Cari

SPMB 2025: Janji Pemerataan Pendidikan atau Sekadar Formalitas Tahunan



Schoolmedia News Jakarta == Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), kembali menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) untuk mengevaluasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun 2025.

Agenda ini, secara resmi, disebut sebagai bentuk komitmen memperkuat akses pendidikan yang adil dan inklusif. Namun di balik jargon pemerataan dan kualitas pendidikan untuk semua, masih banyak pertanyaan yang menggantung: seberapa jauh sistem ini benar-benar menjangkau mereka yang paling tertinggal?

Dalam pernyataan resminya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menekankan bahwa SPMB bukan sekadar mekanisme administratif, tetapi instrumen kebijakan untuk menjamin bahwa “tidak ada satu anak pun tertinggal.”

“Pendidikan yang bermutu adalah hak setiap warga negara. SPMB tahun ini mengedepankan prinsip inklusif dan berkeadilan,” ujar Mu’ti, Senin (22/9) di Jakarta.

Empat jalur penerimaan yang dibuka—domisili, prestasi, afirmasi, dan mutasi—diklaim sebagai langkah konkret menuju sistem yang adil dan akuntabel. Namun pertanyaannya: benarkah semua jalur ini berjalan tanpa celah? Tanpa manipulasi data alamat? Tanpa praktik "jual-beli kursi" yang kerap terjadi di balik layar?

Menurut Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen, Gogot Suharwoto, evaluasi nasional menunjukkan bahwa pelaksanaan SPMB 2025 “sangat positif”. Klaim ini disampaikan tanpa penjabaran detail tentang indikator evaluasi, apalagi mengangkat masalah konkret seperti kesenjangan antara kota dan daerah terpencil, atau hambatan akses bagi anak-anak dari keluarga marginal.

“Kami menyampaikan masih ada beberapa catatan yang sangat mungkin untuk kita lakukan peningkatan,” kata Gogot, tanpa menjelaskan apa saja catatan itu.

Laporan lapangan dari berbagai daerah sering menunjukkan wajah lain dari sistem ini. Di sejumlah kota besar, zonasi masih menjadi polemik tahunan. Sementara di wilayah terpencil, anak-anak harus menempuh jarak jauh atau bersaing ketat karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Sekolah swasta masih belum sepenuhnya dilibatkan sebagai mitra strategis, dan dalam banyak kasus, kualitasnya pun tak mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah.

Jangan Sekadar Simbolik 

Diskusi Kelompok Terpumpun yang disebut sebagai forum “partisipatif” tampak lebih banyak diisi oleh pejabat dan perwakilan resmi lembaga, alih-alih menghadirkan suara langsung dari orang tua siswa, aktivis pendidikan lokal, atau komunitas marginal. Inklusi seolah hanya menjadi narasi di meja rapat, bukan kenyataan di lapangan.

Deputi dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Ojat Darojat, memang memberi apresiasi atas pelaksanaan SPMB yang dinilai “berjalan baik.” Tapi pernyataan itu terdengar normatif. Padahal, di balik data statistik penerimaan murid, tersimpan kenyataan pahit anak-anak yang gagal masuk sekolah favorit meski berprestasi, atau yang terpaksa putus sekolah karena jalur afirmasi terlalu sempit dan rumit secara administratif.

Keempat jalur yang disiapkan memang mencerminkan niat untuk mengakomodasi keragaman kondisi siswa. Tapi pelaksanaannya di berbagai daerah menunjukkan ketimpangan yang mencolok. Jalur domisili, misalnya, masih sering dipermainkan dengan manipulasi data kependudukan.

Jalur prestasi kerap menguntungkan mereka yang sudah punya akses ke fasilitas belajar lebih baik. Jalur afirmasi, yang ditujukan bagi siswa miskin atau rentan, masih minim dalam kuota dan pengawasan.

Yang paling tidak terdengar adalah suara dari anak-anak di wilayah adat, komunitas terpencil, atau daerah konflik. Apakah mereka sungguh diakomodasi? Apakah mereka pernah dilibatkan dalam perumusan kebijakan?

Pelaksanaan DKT ini diklaim sebagai “langkah penting dalam proses perbaikan berkelanjutan.” Namun bagi publik yang terus melihat SPMB jadi polemik tahunan, pertemuan semacam ini kerap terlihat sebagai agenda seremonial yang tidak menyentuh akar masalah.

Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin mewujudkan sistem pendidikan yang “bermutu untuk semua,” maka reformasi SPMB tidak bisa berhenti pada pemolesan teknis atau pernyataan normatif. Diperlukan keberanian untuk mengoreksi ketimpangan struktural—termasuk dalam distribusi fasilitas pendidikan, kualitas guru, dan peran aktif pemerintah daerah.

Sebab pendidikan bukan hanya soal siapa yang bisa masuk sekolah mana, tetapi siapa yang ditinggalkan dalam prosesnya.

Tim Schoolmedia 

Lipsus Sebelumnya
Seruan Masyarakat Sipil Indonesia terhadap Proyek Transisi Energi “Solusi Palsu” JICA

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar