Cari

NU-Muhammadiyah Keluar dari Organisasi Penggerak Kemdikbud, Ada Apa?

Sumber: Ist

 

Schoolmedia News, Jakarta - Organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memutuskan untuk keluar dari Program Organisasi Penggerak (POP). Program dengan anggaran Rp 657 miliar per tahun ini, dinilai banyak persoalan didalamnya.

Muhammadiyah menilai, melansir dari laman RRI, terdapat hal yang janggal dalam penetapan peserta POP ini. Bahkan Muhammadiyah memprotes terdapat dua perusahaan besar yang turut ikut menerima bantuan tersebut.

"Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah," ujar Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasiyarno di Jakarta, Rabu, 22 Juli 2020.

 

Baca juga: Ingin Unjani Jadi Digital Smart Campus Berkarakter Militer, Ini yang Dilakukan KASAD

 

Dua perusahaan tersebut adalah Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, yang masuk kedalam POP untuk kategori gajah atau dengan kata lain mendapatkan bantuan Rp 20 miliar per tahun dari pemerintah.

Dalam menjalankan POP, terdapat tiga kategori yang masing-masing memiliki persyaratan khusus. Ketiga kategori tersebut terbagi ke dalam Gajah, Macan, dan Kijang.

Kategori Gajah merupakan kategori terbesar yang memiliki sasaran target minimal 100 PAUD/SD/SMP. Bagi organisasi yang ingin mendaftar ke dalam kategori ini harus memiliki bukti empiris, tidak hanya pada dampak program terhadap hasil belajar siswa, tetapi juga dampak positif terhadap peningkatan motivasi, kinerja dan praktik mengajar dari para guru. 

Selain itu juga berpengalaman dalam merancang dan mengimplementasikan program yang akan dijalankan. Adapun dukungan dana yang akan diberikan untuk organisasi kategori gajah yaitu sebesar Rp 20 miliar/tahun/program.

Sementara Kategori Macan memperoleh dukungan dana Rp 5 miliar/tahun/program. Kategori ini memiliki jumlah sasaran target yang dibatasi antara 21 sampai 100 PAUD/SD/SMP. 

 

Baca juga: Menko PMK: Anak Jadi Penentu Masa Depan Indonesia

 

Syarat bagi organisasi yang ingin mendaftar pada kategori ini tidak harus sampai pada evaluasi dampak hasil belajar, tetapi minimal memiliki dampak empiris terhadap peningkatan profesional para guru baik pendidikan inovasi, kreativitas dan praktik kinerjanya.

Kategori yang ketiga yaitu Kijang. Kategori ini diperuntukkan bagi organisasi baru yang terbukti mampu merancang dan mengimplementasikan program dengan baik. Kategori Kijang akan memperoleh dukungan dana maksimal Rp 1 miliar/tahun/program dengan sasaran target 5 sampai 20 PAUD/SD/SMP.

Kasiyarno menambahkan, pihaknnya memiliki 30.000 satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu Persyarikatan Muhammadiyah juga sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka.

"Sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemdikbud RI sesuai surat Dirjen GTK tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020," ujarnya.

 

Baca juga: Kemendikbud: Ikut Kompetisi Sains Nasional? Ini Prosesnya

 

Muhammadiyah, Kasiyarno menambahkan, akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan pendidikan dengan berbagai pelatihan, kompetensi kepala sekolah dan guru melalui program-program sekalipun tanpa keikutsertaan dalam Program Organisasi Penggerak itu.

 

NU juga mundur dari POP

Selain Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Maarif NU memutuskan mundur dari program ini. Hal ini dikarenakan POP dinilai syarat kejanggalan dalam proses administrasinya.

Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU, Arifin Junaidi menilai, program ini dari awal sudah janggal. Dia mengaku, awalnya dimintai proposal dua hari sebelum penutupan.

"Kami nyatakan tidak bisa bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tapi kami diminta ajukan saja syarat-sayarat menyusul. Tanggal 5 Maret lewat website mereka dinyatakan proposal kami ditolak," katanya, Rabu, 22 Juli 2020.

 

Baca juga: ITB dan Kyoto Kolaborasi Kembangkan Teknologi Eksplorasi Sumber Daya Panas Bumi

 

Arifin mengungkapkan, entah mengapa pihak Kemendikbud kembali menghubungi Lembaga Pendidikan Maarif NU untuk meminta melengkapi persyaratan. Kala itu, Lembaga Pendidikan Maarif NU diminta menggunakan badan hukum sendiri bukan badan hukum NU.

"Kami menolak dan kami jelaskan badan hukum kami NU," tegasnya.

Selain itu, Kemendikbud kembali meminta surat kuasa dari PBNU. Padahal syarat tersebut tidak sesuai dengan AD/ART.

"Kami terus didesak, akhirnya kami minta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir," ujarnya.

Hingga puncaknya, Rabu (22/7) kemarin, Arifin mengatakan, dia mendadak dihubungi Kemendikbud untuk mengikuti rapat koordinasi. Padahal saat itu, belum ada surat keterangan penetapan program Kemendikbud itu.

"Tadi pagi kami dihubungi untuk ikut rakor pagi tadi, saya tanya rakor apa dijawab rakor POP, saya jawab belum dapat SK penetapan penerima POP dan undangan, dari sumber lain kami dapat daftar penerima POP, ternyata banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP," ungkapnya.

 

Baca juga: Dirjen GTK: 2 Prinsip Utama Pengajaran Masa Pandemi

 

Saat ini Lembaga Pendidikan Maarif NU berfokus menangani pelatihan kepala sekolah dan kepala madrasah 15 persen dari total sekolah/madrasah sekitar 21.000. 

Mereka yang ikut pelatihan harus melatih guru2 di satpennya dan kepsek kamad lain di lingkungan sekitarnya. Sementara POP harus selesai akhir tahun ini.

"Meski kami tidak ikut POP kami tetap melaksanakan progran penggerak secara mandiri," tutupnya.

Berita Selanjutnya
Pemilihan Organisasi Penggerak, Kemdikbud Klaim Berhati-hati
Berita Sebelumnya
Menko PMK: Anak Jadi Penentu Masa Depan Indonesia

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar