â'Merdeka Belajar' di Balik Jeruji: Kisah Nadiem Makarim dan Chromebook Rp1,98 T yang Berakhir di Pengadilan
Schoolmedia News Jakarta == Nadiem Makarim, sosok yang dianggap sebagai "anak ajaib" pembawa angin segar bagi pendidikan Indonesia, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) itu secara resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook dan barang penunjang TIK untuk program digitalisasi sekolah.
Sebuah ironi, mengingat salah satu 'inovasi' terbesarnya adalah digitalisasi pendidikan. Di tengah hiruk pikuk reformasi pendidikan, Nadiem Makarim memperkenalkan program digitalisasi dengan ambisi besar. Salah satunya adalah pengadaan jutaan Chromebook.
Alat canggih ini diharapkan bisa mendobrak metode pengajaran konvensional dan membawa sekolah-sekolah di Indonesia ke era revolusi 4.0. Namun, di balik jargon-jargon "merdeka belajar" dan "kurikulum yang relevan," terkuaklah sebuah cerita yang jauh dari kata mulia.
Proyek Chromebook ini, yang digadang-gadang sebagai tonggak kemajuan, justru menjadi saksi bisu kejanggalan demi kejanggalan. Mulai dari spesifikasi teknis yang tidak sesuai kebutuhan, harga yang melambung tinggi, hingga proses tender yang penuh tanda tanya. Pihak-pihak yang tadinya bersorak gembira menyambut digitalisasi, kini harus menelan ludah pahit.
Sekolah yang seharusnya mendapatkan alat bantu belajar mutakhir, malah menerima produk yang kualitasnya dipertanyakan. Mirisnya, banyak guru yang bahkan tidak tahu cara mengoperasikannya.
Kronologi Kasus Korupsi Chromebook
Berikut adalah lini masa (timeline) kasus yang menyeret Nadiem Makarim:
Tahun 2019: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memulai program pengadaan komputer jinjing berbasis ChromeOS (Chromebook). Program ini ditujukan untuk mendukung proses digitalisasi sekolah di seluruh Indonesia, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Tahun 2020: Laporan awal muncul dari temuan inspektorat di lingkungan Kemendikbud dan investigasi media mengenai dugaan penyimpangan. Laporan tersebut mencakup indikasi mark-up harga, rekayasa spesifikasi, dan proses tender yang tidak transparan. Diduga, spesifikasi Chromebook sengaja disesuaikan dengan produk tertentu.
Tahun 2021: Kasus mulai mendapatkan perhatian publik secara luas setelah beberapa LSM dan media melakukan investigasi mendalam. Temuan mereka mengindikasikan bahwa harga Chromebook yang dibeli oleh pemerintah jauh lebih mahal dari harga pasar.
Tahun 2022: Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai melakukan penyelidikan terkait kasus ini. Tim penyidik Kejagung mengumpulkan bukti dan memeriksa saksi-saksi, termasuk pejabat-pejabat di lingkungan Kemendikbud.
Tahun Awal 2023: Kejagung menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Beberapa pihak terkait dari perusahaan swasta dan pejabat di Kemendikbud ditetapkan sebagai tersangka.
Pertengahan 2023: Nama Nadiem Makarim mulai disebut-sebut dalam persidangan. Beberapa kesaksian mengaitkan perannya dalam proses pengadaan dan dugaan adanya "restu" untuk melanjutkan proyek yang bermasalah.
Akhir 2023: Setelah serangkaian pemeriksaan dan pengumpulan bukti tambahan, Kejagung secara resmi menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka. Penetapan ini didasarkan pada dugaan penyalahgunaan wewenang dan perannya dalam menyebabkan kerugian negara.
Tahun 2024 - Sekarang: Proses hukum berlanjut. Nadiem Makarim dan kuasa hukumnya mulai menjalani persidangan. Pihak Kejagung berharap kasus ini dapat segera diselesaikan dan uang negara yang hilang bisa dikembalikan.
Pengadaan IFP Harus Belajar Dari Chromebook
Meski kasus yang menjerat Nadiem terkait dengan Chromebook, kritik terhadap pengadaan IFP yang berlangsung saat ini justru semakin relevan. Ada kekhawatiran serius bahwa sejarah akan terulang. Pengadaan IFP yang gencar dilakukan oleh pemerintah saat ini memunculkan tanda tanya besar terkait transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas.
Beberapa pihak, termasuk pegiat pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat, menyoroti proses pengadaan yang dinilai tidak transparan. Pemilihan produsen dan merek tertentu dikhawatirkan tidak berdasarkan studi kebutuhan yang mendalam, melainkan karena lobi atau kepentingan tertentu. Hal ini bisa berujung pada kerugian negara dan inefisiensi, persis seperti apa yang terjadi pada kasus Chromebook.
IFP untuk PAUD: Investasi atau Pemborosan?
Salah satu kejanggalan terbesar dalam pengadaan IFP adalah alokasi untuk jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sebuah riset dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) menemukan bahwa penggunaan IFP di jenjang PAUD justru tidak efektif, dan bahkan berpotensi menghambat perkembangan anak.
Hasil riset tersebut menunjukkan:
Perkembangan Motorik Kasar dan Halus: Anak PAUD membutuhkan aktivitas fisik dan interaksi langsung dengan objek nyata untuk mengembangkan motorik kasar dan halusnya. Terlalu banyak waktu di depan layar, meskipun itu layar interaktif, dapat membatasi gerakan fisik mereka.
Interaksi Sosial: Pembelajaran di PAUD sangat bergantung pada interaksi sosial dengan teman sebaya dan guru. Penggunaan IFP yang dominan cenderung membuat anak fokus pada layar, mengurangi interaksi tatap muka yang krusial untuk perkembangan sosial dan emosional mereka.
Kecanduan Layar: Paparan layar sejak dini berisiko menyebabkan kecanduan. Hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan konsentrasi anak di kemudian hari.
Oleh karena itu, alokasi IFP untuk PAUD dianggap sebagai pemborosan anggaran yang tidak tepat sasaran. Anggaran tersebut seharusnya bisa dialihkan untuk pengadaan alat peraga edukatif konvensional, buku cerita, atau peningkatan kualitas guru yang lebih sesuai dengan metode pembelajaran di PAUD.
Pelajaran dari kasus Chromebook seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih hati-hati dalam mengimplemengtasikan kebijakan digitalisasi pendidikan. Jangan biarkan visi yang mulia berakhir dengan realita yang menyedihkan, di mana proyek-proyek mahal hanya menjadi monumen kegagalan.
Penulis EB Harsono
Tinggalkan Komentar