Cari

DI Yogyakarta, Kota Yogyakarta

Remaja Indonesia di Tengah Gelombang Obesitas: Statistik SKI 2023 Mengejutkan



Schoolmedia News Yogyakarta – Sekolah pagi hari di sebuah SMP di kota besar Indonesia. Murid-murid masuk kelas, bersalaman dengan teman, membawa bekal yang sudah disiapkan orang tua. Di dalam tas, kadang ada roti isi, es krim, minuman manis kemasan. Tak banyak yang tahu: ini adalah sebagian gambar nyata dari data terbaru tentang obesitas di negeri kita.

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mengungkapkan bahwa prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas di kalangan anak usia SD (5-12 tahun) secara nasional telah mencapai 21,5%
Untuk remaja usia 13-15 tahun, angka ini berada di kisaran 19,7%, dan pada remaja usia 16-18 tahun sebesar 12,1%
Sementara itu, prevalensi obesitas saja (tanpa kelebihan berat badan) juga tercatat signifikan: misalnya, menurut beberapa laporan, obesitas anak usia sekolah naik, dengan obesitas rem‌aja 13-18 tahun di Indonesia mencapai sekitar 4,6-5,6% tergantung kelompok umur dan definisi. 

Angka-angka ini menunjukkan bahwa obesitas dan kelebihan berat badan bukan lagi isu minor di Indonesia — namun sudah menjadi bagian dari masalah gizi ganda, yang berdampingan dengan kekurangan gizi di beberapa daerah.

1 Dari 10 Anak Di Dunia  Sekolah Obesitas 

Data terbaru dari UNICEF menunjukkan bahwa di dunia, 1 dari 10 anak sekolah dan remaja—sekitar 188 juta anak—mengalami obesitas. 

Angka obesitas pada anak telah melampaui masalah kekurangan berat badan dalam kondisi malnutrisi global. UNICEF dalam laporannya menyebutkan bahwa kelebihan berat badan dan obesitas menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang sangat nyata. 

Dengan angka obesitas dan kelebihan berat badan yang terus naik, sejumlah penelitian lokal dan internasional menunjukkan ancaman penyakit yang mulai banyak dialami anak sekolah:

  • Obesitas sentral meningkat pesat di Indonesia. Pada 2007 prevalensinya sekitar 18%, tapi pada 2023 sudah mendekati 36,8%. Kondisi ini sangat riskan karena lemak visceral (di perut) berhubungan langsung dengan risiko sindrom metabolik, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung. 

  • Diabetes tipe 2 mulai ditemukan pada usia remaja, akibat pola makan tinggi gula dan minuman manis, serta kurang aktivitas fisik. 

  • Hipertensi anak (tekanan darah tinggi) juga semakin sering ditemukan, terutama pada remaja dengan obesitas.

  • Masalah metabolic lainnya seperti dislipidemia (kolesterol & trigliserida tinggi), resistensi insulin, dan penyakit hati berlemak (fatty liver) menjadi kekhawatiran nyata. (Meski data spesifik anak di Indonesia masih terbatas, sejumlah studi global dan regional memperlihatkan tren ini berkaitan erat dengan obesitas anak.)

  • Gangguan psikologis dan sosial: anak obesitas lebih rentan terhadap bullying, perasaan rendah diri, stigma sosial, dan masalah citra tubuh. Hal ini berdampak pada prestasi akademis dan keaktifan di sekolah.

Guru Besar FK-KMK UGM, Prof. Dr. Lily Arsanti Lestari, menggarisbawahi bahwa konsumsi ultra processed food (UPF) adalah salah satu pemicu utama obesitas di anak dan remaja. “Bukti ilmiah menunjukkan hubungan kuat antara konsumsi UPF dengan obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, hingga kanker. Efek ini dimediasi oleh mekanisme biologis kompleks, termasuk peradangan kronis, gangguan metabolisme, hingga perubahan mikrobiota usus.” 

Prof. Lily juga menyebutkan kebutuhan untuk memperkokoh penelitian dengan standar yang seragam, serta kebijakan publik yang lebih tegas: cukai pada produk UPF, regulasi iklan makanan tidak sehat, dan intervensi multi-tingkat dari sekolah, keluarga, hingga pemerintah pusat.

Ketua PATPI, Prof. Dr. Ir. Giyatmi, M.Si., menyambut bahwa teknologi pangan punya peran, tapi harus diimbangi tanggung jawab. Guru Besar FTP UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, MSc, menjelaskan bahwa definisi UPF meliputi produk dengan lebih dari lima bahan — termasuk aditif, pati termodifikasi, minyak terhidrogenasi — dan yang tujuan utamanya adalah kepraktisan, profit, dan rasa yang sangat menarik (hyper-palatable), yang bisa menggantikan pangan segar dalam diet sehari-hari.

Dari sektor industri, Ir. Mukhlis Bahrainy, CEO Pachira Group, memberi perspektif bahwa bukan UPF itu sendiri yang selalu buruk, melainkan seberapa sering dan seberapa banyak kita mengonsumsinya. Ia mencontohkan teknologi bahan modified protein untuk rasa creamy rendah lemak sebagai salah satu inovasi yang bisa mengurangi dampak negatif.

Dra. Dwiana Andayani dari BPOM menekankan regulasi dan inovasi produk sehat, seperti minuman sari nabati tanpa pemanis, roti gandum rendah gula, yoghurt rendah lemak dan penggunaan bahan dasar alami, sebagai peluang yang harus dikembangkan.

Kisah Rania, seperti anak sekolah di banyak tempat, adalah gambaran dari apa yang dikabarkan oleh SKI 2023: ketika kelebihan berat badan dan obesitas menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari anak, maka sekolah, keluarga, industri dan pemerintah harus berpikir ulang.

UNICEF sudah memberi peringatan global: 188 juta anak di dunia berhadapan dengan obesitas akut. Di Indonesia, lebih dari 1 dari 5 anak SD sekarang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Data ini bukan sekadar angka — ini adalah panggilan untuk perubahan.

Perubahan dalam kebiasaan makan, regulasi yang tegas, inovasi pangan yang lebih sehat, pendidikan gizi di sekolah, dan dukungan psikologis pada anak yang sudah terdampak. Jika semua elemen ini bergerak bersama, ada harapan bahwa generasi mendatang akan tumbuh kuat, sehat, dan tidak terjerumus dalam siklus penyakit kronis.

Tim Schoolmedia 

Berita Regional Sebelumnya
120 Hari Proses Revitalisasi TK Pertiwi 1 Serang Purbalingga Berjalan Mulus

Berita Regional Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar