Cari

Kebijakan Kemkomdigi Lakukan Penayangan Video Presiden di Bioskop Sebelum Film Mulai Menuai Kritik


Schoolmedia News Jakarta == Kebijakan penayangan video Presiden sebelum film dimulai sebaiknya ditinjau ulang. Pesan pembangunan bisa disampaikan melalui media lain yang lebih tepat sasaran dan tidak menimbulkan kesan pemaksaan.

Ruang hiburan publik seperti bioskop harus dijaga agar tetap netral, bebas dari intervensi politik, dan fokus pada fungsi utamanya sebagai tempat rekreasi.

Kebijakan pemerintah yang mewajibkan penayangan video Presiden sebelum pemutaran film di bioskop menuai sorotan kritis dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dinilai berpotensi mengganggu kenyamanan penonton sekaligus memunculkan persoalan etika dalam penggunaan ruang publik.

Sejumlah pengamat menilai, bioskop merupakan ruang hiburan yang seharusnya netral dan bebas dari intervensi politik. “Masyarakat datang ke bioskop untuk mencari hiburan, bukan untuk disuguhi pesan politik atau pencitraan. Ini bisa dilihat sebagai pemaksaan,” ujar seorang pemerhati media.

Selain itu, kebijakan ini dipandang berpotensi sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Negara menggunakan ruang komersial yang mestinya bersifat netral untuk kepentingan komunikasi politik. “Hal ini bisa menciptakan kesan bahwa pemerintah memonopoli ruang publik,” tambahnya.

Efektivitas penayangan video Presiden juga dipertanyakan. Jika tujuannya menyampaikan pesan pembangunan, publik menilai media sosial, kanal resmi pemerintah, maupun platform digital lain jauh lebih tepat sasaran. Penayangan di bioskop justru dikhawatirkan menimbulkan kejenuhan dan resistensi dari penonton.

Di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan persoalan etika dalam demokrasi. Jika hanya Presiden yang mendapat ruang eksklusif di bioskop, muncul pertanyaan apakah pihak lain, termasuk oposisi politik, akan diberi kesempatan yang sama.

Pelaku industri perfilman pun khawatir kebijakan ini berdampak negatif. “Bioskop bisa kehilangan daya tarik bila penonton merasa pengalaman menonton mereka diganggu konten politik. Akhirnya, yang dirugikan bukan hanya penonton, tetapi juga dunia perfilman,” kata salah satu pengamat budaya populer.

Hingga kini, pemerintah belum merespons secara terbuka kritik yang berkembang di masyarakat. Namun desakan agar kebijakan ini ditinjau ulang terus menguat, dengan alasan menjaga bioskop sebagai ruang rekreasi netral dan bebas dari intervensi politik.

Sikap Kemkomdigi 

Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menyatakan bahwa penayangan video Presiden Prabowo Subianto di jaringan bioskop merupakan upaya memperluas jangkauan komunikasi publik terkait capaian kerja pemerintah.

Hadirnya video juga untuk menjaga keseimbangan informasi sekaligus memastikan masyarakat memperoleh informasi yang akuntabel.

Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kemkomdigi, Fifi Aleyda Yahya menilai wajar jika pemerintah memanfaatkan berbagai medium komunikasi, termasuk bioskop, selama tujuannya adalah menyampaikan informasi resmi kepada masyarakat.

“Komunikasi publik pada era digital tidak lagi terbatas pada satu kanal. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan informasi yang penting dapat tersampaikan kepada publik secara luas, efektif, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sepanjang tidak melanggar aturan bioskop medium yang sah dan wajar untuk dipilih,” ujar Fifi di Jakarta, Minggu (14/9).

Fifi menjelaskan, bioskop dipilih karena mampu menghadirkan pengalaman visual dan audio yang kuat sehingga pesan pembangunan dan kebijakan pemerintah dapat diterima lebih utuh oleh audiens.

Seperti halnya pemanfaatan media sosial, televisi, radio, hingga papan reklame, menurut Fifi bioskop hanyalah salah satu saluran komunikasi publik. Substansinya tetap sama, pemerintah menyampaikan pesan pembangunan, kebijakan, maupun ajakan positif bagi masyarakat.

“Konteksnya adalah bagaimana negara hadir dengan informasi yang benar dan terukur. Jadi, ini bagian dari komunikasi publik pemerintah kepada masyarakat,” tegasnya.

Kemkomdigi pun mengajak publik untuk melihat penayangan video di bioskop sebagai upaya memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar, resmi, dan mudah dipahami, sehingga mampu memperkuat kepercayaan publik terhadap agenda pembangunan nasional.

Catatan Kritis Kebijakan 

  1. Ruang Publik yang Diprivatisasi oleh Politik
    Bioskop adalah ruang hiburan yang semestinya netral dan menjadi sarana rekreasi masyarakat. Penayangan video Presiden sebelum film dimulai berpotensi mengubah ruang hiburan menjadi media politik yang memaksa, sehingga publik kehilangan kebebasan memilih apakah ingin menonton pesan politik tersebut atau tidak.

  2. Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
    Kebijakan ini dapat dipandang sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), karena negara menggunakan sarana komersial yang seharusnya bersifat netral untuk kepentingan pencitraan Presiden. Hal ini menimbulkan kesan dominasi pemerintah dalam ruang-ruang privat masyarakat.

  3. Tidak Efektif dalam Edukasi Publik
    Jika tujuan utamanya adalah menyampaikan pesan pembangunan, informasi tersebut bisa disalurkan melalui kanal resmi pemerintah, media sosial, atau platform digital yang lebih tepat sasaran. Bioskop bukan ruang edukasi politik, melainkan ruang hiburan. Penonton cenderung merasa terganggu, bukan tercerahkan.

  4. Berpotensi Menimbulkan Resistensi
    Alih-alih meningkatkan citra, penayangan video Presiden di bioskop justru berisiko menimbulkan kejenuhan dan resistensi publik. Warga bisa merasa dipaksa menonton konten politik yang tidak relevan dengan tujuan mereka datang ke bioskop.

  5. Masalah Etika dan Demokrasi
    Dalam konteks demokrasi, masyarakat memiliki hak atas ruang publik yang bebas dari intervensi politik. Jika satu pihak (Presiden) mendapatkan ruang eksklusif di bioskop, maka ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah pihak lain yang berkompetisi dalam politik akan diberi ruang yang sama?

  6. Konsekuensi terhadap Dunia Perfilman
    Bioskop bisa kehilangan daya tarik bila penonton merasa pengalaman menonton mereka diganggu oleh konten politik. Hal ini pada akhirnya bisa berdampak negatif pada industri film nasional.

    Tim Schoolmedia 


Berita Sebelumnya
Pemerintah Indonesia dan Uni Emirat Arab Kerjasama Target Lahirkan 10 Juta Coder Dalam 3 Tahun

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar