Ilus: Pixabay
Koordinator Jaringan Eropa Inovator 4.0 Ahmad Mukhlis Firdaus mengatakan, Revolusi Industri 4.0 memiliki tantangan diantaranya ancaman hilangnya lapangan pekerjaan.
"Tentu saja Revolusi Industri 4.0 ini juga memiliki tantangan seperti ancaman hilangnya lapangan pekerjaan, seperti studi yang dilakukan University of Oxford bersama Citigroup inc," kata Ahmad, kepada Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Nottingham saat menjadi pembicara seminar "Kita, Indonesia dan Tantangan Industri 4.0" di kota Nottingham, Inggris.
Pada 2016, Ahmad melanjutkan, terdapat 57 persen jenis pekerjaan terancam akan hilang akibat perkembangan kecerdasan buatan ini. Industri 4.0, kata Ahmad, merupakan bagian dari masa revolusi industri yang dimulai dari penemuan mesin uap pada abad ke-18. Penemuan ini mampu mengubah peradaban dari masyarakat pertanian ke industri.
Seabad kemudian, kata Ahmad, listrik ditemukan dan industri mulai melakukan produksi masal. Era ini dikenal sebagai Revolusi Industri ke dua atau Industri 2.0. Revolusi industri ke tiga, kata Ahmad melanjutkan, ditandai dengan ditemukan komputer dan manufaktur sehingga diterapkan otomasi dan pabrik tidak lagi membutuhkan banyak pekerja.
"Revolusi Industri 4.0 adalah ketika internet dan kecerdasan buatan berkembang dan mesin bukan lagi hanya sekedar otomatis tapi juga bisa melakukan optimasi dan pekerjaan yang lebih rumit," ujar Ahmad.
Baca juga: Kemenkominfo: Generasi Muda Harus Manfaatkan Revolusi Industri 4.0
Ahmad juga menjelaskan mengenai gerakan Innovator 4.0. Menurutnya, gerakan ini mengumpulkan anak-anak bangsa dari berbagai belahan dunia dan berbagai latar belakang keahlian untuk melakukan persiapan.
Saat ini, di Indonesia Innovator 4.0 bergerak berdasarkan tiga program yaitu pergerakan sosial, sebagai perangkat pertukaran ide dan entitas bisnis. Inovator 4.0 Indonesia mulai pergerakan dengan menghubungkan para pemikir dari berbagai kampus di universitas terbaik di dunia dan Indonesia untuk menyumbangkan ide dan pemikirannya ke di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Ahmad, Revolusi Industri 4.0 ini sedang dan akan terus terjadi. Dia mengingatkan, bahwa pilihan untuk menghadapi tantangan ini ada di tangan kita masing-masing, mau berjuang atau melarikan diri.
“Pilihannya akhirnya akan ada pada kita, apakah akan fight atau flight”. Tentunya tidak akan mudah untuk berjuang (fight) dengan mempersiapkan diri terhadap perubahan besar ini, namun melarikan diri (flight) tidak akan membawa kita kemana-mana. Bahkan kemungkinannya akan menjadi tidak relevan terhadap perkembangan tersebut," ujar Ahmad tegas.
Selain menghadirkan Ahmad Mukhlis Firdaus sebagai pembicara, PPI Nottingham juga mengundang Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London Prof E. Aminudin Aziz. Dalam seminar tersebut, Aminudin menjelaskan mengenai peran pelajar dan persiapan untuk menjawab tantangan Industri 4.0.
Dia menganalogikan Industri 4.0 dengan membandingkan antara S1, S2 dan S3 sebagai kolam, sumur dan sumur bor. Melalui analogi ini Aminudin menunjukkan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin dalam pemahamannya terhadap suatu pengetahuan.
Baca juga: Maksimalkan Industri 4.0, Akademisi: Startup Pangan Potensial Berkembang
Dalam hal Revolusi Industri 4.0, Aminudin melanjutkan mesin tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran manusia karena dibalik mesin akan tetap dibutuhkan manusia dalam interpretasinya. Dia mencontohkan dalam bidang lingustik yang merupakan bidang keahliannya .
Dia mengatakan, ada hal yang tidak dapat dilakukan oleh mesin dalam menerjemahkan linguistik, yaitu rasa. Karena bahasa manusia akan berbeda konteks jika disampaikan secara berbeda.
Dia juga menjelaskan tentang perbedaan sudut pandang antara pengusaha dan pemerintah dalam hal melihat Revolusi Industri 4.0 ini. Dalam perijinan misalnya, Aminudin menjelaskan, pengusaha cenderung serba cepat. Sementara, pemerintah menginginkan semuanya sesuai prosedur karena harus menerapkan prinsip kehati-hatian.
Aminudin juga mengingatkan agar kita berhati-hati mengenai Revolusi Industri 4.0. Karena menurutnya, ada kemungkinan masyarakat tidak membutuhkannya seperti jalan di Papua. Banyak infrastruktur jalan, kata Aminudin, ternyata tidak digunakan masyarakat di kawasan tersebut.
Tinggalkan Komentar