolisian. Terlebih pasca desakan publik untuk reformasi kepolisian dan dibentuknya tim transformasi reformasi kepolisian oleh Kapolri pada 17 September 2025 yang lalu.
Perkapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian RI diterbitkan oleh Kapolri pada 29 September 2025. Perkapolri ini diduga muncul sebagai reaksi cepat kepolisian pasca kerusuhan akhir Agustus lalu.
Kerusuhan yang merupakan ekses atas kemarahan publik di berbagai daerah di Indonesia pasca tragedi mobil rantis kepolisian yang melindas Affan Kurniawan pada 28 Agustus 2025 yang menyasar Pos atau Kantor-kantor Polisi.
Berdasarkan catatan YLBHI, POLRI kerap membuat peraturan internal kepolisian yang melampaui kewenangan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta minim koreksi. Salah satunya, penerbitan Perkapolri 3/2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian terhadap Orang Asing. Perkapolri tersebut memberikan kewenangan kepada kepolisian untuk menerbitkan surat keterangan Kepolisian (SKK) untuk jurnalis asing.
Mencermati penerbitan Perkapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Kepolisian RI di atas, YLBHI memberikan catatan kritis sebagai berikut:
1.â â Peraturan yang diterbitkan Kapolri adalah level peraturan internal (Perkapolri). Namun mengatur jauh mengenai legitimasi penambahan kewenangan untuk tindakan upaya paksa yang berdampak pada pembatasan hak asasi manusia. Seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan tanpa izin pengadilan hingga justifikasi penggunaan senjata api menggunakan peluru karet atau tajam yang berisiko mengancam hak atas hidup sebagai hak asasi manusia.
Hal ini, semestinya menjadi bagian dari hukum materiil maupun acara dengan level pengaturan Undang-Undang yang merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah bukan Kepolisian sendiri. Mengingat materi muatan peraturan Internal kepolisian semestinya hanya terbatas mengatur mengenai perihal administratif kepolisian (Pasal 15 ayat (1e) UU Kepolisian);
2.â â Peraturan tersebut tidak merujuk dan justru bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan fundamental terkait penegakan hukum, seperti halnya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ;
3.â â Perkapolri tersebut menambah kewenangan tindakan lain oleh kepolisian yang tidak dikenal dalam hukum acara pidana. Seperti istilah Tindakan, Tindakan kepolisian, aksi penyerangan yang tidak jelas parameter dan akuntabilitasnya.
Penambahan kewenangan tersebut akan berpotensi ditafsirkan secara subyektif dan rentan praktik sewenang-wenang/ penyalahgunaan kewenangan untuk pembenaran terhadap penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian. Khususnya senjata api yg mestinya menjadi pilihan tindakan paling akhir dengan situasi berbahaya;
4.â â Bahkan ironisnya, Perkapolri ini bertentangan dengan Perkapolri lain khususnya Perkapolri No. 1 Tahun 2009 maupun Perkapolri No. 8 Tahun 2009 yang mengatur mengenai prasyarat penggunaan kekuatan maupun implementasi prinsip HAM dalam kerja kepolisian.
Yang menegaskan bahwa penggunaan kekuatan senjata api mesti sangat hati-hati dan digunakan sebagai upaya terakhir untuk melindungi nyawa dan keselamatan publik dengan mengedepankan prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas maupun kewajaran. Dengan Perkapolri ini, penggunaan kekuatan senjata api bahkan peluru tajam dipermudah ;
5.â â Tidak adanya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang jelas dalam penggunaan Tindakan kepolisian dalam Perkapolri ini. Khususnya untuk upaya paksa dan penggunaan senjata api seperti peluru karet atau tajam. Hak ini akan menjadi justifikasi impunitas praktik kekerasan dan brutalitas aparat kepolisian serta pelanggaran hak asasi manusia seperti halnya extra judicial killing (pembunuhan di luar proses hukum) yang selama ini kerap terjadi. Sepanjang tahun 2019 â 2024, YLBHI mendata sekitar 35 peristiwa penembakan aparat kepolisian dengan jumlah korban tewas 94 orang.
Jakarta, 2 Oktober 2025
Hormat Kami,
Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Tinggalkan Komentar