Cari

Di Bawah Jembatan Tamiang: Melihat Langsung Luka, Presoden Membawa Janji Pemulihan


Schoolmedia News Aceh Tamiang = Langit Aceh Tamiang membiru pekat, namun di bawahnya, tanah masih menyimpan kisah kelabu yang baru saja terukir. Di balik deru helikopter yang memecah kesunyian, ada sepotong harapan yang mendarat perlahan. Presiden Prabowo Subianto, sang Kepala Negara, menjejakkan kaki di Lapangan Sepak Bola Bima Patra Bukit Rata, membawa bukan hanya janji, melainkan kehadiran yang hangat.

Kehadiran itu adalah pemenuhan janji lama. "Saya datang sesuai janji saya, waktu itu Tamiang masih terputus ya. Terputus. Kapan sudah tembus? Berapa hari lalu? Seminggu lalu ya. Saya janji mau nengok beliau,” ujar Presiden, suaranya bergaung dengan nada penyesalan sekaligus tekad.

Dari helipad menuju posko pengungsian di Jembatan Aceh Tamiang, iring-iringan itu menapaki sisa-sisa amarah alam. Pemandangan di sepanjang jalan adalah kanvas kesedihan: badan jalan yang berlumpur tebal, pepohonan yang meranggas, mengering, seolah nyawanya tersedot habis oleh terjangan banjir bandang. Setiap endapan lumpur adalah babak yang belum usai dari bencana, sebuah saksi bisu betapa ringkihnya peradaban di hadapan kekuatan air bah.

Pelukan dan Doa di Tenda Pengungsian

Posko pengungsian itu, di bawah naungan Jembatan Aceh Tamiang yang kokoh namun sunyi, adalah jantung yang kini berdetak lambat. Di sana, wajah-wajah letih menghuni tenda-tenda darurat.

Namun, kedatangan Presiden sontak mengubah suasana. Sekelompok anak-anak, dengan mata yang polos namun penuh semangat, menyambutnya dengan paduan suara kecil, “Selamat datang, Bapak!” Nyanyian itu, meski sederhana, adalah melodi keberanian di tengah puing-puing trauma.

Langkah Presiden membawanya ke posko kesehatan. Ia mendekati ranjang demi ranjang, berbincang dengan warga yang sedang berobat. Dengan sorot mata teduh, ia menanyakan keluhan, mendengar erangan pelan, dan mendoakan kesembuhan, seolah meyakinkan bahwa setiap raga yang terluka adalah tanggung jawab negara. Kepada para tenaga kesehatan, ia menunduk hormat, berdialog, menyerap setiap tantangan yang dihadapi para malaikat berseragam putih itu.

Usai dari sana, pemandangan yang lebih memilukan terhampar di kawasan pemukiman di bawah jembatan. Endapan lumpur tebal mengubur lantai rumah, potongan kayu, puing-puing bangunan, serta barang-barang rumah tangga yang kini tak lebih dari tumpukan sampah basah. Di sana, bencana bukan hanya merusak dinding, tetapi juga merenggut kenangan.

Di tenda utama, kehangatan itu memuncak. Anak-anak yang tadi menyanyi kini mengerubungi sang Kepala Negara. Mereka berani menghampiri, menjabat tangan, seolah mencari perlindungan di balik tubuh tegap itu. Dan Presiden membalasnya dengan segenap rasa kemanusiaan: memeluk erat, menggendong ringan, bahkan mencium kening satu per satu, memberikan sentuhan pribadi yang melampaui sekat kekuasaan. Senyum haru mengembang di wajah warga. Ucapan “Terima kasih, Bapak,” yang lirih namun tulus, mengantar langkah Presiden meninggalkan tenda.

Negara Hadir, di Tengah Tantangan Berat

Setelah Aceh Tamiang, perjalanan berlanjut, menyusuri luka lain di tanah Serambi Mekkah. Di Masjid Besar Al Abrar, Aceh Tengah, yang kini berfungsi sebagai penampungan bagi 1.500 jiwa, dan di SMPN 2 Wih Pesam, Bener Meriah, tempat 1.161 pengungsi berlindung, narasi yang sama kembali terulang.

Di setiap mimbar dadakan, Presiden Prabowo menegaskan satu hal: Negara hadir.

“Memang keadaannya cukup sulit, memprihatinkan, tapi percayalah bahwa saudara-saudara tidak sendiri, kami semua bertekad, bekerja keras untuk membantu semuanya di sini, membantu meringankan kesulitan bapak-bapak, ibu-ibu semuanya,” ujarnya di Aceh Tengah.

Di Bener Meriah, ia disambut teriakan haru, “Terima kasih Bapak!” yang memecah keheningan. Ia berjanji bahwa rencana penanganan telah disiapkan secara menyeluruh: “Kami sudah siapkan rencana, semua jembatan akan kita perbaiki, jalan-jalan longsor akan kita tembus, listrik akan kita hidupkan semuanya.”

Namun, ia tak menampik tantangan. Kondisi lapangan yang berat dan kendala instan membuat proses pemulihan terasa lambat. Di Aceh Tamiang, ia meminta maaf. “Kita sedang bekerja keras, mungkin listrik yang belum ya. Sudah mulai? Kita berusaha, kita tahu di lapangan sangat sulit. Keadaannya sulit, jadi kita atasi bersama,” katanya, jujur dan terbuka.

Ia lantas menguatkan semangat warga: “Insyaallah bersama-sama kita akan memperbaiki keadaan ini. Pemerintah akan turun, akan membantu semuanya.”

Kewaspadaan dan Panggilan Alam

Kunjungan ini diakhiri bukan hanya dengan janji bantuan, tetapi juga panggilan untuk refleksi. Presiden Prabowo mengajak warga untuk tabah dan bersemangat, terutama anak-anak. “Anak-anak yang tabah, yang semangat. Kita cepat kembali supaya anak-anak semua cepat sekolah semuanya,” harapnya.

Lebih dari sekadar pemulihan fisik, Kepala Negara menyentuh akar permasalahan. Ia menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap potensi bencana dan perlunya pengelolaan lingkungan serta tata ruang yang lebih baik.

“Kita tidak boleh tebang pohon sembarangan. Saya minta pemerintah daerah semua lebih waspada, lebih awas. Kita jaga alam kita dengan sebaik-baiknya,” tandasnya, memberikan perintah tegas yang melampaui urusan birokrasi, sebuah panggilan untuk menjaga warisan bumi.

Di hari itu, di tengah puing dan lumpur Aceh, perjalanan Presiden Prabowo Subianto adalah pengingat bahwa kepemimpinan sejati diukur bukan hanya dari kebijakan yang dibuat di meja kerja, melainkan dari seberapa cepat langkah kaki itu tiba di tanah yang terluka, dan seberapa tulus pelukan yang diberikan kepada jiwa-jiwa yang membutuhkan.

Peliput Eko B Harsono 


Berita Sebelumnya
Porseni GTKPG 2025 Teguhkan Budaya Hidup Sehat, Kolaborasi, dan Sportivitas

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar