Schoolmedia News Bandung == Di sebuah lapangan sekolah di pesisir selatan Jawa, puluhan siswa berbaris rapi. Peluit ditiup, guru-guru memberi aba-aba, dan seketika anak-anak berlari ke titik kumpul dengan tertib. Bukan untuk upacara, bukan pula untuk lomba olahraga, melainkan simulasi evakuasi gempa bumi. Wajah mereka terlihat serius, tapi juga bersemangat.
Inilah potret kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi (SLG), sebuah program yang digagas oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Tujuannya sederhana tapi krusial: menanamkan budaya siaga bencana sejak dini di lingkungan pendidikan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui Deputi Bidang Geofisika menggelar kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi (SLG) di Pondok Pesantren Al-Irfan, Desa Mekargalih, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta.
Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi V DPR RI Dapil Jabar VII Syaiful Huda, Direktur Seismologi Teknik, Geofisika Potensial, dan Tanda Waktu, Setyoajie Prayoedhie, Kepala Balai Besar BMKG Wilayah II Hartanto, Kepala Stasiun Geofisika Bandung Teguh Rahayu, serta unsur Forkopimcam Jatiluhur, Kepala Pelaksana BPBD Purwakarta Heryadi Erlan, aparat TNI/Polri, tokoh agama, pimpinan Ponpes Al-Irfan, dan para santri.
Deputi Bidang Geofisika BMKG, Nelly Florida Riama, dalam sambutannya menegaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan aktivitas kegempaan tertinggi di dunia. Hal ini karena Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik dengan 13 zona megathrust dan lebih dari 295 sesar aktif yang berpotensi memicu gempa bumi besar dan tsunami.
Beberapa kejadian gempa di Jawa Barat dalam satu dekade terakhir menjadi pengingat bahwa gempabumi bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Mulai dari Gempa Cianjur tahun 2022, Gempa Sumedang 2023, Gempa Kertasari 2024, hingga Gempa Bekasi Agustus 2025 yang turut dirasakan di Purwakarta, ujar Nelly.
Dengan mengangkat tema 10 Tahun SLG, 10 Tahun Ngawangun Kasiapsiagaan Pikeun Salamet tina Musibah Gempabumi di Wewengkon Jawa BaratÂ, BMKG ingin menegaskan pentingnya membangun kesiapsiagaan berkelanjutan melalui edukasi, latihan, dan kolaborasi lintas sektor.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Syaiful Huda mengapresiasi penyelenggaraan SLG ini.
ââ¬ÅKita sambut baik inisiatif ini, terlebih di Jawa Barat yang memiliki banyak pertemuan sesar dan megathrust. Sosialisasi dan simulasi sangat penting. Di level regulasi, kami akan terus dorong agar standar pemerintah pusat bisa diikuti oleh provinsi dan kabupaten/kota, baik melalui perda, keputusan bupati, maupun keputusan gubernur, tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa pendidikan kebencanaan perlu masuk ke dalam kurikulum sekolah.
Tiga tahun lalu kami menginisiasi agar pengetahuan kebencanaan ini menjadi kurikulum baru. Karena ketika sudah menjadi pengetahuan, ia akan membentuk perilaku, dan pada akhirnya menciptakan ekosistem keselamatan. Indonesia jauh lebih rawan bencana dibanding banyak negara lain, sehingga anak-anak sejak dini harus dipersiapkan, jelas Syaiful.
Nelly menambahkan bahwa kesiapsiagaan masyarakat merupakan kunci utama dalam mengurangi risiko bencana.
Jawa Barat ribuan kali diguncang gempa setiap tahunnya. Masyarakat perlu dipersiapkan agar ketika terjadi gempa mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi dengan adanya sistem peringatan dini gempa (earthquake early warning system) di 40 titik, kita memiliki golden time yang sangat berharga untuk menyelamatkan nyawa, ujarnya.
Acara yang juga diikuti oleh seluruh Kepala Stasiun Geofisika se-Indonesia secara daring ini menjadi momentum peringatan 10 tahun penyelenggaraan Sekolah Lapang Gempabumi. BMKG menekankan bahwa kesadaran saja tidak cukup, tetapi harus diwujudkan dalam sikap siaga, latihan rutin, serta kerja sama antar lembaga dan masyarakat.
Semoga kegiatan ini dapat memperkuat kesiapsiagaan masyarakat Jawa Barat, khususnya di Purwakarta, sehingga mampu menjadi masyarakat yang tangguh dan selamat dari bencana, tutup Nelly.
SLG tidak berhenti pada simulasi formal. Anak-anak diajak membuat poster jalur evakuasi, menempelkan tanda arah di tembok sekolah, bahkan membuat lagu dan yel-yel siaga bencana. Pendekatan kreatif ini membuat pesan lebih mudah melekat di ingatan mereka.
Rara, siswi kelas 5 SD di Pacitan, bercerita dengan polos, Kalau ada gempa, aku tahu harus menunduk, lindungi kepala, terus lari ke lapangan. Tidak boleh panik. Matanya berbinar, seakan telah menemukan rasa percaya diri untuk menghadapi sesuatu yang menakutkan.
Di sinilah nilai human interest program ini: memberi rasa aman dan kendali bagi anak-anak di tengah ketidakpastian bencana.
Ada beberapa alasan mendasar:
-
Melindungi generasi muda Anak-anak adalah kelompok paling rawan, sekaligus harapan masa depan.
-
Membangun kebiasaan kolektif Sekolah adalah miniatur masyarakat, tempat budaya siaga bencana dapat tumbuh dan ditularkan.
-
Mengurangi risiko korban massal Dengan tata kelola evakuasi yang jelas, sekolah bisa menjadi zona aman, bukan titik rawan.
-
Menyiapkan agen perubahan Siswa yang terlatih akan menularkan ilmu kepada keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Di negeri dengan ancaman gempa yang tak pernah bisa diprediksi, budaya siaga bencana adalah investasi paling nyata untuk keselamatan generasi mendatang. Program Sekolah Lapang Gempabumi bukan sekadar pelatihan teknis, tetapi juga latihan keberanian, kebersamaan, dan kepedulian.
Anak-anak yang berlatih hari ini adalah generasi yang akan lebih siap menghadapi guncangan esok.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar