Cari

Surat Kecil untuk Presiden: Kisah Daffa dan Harapan Siswa Miskin dari Sekolah Rakyat



Schoolmedia News Bandung == Pagi di Bandung Barat belum sepenuhnya terjaga. Kabut tipis masih menempel di pucuk-pucuk pinus, sementara di halaman Sekolah Rakyat Menengah Pertama II, beberapa anak berseragam putih abu sudah berlarian kecil menuju ruang kelas.

Di antara mereka, seorang anak laki-laki berwajah teduh duduk di bangku panjang kayu dekat dinding sekolah. Namanya Muhammad Daffa Raasyid. Di tangannya, selembar kertas bergaris mulai terisi tulisan tangan yang rapi—huruf demi huruf ditulis dengan penuh hati-hati, seolah setiap kata adalah doa yang ingin sampai ke istana.

Hari itu, Daffa menulis surat. Bukan sembarang surat, melainkan surat untuk orang nomor satu di negeri ini: Presiden Prabowo Subianto.

“Terima kasih Bapak Prabowo,” tulisnya dengan tinta biru yang sedikit pudar, “karena telah membuat Sekolah Rakyat ini sehingga saya dan teman-teman bisa kembali merasakan bangku sekolah.”

Sebuah kalimat sederhana, namun di baliknya tersimpan kisah panjang tentang anak-anak yang pernah kehilangan kesempatan belajar. Sekolah Rakyat—program pendidikan inklusif yang kini menjangkau desa-desa dan pelosok Indonesia—menjadi jembatan antara harapan dan kenyataan bagi mereka. Daffa, yang sempat berhenti sekolah selama hampir dua tahun karena alasan ekonomi, kini kembali bisa menulis, membaca, dan bermimpi.

Kisah Daffa sampai ke meja Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya. Dalam keterangan tertulis yang disampaikan pada Jumat (24/10/2025), Teddy menyebut surat itu sebagai “selembar kertas yang penuh makna.” Ia menulis, “Sebuah titipan surat. Selembar kertas yang penuh makna. Dari Muhammad Daffa Raasyid, seorang siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama II Bandung Barat, untuk Presiden Prabowo.”

Surat itu kemudian diteruskan ke Istana. Di antara tumpukan dokumen kenegaraan, laporan rapat, dan map berisi kebijakan, sepucuk amplop putih sederhana dengan tulisan tangan anak sekolah mungkin tampak tidak seberapa. Namun, ketika amplop itu dibuka dan Presiden Prabowo membaca baris demi barisnya, udara di ruang kerjanya terasa sedikit berbeda—lebih hangat, lebih manusiawi.

Respon Presiden Prabowo 

Presiden tersenyum kecil ketika matanya berhenti pada kalimat, “Sekolah ini yang akan merakit kami menjadi anak-anak yang kreatif, cerdas, dan memiliki jiwa kepemimpinan seperti Bapak.”
Kalimat yang polos, tapi memuat sebuah keyakinan yang tak bisa dibeli dengan apapun: keyakinan seorang anak terhadap masa depan bangsanya.

Sekolah Rakyat yang dimaksud Daffa memang bukan sekadar bangunan tempat belajar. Ia adalah gerakan sosial—lahir dari niat untuk mengembalikan pendidikan ke pangkuan rakyat, terutama mereka yang terpinggirkan oleh sistem dan jarak. Di sekolah itu, guru-guru datang dari berbagai latar belakang: ada yang pensiunan, ada yang relawan, ada pula mahasiswa yang ingin mengabdi. Mereka mengajar bukan karena gaji, tapi karena cinta.

Kelas Daffa hanya berisi 18 siswa. Dindingnya tidak terlalu mulus, papan tulisnya mulai kusam, tapi semangat belajar anak-anak di sana tak pernah padam. Setiap pagi mereka datang lebih awal, menyapu lantai kelas, menata meja, lalu menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan suara lantang yang memenuhi ruang sederhana itu.

Bagi Daffa, setiap pelajaran adalah petualangan. Ia gemar membaca buku-buku sejarah dan menulis cerita pendek di buku catatannya. Ketika ditanya gurunya siapa tokoh yang paling ia kagumi, ia menjawab dengan polos, “Bapak Prabowo. Karena beliau berani dan cinta Indonesia.”

Dalam surat yang sama, Daffa juga menulis ucapan ulang tahun untuk Presiden. “Di hari yang bahagia ini saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-74 untuk Bapak,” tulisnya. “Semoga Bapak selalu sehat dan semoga Bapak kelak bisa berkunjung ke SRMP II Bandung Barat.”

Kalimat terakhir itu dibubuhi dengan salam hangat dan tanda tangan kecil yang agak miring.
“Tunggu kami ya, Pak,” tulisnya.

Sebuah penutup yang begitu singkat, namun terasa seperti janji—janji anak-anak negeri untuk tumbuh, belajar, dan kembali membangun Indonesia dengan cara mereka sendiri.

Beberapa hari kemudian, foto-foto surat itu beredar di media sosial. Warganet ramai membagikan, sebagian meneteskan air mata membaca kesederhanaan kata-kata Daffa. Di antara riuh komentar, banyak yang menulis, “Anak seperti Daffa inilah yang membuat kita percaya Indonesia masih punya harapan.”

Di sekolahnya, Daffa tidak tahu bahwa tulisannya telah sampai ke meja Presiden dan ke hati banyak orang. Ia hanya tahu satu hal: menulis surat itu membuatnya bahagia. “Saya cuma ingin Bapak tahu kalau kami berterima kasih,” katanya pelan kepada gurunya. “Sekolah ini seperti rumah kedua. Saya ingin belajar sungguh-sungguh supaya nanti bisa jadi orang yang berguna.”

Di Jakarta, Presiden Prabowo disebut menaruh surat itu di atas meja kerjanya, di samping foto keluarganya dan sebuah miniatur Garuda. Sumber di Istana menyebut, surat tersebut menjadi salah satu benda yang paling sering beliau tunjukkan ketika berbicara tentang pendidikan rakyat. “Ini alasan kenapa kita harus terus membangun Sekolah Rakyat,” ujar Presiden suatu kali. “Karena setiap Daffa di pelosok Indonesia berhak punya masa depan.”

Kata-kata itu mengingatkan pada masa kecil Prabowo sendiri—tentang cita-cita dan disiplin, tentang semangat belajar dan pengabdian kepada negara. Mungkin di situlah titik temu antara seorang presiden dan seorang anak sekolah: sama-sama percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan yang sesungguhnya.

Kini, setiap kali bel sekolah berbunyi, Daffa menatap ke langit dan membayangkan istana yang jauh di Jakarta. Ia tidak tahu apakah Presiden membaca suratnya berkali-kali, tapi ia percaya bahwa doanya sudah sampai. Ia yakin, seperti yang dia tulis, bahwa sepuluh tahun mendatang ia dan teman-temannya akan menjadi generasi yang mampu membangun negeri.

Di dinding kelas mereka, sebuah kutipan dari Presiden Prabowo terpampang jelas: “Bangsa yang besar dimulai dari anak-anak yang berani bermimpi.”
Setiap kali Daffa melihat tulisan itu, ia tersenyum dan membatin, “Kami sudah mulai bermimpi, Pak. Sekarang giliran kami untuk tumbuh.”

Surat kecil dari Daffa bukan hanya cerita tentang seorang anak yang menulis kepada presiden. Ia adalah cermin dari cita-cita bangsa: sederhana, jujur, dan penuh harapan. Ia mengingatkan bahwa di balik setiap kebijakan pendidikan, ada wajah-wajah muda yang menunggu kesempatan, ada tangan-tangan kecil yang ingin menulis masa depan mereka sendiri.

Mungkin di antara banyak hal yang direncanakan negara—pembangunan, ekonomi, pertahanan—sebuah surat seperti milik Daffa adalah yang paling berharga. Karena dari selembar kertas bergaris itulah kita diingatkan bahwa pembangunan sejati bukan tentang gedung tinggi, melainkan tentang hati yang tidak pernah berhenti belajar.

Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika Presiden benar-benar datang ke Sekolah Rakyat II Bandung Barat, Daffa akan berdiri paling depan, menyambutnya dengan senyum lebar. Di tangannya, mungkin sudah bukan lagi selembar surat, tapi sebuah buku—kisah baru yang ia tulis sendiri, tentang seorang anak kecil yang dulu menulis surat untuk Presiden, dan tentang bangsa yang akhirnya tumbuh dari mimpi-mimpi yang sederhana

Tim Schoolmedia.

Berita Selanjutnya
Malam Bakti Santri, Menag Pimpin Doa untuk Santri Korban Gedung Ambruk Pesantren Al Khoziny
Berita Sebelumnya
Dari Gubernur, Bupati, Walikota Hingga Kepala Sekolah Merasakan Manfaat Hadirnya Schoolmedia

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar