Dok. Humas UGM
Eka Hafsari, mahasiswa Program Studi Manajemen Sekolah Vokasi (SV) UGM, berhasil meraih dua penghargaan dari ASEAN. Penghargaan pertama ia raih sebagai Best Submission dalam kegiatan International Mine Day yang diselenggarakan ASEAN Region Mine Action Center di Phnom Penh, Kamboja pada 3-4 April 2019.
“Saya terpilih menjadi salah satu delegasi dengan karya terbaik untuk diberikan program full funded terkait aksi ranjau di Kamboja,” kata Eka, Selasa, 14 Mei 2019 di UGM.
Kegiatan ini diikuti 600 mahasiswa dari 10 negara anggota ASEAN. Dari jumlah tersebut selanjutnya dipilih 3 orang dengan esai atau poster terbaik dari setiap negara.
“Dari 600 pendaftar hanya diambil 3 orang dengan karya terbaik dari setiap negara 30 delegasi. Jadi, total ada 30 delegasi dengan karya terbaik yang terpilih,” kata Eka.
Eka terpilih menerima penghargaan karena ia mengajukan poster ilmiah berjudul Little Things Big Impact. Melalui karyanya itu ia berusaha menyampaikan informasi tentang ranjau di Indonesia meliputi fakta yang dilakukan satgas dalam penanganan ranjau dan metode yang tepat saat menemui ranjau.
Dok. Humas UGM
Penghargaan kedua Eka berasal dari ajang ASEAN Student Conference pada 20-26 Januari 2019 di Universiti Utara Malaysia. Konferensi tersebut mengusung tema Beat The Deforestation. Di kompetisi ini, ia berhasil memperoleh gelar Best Paper Award.
Konferensi tersebut diikuti 30 finalis mahasiswa dari 9 anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Myanmar, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Di ajang itu, Eka mengajukan karya tulis ilmiah berjudul KEPUH (Forest Protection Group and Springs Preserver) As Life Supporters of Mendiro Village.
Karya tulis itu ia angkat berdasarkan pengalaman tentang kelompok masyarakat di desa asalnya yakni Mendiro, Jombang, Jawa Timur. Eka menjelaskan, di sana masyarakatnya memiliki kepedulian terhadap hutan.
“Di daerah saya ada kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap hutan yang berkegiatan sejak tahun 1999 lalu,” tuturnya.
Kelompok ini, kata Eka, terbentuk atas kesadaran masyarakat setempat terhadap hutan. Mereka, kata Eka, bergerak cepat mengatasi persoalan lingkungan di daerahnya seperti saat sumber air surut dan penebangan ilegal yang terus berlangsung sampai tahun 1998.
Hal tersebut, Eka melanjutkan, akhirnya menggerakan salah satu warga menginisasi kegiatan menjaga alam dengan mengajak beberapa warga menjadi sukarelawan. Kelompok ini memiliki sejumlah program yang telah diimplementasikan. Saat ini Dusun Mendiro telah dikenal sebagai desa wisata konservasi.
Tinggalkan Komentar