Schoolmedia News Jakarta === Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menaruh perhatian serius terhadap keterlibatan anak-anak dalam aksi demonstrasi yang berlangsung di Jakarta pada 25 dan 28 Agustus 2025.
Berdasarkan data dari Polda Metro Jaya, tercatat 196 anak diamankan pada 25 Agustus, dan 190 anak pada 28 Agustus 2025. Anak-anak tersebut berusia antara 12 hingga 17 tahun, berasal dari Jakarta, Tangerang (Banten), dan Bekasi (Jawa Barat).
KPAI menilai bahwa pelibatan anak-anak dalam aksi politik adalah bentuk pengabaian dan pelanggaran hak anak yang terus terjadi selama 10 tahun terakhir (2014â2024). Terutama menjelang Pilpres, Pilkada, atau saat unjuk rasa menolak kebijakan nasional.
Dalam banyak kasus, anak-anak dimobilisasi demi kepentingan politik orang dewasa, bukan dilibatkan dalam partisipasi yang bermakna. Minimnya pendidikan demokrasi, politik, HAM, dan literasi digital di sekolah membuat anak-anak rentan.
Semua anak yang terlibat aksi ini mengaku tidak pernah mendengar program Forum Anak, padahal program tersebut seharusnya memberi ruang bagi anak untuk belajar menyampaikan pendapat secara aman.
KPAI menegaskan pelibatan anak dalam aksi politik melanggar UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) dan UU SPPA (UU No. 11 Tahun 2012), termasuk hak bebas dari kekerasan, hak untuk tidak dieksploitasi dalam kegiatan politik, hak berpartisipasi, hak atas pendidikan, serta hak untuk beristirahat, berekreasi, dan mengembangkan bakat minat.
Sehubungan dengan fakta tersebut, KPAI menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:
-
Menyesalkan pelibatan anak-anak dalam aksi unjuk rasa. KPAI menegaskan bahwa anak-anak seharusnya tidak menjadi bagian dari dinamika politik praktis maupun aksi massa yang berpotensi membahayakan keselamatan dan tumbuh kembang mereka.
-
Koordinasi dan pengawasan. KPAI telah berkoordinasi langsung dengan Polda Metro Jaya untuk memastikan tidak terjadi kekerasan terhadap anak-anak yang diamankan serta hak-hak dasar mereka tetap terpenuhi. KPAI mengapresiasi keterbukaan Polda Metro Jaya dalam memfasilitasi pengawasan, serta koordinasi dengan Dinas PPAPP DKI Jakarta agar layanan bantuan psikososial segera diberikan kepada anak-anak.
-
Motif keterlibatan anak. Berdasarkan keterangan anak-anak yang dimintai informasi, sebagian besar mengikuti aksi karena ajakan teman, kakak kelas, alumni, atau ajakan melalui media sosial seperti TikTok dan WhatsApp. Anak-anak menyiapkan keikutsertaan dengan mengganti seragam sekolah, membawa jaket berkupluk, telepon genggam, charger, dan perlengkapan kecil lainnya.
-
Alasan keikutsertaan. Mayoritas anak mengaku ikut aksi karena alasan umum, seperti menolak kenaikan gaji atau tunjangan DPR-RI. Namun, KPAI mencatat adanya dua anak yang diamankan meski tidak berniat ikut aksi, hanya kebetulan berada di lokasi.
-
Temuan dugaan kekerasan. KPAI menerima pengaduan dari 19 anak yang mengaku mengalami kekerasan fisik oleh oknum aparat saat berada di halaman Polda Metro Jaya, berupa luka, memar, hingga benjol di kepala. KPAI mendesak agar peristiwa ini ditindaklanjuti sesuai mekanisme hukum dan akuntabilitas aparat.
-
Pemenuhan hak anak. Selama ditahan di Polda Metro Jaya, anak-anak memang diberi makan dan tempat beristirahat. Namun, KPAI menyesalkan tidak adanya pendampingan hukum maupun pendampingan lain sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Meskipun Polda Metro Jaya menyatakan tidak melakukan pemeriksaan formal atau BAP, pemenuhan hak anak tetap harus dipastikan.
KPAI Merekomendasikan :
-
Kepada orang tua dan sekolah, agar memperkuat pengawasan, komunikasi, dan edukasi kepada anak-anak terkait risiko keterlibatan dalam aksi massa.
-
Kepada pemerintah daerah dan pusat, agar memastikan penyediaan layanan rehabilitasi dan dukungan psikososial bagi anak-anak yang terdampak peristiwa ini.
-
Kepada aparat penegak hukum, agar menjamin perlindungan hak anak dalam setiap penanganan, serta mengusut dugaan kekerasan yang dialami anak-anak secara transparan.
-
Kepada masyarakat dan media, agar tidak mendorong atau mengeksploitasi keterlibatan anak-anak dalam aksi demonstrasi maupun kepentingan politik lainnya.
KPAI menegaskan kembali bahwa anak adalah subjek perlindungan, bukan objek mobilisasi. Negara, orang tua, sekolah, aparat, dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan anak-anak terlindungi, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan yang aman.
Berdasarkan temuan dan analisa, KPAI merekomendasikan langkah-langkah berikut bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA):
- Memperkuat sistem perlindungan anak, termasuk meningkatkan kuantitas dan kualitas program pemenuhan hak partisipasi anak.
- Memperluas Forum Anak hingga tingkat lingkungan, melibatkan anak dari latar belakang beragam, dan meningkatkan kualitas forum agar partisipasi anak bermakna.
- Menjadikan kasus eksploitasi anak dalam politik sebagai variabel evaluasi kabupaten/kota layak anak (KLA).
- Memberikan layanan bantuan medis dan psikososial secara cepat kepada anak-anak korban aksi.
Sementara, rekomendasi bagi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah adalah:
- Mengoptimalkan mutu pendidikan politik, demokrasi, dan literasi digital melalui program kreatif sesuai usia anak.
- Memberikan pendampingan khusus bagi sekolah-sekolah yang siswanya rentan dimobilisasi untuk aksi politik.
- Memerhatikan SMP/SMA/SMK dengan siswa dari kelompok pra-sejahtera agar mereka mendapat sarana untuk tumbuh-kembang optimal.
Bagi Kementerian Komunikasi dan Digital:
- Melakukan edukasi literasi digital bagi anak dan orang tua agar bijak dalam mengelola informasi dan tidak mudah termakan hoaks.
- Memperketat pengawasan konten provokatif, hoaks, dan ajakan kekerasan di media sosial.
- Mewajibkan platform untuk menyediakan fitur peringatan edukatif tentang bahaya hoaks.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar