Telepon selular, Foto: Pixabay
SCHOOLMEDIA NEWS, Jakarta - Ombudsman RI mempertanyakan kebijakan pembatasan International Mobile Equipment Identity (IMEI) oleh pemerintah serta penerbitan Rencana Peraturan Menteri (RPM) terkait kebijakan itu yang dinilai tergesa-gesa pada tanggal 17 Agustus 2019.
"Saya mempertanyakan urgensi dari peraturan ini, kalau memang tujuannya untuk melindungi pendapatan negara, cukup dicegat di hulu ketika barang (hp) itu masuk ke Indonesia, atau ketika barang itu didistribusikan," kata Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie usai acara Ngopi Bareng Ombusman RI, di Gedung Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 15 Asustus 2019.
Pemerintah berencana memblokir ponsel ilegal melalui nomor IMEI. Dengan penerapan aturan ini, siapapun yang membeli ponsel ilegal tidak akan bisa memasangkan kartu telepon yang dikeluarkan oleh penyedia layanan seluler di Indonesia.
Menurut Alvin, kebijakan ini berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat sebagai konsumen, masyarakat dengan toko atau penjual dan penjual dengan grosir.
Berkaca pada kebijakan Kominfo tentang kewajiban registrasi NIK dan KK yang waktu lalu sempat meresahkan masyarakat hingga kini tidak tuntas dan tidak jelas arahnya. Sejak aturan itu ada, kata Alvin, masyarakat tetap diganggu dengan adanya SMS atau pesan singkat sampah dan penipuan yang terus menerus ada.
"Ini berpotensi konflik, bayangkan kalau ada warga dari NTT beli hp di Mall Ambasador, dibawa pulang ke kampungnya ternyata kena blokir, ini bagaimana penyelesaiannya," kata Alvin.
Baca juga: Ajak Mahasiswa UNS Jaga Pancasila, Menhan: NKRI Harga Mati
Pada 12 Agustus, Ombudsman telah mengundang Kominfo untuk menjelaskan aturan tersebut. Gagasan pembatasan IMEI berasal dari Kementerian Perindustrian dengan pertimbangan melindungi industri dalam negeri dan mencegah kebocoran pajak maupun bea masuk.
Kemenperin berencana mengembangkan Sistem Informasi Basis Data IMEI Nasional (SIBINAS) yang akan dikelola sendiri oleh Kemenperin bukan Kominfo. Padahal, kata Alvin, ujung dari pemblokiran IMEI ada di Kominfo.
"Kami dapat data kalau tujuan aturan ini untuk mengamankan pendapatan negara itu tidak tepat," kata Alvin.
Karena, kata Alvin, sejak 2018 bea masuk telepon selular sudah 0 persen. Sehingga aturan ini dinilai hanya akan menambah kerepotan masyarakat sebagai konsumen.
"Kalau mau mengendalikan peredaran hp di negara ini akan lebih mudah dikendalikan di hulunya. Ketika masuk ke Indonesia mulai dari bea cukai, dari pada memblokir IMEI yang berurusan dengan puluhan juta warga Indonesia," kata Alvin.
Alvin menilai langkah pemerintah membatasi IMEI dengan tujuan mengutamakan mengejar pendapatan negara dari pada melindungi kebutuhan warga akan penggunaan ponsel sebagai alat komunikasi dan juga usaha.
"Kami sangat menyayangkan, bahwa prioritas pemerintah kejar pajak yang biayanya sudah 0 persen, sedangkan kebutuhan rakyat diabaikan," kata Alvin.
Baca juga: Guru Besar Unand: Pola Makan Tepat Cegah Prevalensi Penyakit Tidak Menular
Alvin juga mengatakan ada unsur ketergesa-gesaan antara tiga menteri (Kominfo-Kemenperin-Kemendag) untuk menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang pembatasan IMEI pada tanggal 17 Agustus 2019.
Ombudsman juga mempertanyakan standar keamanan bagi masyarakat terdampak, ketika membeli telepon selular tidak ada sinyal, atau membeli telepon selular dari luar, serta dampaknya bagi wisatawan asing yang datang ke Indonesia membawa ponsel dari negaranya. Apalagi, kata Alvin, pemerintah menargetkan 20 juta wisatawan masuk Indonesia.
"Ternyata standarnya belum ada, tergesa-gesa menandatangani rancangan peraturan menteri itu," kata Alvin.
Alvin juga berharap aturan ini dibuat bukan hanya kemasan untuk meloloskan perusahaan yang mau masuk untuk mengelola IMEI dengan nominal dananya Rp 200 miliar.
"Ada perusahaan menawarkan untuk mengelola IMEI dengan biaya Rp 200 miliar. Semoga pengaturan ini bukan hanya kemasan untuk meloloskan perusahaan yang mau masuk ini," kata Alvin.
Tinggalkan Komentar