Cari

Komisi X Soroti Rendahnya Keamanan di Sekolah

Ilustrasi: Pixabay

 

SCHOOLMEDIA NEWS, Jakarta - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Saifudian menyoroti masih rendahnya tingkat keamanan dan tingginya tingkat kekerasan di lingkungan sekolah di Indonesia. Padahal, kata Hetifah, keamanan sekolah menjadi penting untuk menciptakan generasi yang berkualitas.

"Memperingati Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2019, seluruh elemen masyarakat dan pemerintah harus bisa membuat lingkungan sekolah menjadi tempat belajar yang aman dan menyenangkan bagi anak-anak," kata Hetifah dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2019.

Dia menilai keamanan sekolah menjadi penting untuk menciptakan generasi yang berkualitas namun kondisi aman itu belum bisa tercapai.

Hetifah mengutip hasil riset Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), yang menyebutkan, siswa-siswi di Indonesia dalam keadaan tidak aman saat proses pembelajaran di kelas.

"Sebab, banyak ruang kelas yang rusak, baik ringan maupun berat. Data Kemendikbud dan Yappika menyebut, jumlah ruang kelas SD sebanyak 1.057.269. Dari jumlah itu, ada 18,6 persen ruang kelas mengalami kerusakan sedang hingga berat," ujarnya.

 

Baca juga: 2020, Guru Honorer Akan Berstatus Tenaga Kontrak

 

Menurut dia, jumlah ruang kelas SMP sebanyak 346.597, dari jumlah tersebut sebanyak 16,6 persen ruang kelas rusak sedang dan berat.  Akibatnya, Hingga tahun 2017, ada 6,6 juta anak terancam bahaya karena belajar di ruang kelas rusak.

"Bahkan, sepanjang tahun 2014-2016, terdapat 93 kasus SD rusak yang memakan 54 korban luka dan 1 korban meninggal. Itu hanya puncak gunung es dari persoalan SD rusak di Indonesia," katanya.

Hetifah yang merupakan politisi Partai Golkar itu menceritakan, ada satu daerah di Bogor, anak-anak sekolah harus pulang ke rumah jika ingin buang air, karena di sekolah tidak ada fasilitas Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK) yang layak.

Dia menilai untuk mewujudkan sekolah aman bagi siswa, harus ada kajian mendalam terhadap kebutuhan anggaran dan target kegiatan dan juga perlu adanya peningkatan anggaran rehabilitasi dan melakukan pemenuhan insfratruktur pendidikan dasar.

 

Baca juga: Tak Ada Bantuan APBD, Madrasah Ibtidaiyah Terima Rp 50 Juta dari BRI untuk Renovasi Kelas

 

Hal itu menurut dia sangat penting karena alokasi anggaran pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) dan rehabilitasi ruang kelas SD dan SMP cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir.

"Dari 0,41 persen dalam APBN 2014, turun menjadi hanya 0,37 persen dalam APBN 2015 dan 0,21 persen dalam APBN 2016," ujarnya.

Dia menilai masih rendahnya tingkat keamanan di lingkungan sekolah, baik langsung maupun tidak langsung, juga berdampak pada tingkat kekerasan terhadap anak di sekolah.

Hetifah mengatakan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, sepanjang tahun 2018, terjadi 445 kasus kekerasan pada anak di dunia pendidikan, dengan rincian, sebanyak 228 berupa kekerasan seksual, 144 kasus tawuran, dan 73 kasus kekerasan lain-lain.

"Dilihat dari jumlah kasus di atas, kasus kekerasan seksual yang paling tinggi. Kekerasan tersebut dilakukan antara lain oleh, guru, teman sesama murid bahkan kepala sekolah," kata Hetifah.

Hal ini sangat memprihatinkan karena dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual tersebut sangat serius seperti mengalami trauma, malas ke sekolah, dendam.

Berita Selanjutnya
Robot Futuristik Akan Layani Atlet dan Penonton Olimpiade Tokyo 2020
Berita Sebelumnya
Mendikbud Berharap Anak Indonesia Jauh dari Kekerasan

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar