Cari

DKI Jakarta, Kota Jakarta Selatan

Energi Baru PAUD RA dari World Bank, Harapan Besar, Risiko Ketergantungan



Schooolmedia News Jakarta == Schoolmedia Transformasi pendidikan anak usia dini di Indonesia kembali mendapat energi baru. Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama RI bersama Bank Dunia (World Bank) menggelar rapat strategis di Tower 2 Gedung BEJ Sudirman, Jakarta, membahas program penguatan Pendidikan Anak Usia Dini Raudhatul Athfal (PAUD RA) melalui pemanfaatan teknologi asistif.

Program yang mulai dijalankan sejak 2023 ini digadang sebagai jawaban atas kebutuhan akses pendidikan setara bagi anak-anak penyandang disabilitas usia dini, sekaligus mendukung peran orang tua dalam proses belajar mereka.

Pertemuan ini dihadiri jajaran World Bank, antara lain Mr. Hiroshi Saeki (Senior Economist & Cluster Leader for Indonesia Education Team), Ms. Noviandri, Ms. Anna Hata, serta Mr. Joko Yuwono selaku Education Specialist. Dari pihak Kementerian Agama, hadir langsung Direktur GTK Madrasah, Fesal Musaad.

“Kami sangat berharap World Bank bisa ikut memperkuat kapasitas lembaga RA. Dukungan ini penting untuk memastikan layanan pendidikan anak usia dini semakin inklusif,” ujar Fesal.

Fesal juga menegaskan bahwa kolaborasi ini menjadi momentum berharga bagi penguatan kualitas madrasah dini. “Alhamdulillah, kami bersyukur World Bank menyetujui usulan penguatan kapasitas PAUD RA. Semoga RA di bawah binaan Kementerian Agama semakin berkualitas dan mampu melahirkan generasi emas Indonesia 2045,” ucapnya.

Namun, ia tak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang masih dihadapi, mulai dari kesenjangan kualifikasi guru, keterbatasan sarana-prasarana, minimnya alat permainan edukatif, hingga akses terbatas bagi anak berkebutuhan khusus di wilayah terpencil.

Dukungan Bank Dunia terhadap PAUD RA memang tampak sebagai kabar baik, tetapi di balik itu terselip pertanyaan: mengapa lembaga internasional harus menjadi penggerak utama perbaikan kualitas pendidikan anak usia dini di Indonesia? Bukankah negara seharusnya memiliki tanggung jawab penuh atas layanan dasar warganya?

World Bank selama ini identik dengan proyek-proyek pendidikan berorientasi loan-based (pinjaman) yang menuntut akuntabilitas tinggi namun seringkali menimbulkan beban fiskal jangka panjang. Maka, bantuan ini tidak bisa dipandang sekadar kebaikan hati, melainkan juga strategi geopolitik dan ekonomi yang berpotensi menimbulkan ketergantungan baru.

Kondisi RA di bawah Kementerian Agama berbeda signifikan dibanding satuan PAUD yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).

  • Sisi RA (Kemenag):
    Banyak RA dikelola swadaya masyarakat dengan fasilitas terbatas. Standar guru masih beragam, banyak yang belum bergelar sarjana PAUD, bahkan masih ada yang berstatus guru honorer dengan gaji jauh di bawah UMR. Dukungan sarana seperti alat permainan edukatif, ruang kelas inklusif, hingga teknologi pembelajaran digital masih minim.

  • Sisi PAUD (Kemendikdasmen):
    Secara kelembagaan, PAUD nonformal (TK, KB, SPS) relatif lebih mendapat perhatian dari segi regulasi dan dukungan kurikulum. Program Merdeka Belajar memberi peluang inovasi yang lebih luas, meski tetap menghadapi masalah ketimpangan kualitas antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Perbedaan ini memunculkan ironi: dua kementerian mengelola pendidikan anak usia dini dengan standar dan sumber daya yang berbeda. Padahal, yang dipertaruhkan adalah masa depan generasi yang sama.

Dengan hadirnya Bank Dunia, RA memang mendapat suntikan energi baru. Akan tetapi, tanpa komitmen anggaran nasional yang kuat, program ini berisiko hanya menjadi “vitamin sementara” yang tidak menyentuh akar masalah. Guru RA akan tetap berjuang dengan keterbatasan, anak-anak di pelosok tetap menghadapi akses terbatas, dan ketidaksetaraan antara RA Kemenag dan PAUD Kemendikdasmen akan terus melebar.

Transformasi PAUD inklusif di Indonesia seharusnya tidak bergantung pada intervensi donor luar negeri semata. Pemerintah perlu segera merumuskan satu kerangka kerja terpadu lintas kementerian agar RA dan PAUD berjalan setara dalam mutu, pendanaan, dan akses. Tanpa itu, energi baru dari World Bank bisa berubah menjadi sekadar ilusi kemajuan.

Berikut sejumlah data terbaru yang bisa memperkuat konteks berita dan catatan kritis:

  1. Jumlah RA dan guru/murid
    Menurut BPS (data 2023/2024), terdapat ~ 31.000-an lembaga RA di bawah Kementerian Agama. 
    Tabel BPS menyebutkan juga jumlah guru dan murid RA per provinsi, meskipun variasinya sangat besar antar wilayah. 

  2. Kapasitas kurikulum PAUD di Kemendikbud / Kemendikbudristek
    Dalam laporan “Pendidikan Anak Usia Dini Inklusif” yang dimediasi World Bank, tercantum bahwa Direktorat Pembinaan PAUD hanya menerima sekitar 4,5 % dari total anggaran Kemendikbudristek — senilai sekitar Rp 1,8 triliun di salah satu periode. 
    Juga disebutkan bahwa Indonesia memiliki 205.613 pusat PAUD di bawah Kemendikbudristek, dengan 96.958 di antaranya sebagai prasekolah formal (usia 4-6 tahun) dan sisanya KB, TPA, SPS (nonformal) 

  3. Kekurangan guru terlatih inklusif
    Laporan World Bank menyebut bahwa dari lebih 3,3 juta guru di Indonesia, hanya 8.603 guru yg sudah menerima pelatihan pendidikan inklusif hingga tahun 2022 — sekitar 0,26 %. 
    Hanya 13 % sekolah inklusif yang melayani anak usia 4–6 tahun memiliki guru dengan pelatihan inklusif. 

  4. Akreditasi dan mutu lembaga PAUD
    Laporan Bank Dunia “Assessment of Indonesia’s Early Childhood Education” menyajikan data bahwa banyak Pusat PAUD masih belum terakreditasi, dan kualitasnya sangat beragam. 
    Akreditasi menjadi indikator bahwa banyak institusi PAUD yang belum memenuhi standar minimal mutu layanan formal. 

  5. Ketergantungan dana donor / bantuan
    Model intervensi Bank Dunia di sektor ECED (Early Childhood Education & Development) di masa sebelumnya (sejak 2009) pernah menggunakan block grants dan evaluasi acak (randomized control trial) untuk menilai dampak investasi pada PAUD.
    Ini menunjukkan bahwa bantuan donor World Bank sudah lama terlibat merancang intervensi PAUD di Indonesia — bukan hal baru.

    Dengan data-data tersebut, beberapa catatan kritis semakin menguat:

    • Skala kebutuhan jauh lebih besar
      Bila RA saja sudah berjumlah puluhan ribu, dan lembaga PAUD di bawah Kemendikbud mencapai 200 ribu-an, maka upaya penguatan melalui dukungan donor hanyalah memercik dibanding kebutuhan riil di lapangan.

    • Anggaran pusat yang kecil
      Alokasi hanya ~4,5 % untuk subsistem PAUD di Kemendikbud menunjukkan bahwa perhatian struktural terhadap tahap pendidikan paling awal sangat terbatas. Artinya, program donor (seperti yang dilakukan World Bank) bisa tampak “menyokong” tapi tidak menggeser dominasi keputusan anggaran nasional.

    • Kesenjangan kompetensi guru sangat tajam
      Dengan hanya ~8.603 guru yang sudah dilatih inklusif dari jutaan guru, jarak kompetensi sangat besar. Jika program bantuan tidak fokus memperkuat sistem pelatihan skala masif, efeknya cepat surut.

    • Risiko ketergantungan dan ad hoc
      Model donor sering kali bersifat proyek tertentu dalam jangka menengah (3–5 tahun). Jika tidak diikuti oleh komitmen negara dalam pembiayaan jangka panjang, ketika bantuan berakhir, banyak lembaga PAUD bisa kembali ke status awal — terbatas layanan, terbengkalai inovasi, dan belum infrastruktur memadai.

    • Dualisme administrasi RA vs PAUD
      Fakta bahwa RA (di bawah Kemenag) dan PAUD (di bawah Kemendikbudristek) memiliki jumlah lembaga dan standar yang sangat berbeda mengindikasikan fragmentasi yang melemahkan konsistensi mutu pendidikan anak usia dini secara nasional.

      “Hingga tahun 2023/2024, tercatat sekitar 31.000 lembaga RA tersebar di seluruh Indonesia. Sementara di sisi lain, Kemendikbudristek membina lebih dari 205.000 pusat PAUD di seluruh nusantara — mencakup prasekolah formal dan bentuk nonformal — menegaskan bahwa tantangan layanan anak usia dini adalah tugas nasional masif. 

      Kendati demikian, kritik mengemuka: dari belasan ribu guru yang terdata, hanya 8.603 guru yang sudah memperoleh pelatihan inklusif pada 2022, alias kurang dari 1 %.  Apalagi, alokasi anggaran untuk PAUD di bawah Kemendikbudristek hanyalah ~4,5 % dari total anggaran pendidikan — setara dengan Rp 1,8 triliun di periode yang sama, jauh dari proporsi ideal untuk tahap pendidikan paling awal.

      Dalam konteks itu, kehadiran World Bank di ruang RA bukan sekadar bermakna tambahan tenaga — melainkan sinyal bahwa negara masih memerlukan “pengungkit eksternal” agar transformasi PAUD inklusif bergerak.

      Tetapi transformasi sejati baru bisa terjadi jika energi baru itu dibarengi langkah struktural: peningkatan anggaran nasional, sistem pelatihan guru inklusif yang masif, dan penyatuan langkah lintas kementerian agar RA dan PAUD berjalan secara konsisten dan setara.”

      Tim Schoolmedia

Berita Regional Sebelumnya
Hasil Laboratorium Tegaskan Kasus Suspek di Riau Bukan Mpox

Berita Regional Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar