Cari

Rakyat Gaji Rp2,3 Miliar per Anggota DPR, Namun Aspirasi dan Suara Rakyat Tak Didengar



Schoolmedia News Jakarta == Di Senayan, uang bukan hanya bicara—ia bersembunyi di balik tirai tebal birokrasi dan dalih formalitas rapat tertutup.

Sejak akhir Oktober lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali mengetuk pintu lembaga legislatif paling berkuasa di republik ini, menuntut satu hal sederhana namun mendasar: keterbukaan.

Namun, yang mereka temukan bukanlah transparansi, melainkan tembok tebal penuh alasan.

Pada 28 Oktober 2025, ICW mengirimkan surat keberatan kepada dua lembaga perwakilan rakyat: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Surat itu bukan yang pertama, tapi nadanya lebih getir dari biasanya.

Lembaga antikorupsi masyarakat sipil itu mengaku kecewa berat terhadap sikap tertutup DPR dan DPD dalam mengelola dana reses dan kunjungan daerah pemilihan (dapil)—anggaran yang sejatinya digunakan untuk menyerap aspirasi rakyat di daerah.

ICW sebenarnya sudah meminta data tersebut dua bulan sebelumnya, pada 21 Agustus 2025. Permintaan mereka jelas dan terperinci: dokumen tentang besaran gaji, tunjangan, uang harian, uang representasi, uang pensiun, dana aspirasi, dana reses, serta laporan pertanggungjawaban penggunaannya pada masa reses I dan II tahun sidang 2024–2025.

Tapi jawaban yang datang dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DPR dan DPD jauh dari memuaskan. Mereka hanya melampirkan peraturan perundang-undangan dan daftar take-home pay anggota dewan. Tidak ada satu pun data tentang berapa dana reses digelontorkan, dan ke mana dana itu bermuara.

Padahal, angkanya tidak main-main. Setiap anggota DPR diperkirakan menerima Rp2,3 miliar per tahun untuk kunjungan ke dapil. Jika dikalikan 580 anggota DPR, maka total dana publik yang keluar mencapai lebih dari Rp1,3 triliun per tahun hanya untuk kegiatan yang, secara teoritis, bertujuan “menyerap aspirasi rakyat.”

Idealnya, dana reses adalah jembatan antara rakyat dan parlemen. Di masa reses, para wakil rakyat pulang ke daerah pemilihan, berdialog, mendengar, dan mencatat persoalan di lapangan. Hasilnya kelak dibawa kembali ke Senayan untuk menjadi dasar penyusunan kebijakan.

Tapi itu hanya idealitas di atas kertas. Tanpa laporan pertanggungjawaban dan mekanisme audit terbuka, dana reses lebih mirip kas pribadi politikus.

Ia bisa digunakan untuk menambal ongkos kampanye yang menelan miliaran rupiah, atau bahkan disalurkan untuk merawat jejaring patronase politik di daerah—tim sukses, tokoh lokal, dan jaringan partai yang menjadi modal untuk pemilu berikutnya.

“Ketika dana publik sebesar itu dikelola tanpa akuntabilitas, peluang korupsi terbuka selebar-lebarnya,” ujar seorang peneliti ICW dalam keterangan tertulis. “Ini bukan lagi soal transparansi administratif, tapi soal integritas wakil rakyat.”

Publik, sekali lagi, disuguhi ironi. Di atas panggung, anggota DPR bicara soal pengawasan dan good governance. Tapi di balik meja rapat, mereka justru menjadi pelaku utama praktik ketertutupan yang selama ini mereka kritik.

Gaji Naik Tapi Transparansi dan Kinerja DPR Anjlok

Masalah tak berhenti di dana reses. Pada Agustus 2025, publik kembali digegerkan oleh kebijakan DPR tentang tunjangan rumah dinas.

Setelah menuai kritik keras, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan penghentian tunjangan itu pada 4 September 2025. Tapi di balik pernyataan dramatis tersebut, ICW mencium aroma tak sedap: ternyata besaran take-home pay anggota DPR justru meningkat setelah kebijakan baru itu berlaku.

ICW pun kembali mengajukan permintaan informasi—kali ini terkait catatan rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang membahas perubahan nominal gaji dan tunjangan. Dugaan mereka sederhana namun menggelitik: DPR berusaha membohongi publik dengan “menghapus” satu komponen tunjangan, namun diam-diam menaikkan total penghasilan anggota lewat komponen lain.

Jawaban DPR? Lagi-lagi: rapatnya tertutup. Catatan tak bisa dibuka. Alasannya, dokumen tersebut “mengandung informasi internal.”

Padahal, tak ada satu pun aturan yang menyatakan pembahasan gaji wakil rakyat adalah rahasia negara. “Transparansi bukan ancaman bagi lembaga publik, kecuali jika ada sesuatu yang disembunyikan,” kata ICW dalam surat protes keduanya.

Aroma Busuk Dari Ulujami 

Kecurigaan publik terhadap cara DPR mengelola fasilitas bukan tanpa alasan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menangani dugaan korupsi pengadaan rumah dinas DPR di Ulujami dan Kalibata pada tahun anggaran 2020.

Proyek tersebut diduga mengandung praktik mark-up harga yang mengakibatkan kerugian negara hingga puluhan miliar rupiah. Kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa uang negara, ketika masuk ke sistem tanpa pengawasan, bisa dengan mudah berubah menjadi ladang rente bagi segelintir elit.

Dan kini, dengan pengelolaan dana reses yang serba tertutup, potensi skandal serupa tinggal menunggu waktu.

Dua dekade lebih pascareformasi, masyarakat mungkin berharap DPR sudah belajar dari sejarah. Namun, perilaku lembaga ini menunjukkan sebaliknya.

Ketika publik menuntut transparansi, DPR menutup pintu. Ketika diminta akuntabilitas, mereka berlindung di balik prosedur. Sikap ini menunjukkan betapa jauh lembaga perwakilan rakyat telah berjarak dari rakyat yang diwakilinya.

Di luar gedung parlemen, masyarakat sipil terus bersuara. Demonstrasi kecil di depan Kompleks Senayan menjadi rutinitas setiap kali isu kenaikan gaji, tunjangan, atau dana aspirasi mencuat. Namun, gelombang protes itu jarang mengguncang kenyamanan para legislator yang sibuk berdebat di ruang ber-AC.

“DPR tampak seperti tak pernah kapok,” ujar seorang aktivis ICW dengan getir. “Setiap kali publik marah, mereka berjanji memperbaiki. Tapi tak lama kemudian, siklusnya terulang lagi.”

Catatan Kritis Untuk Wakil Rakyat

Ada dua persoalan mendasar dalam praktik ketertutupan ini. Pertama, pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebagai badan publik, DPR dan DPD RI wajib membuka informasi tentang penggunaan dana negara, kecuali yang memang dikategorikan rahasia negara—yang jelas bukan soal reses atau gaji anggota.

Kedua, krisis moral dan etika politik. Transparansi bukan sekadar administrasi, melainkan cerminan komitmen terhadap integritas. Ketika DPR menolak memberikan data keuangan yang bersumber dari pajak rakyat, maka mereka sedang melanggar kontrak sosial dengan para pemilihnya.

Di tengah kepercayaan publik yang terus merosot, ketertutupan ini hanya mempertebal kesan bahwa parlemen lebih sibuk mengamankan kepentingan diri sendiri ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat.

Surat ICW pada akhir Oktober lalu mungkin hanya selembar kertas. Tapi di baliknya, tersimpan satu pesan keras: parlemen sedang kehilangan legitimasi moralnya.

Dana reses yang mestinya menjadi jembatan rakyat dan wakilnya kini menjelma menjadi tembok tinggi yang menghalangi akuntabilitas. Sementara DPR terus berkilah dengan alasan administratif, publik semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

Ketika wakil rakyat tidak lagi takut pada demonstrasi, tidak lagi malu pada kritik, dan tidak lagi terbuka pada pengawasan—di sanalah demokrasi mulai kehilangan maknanya.

Dan dana reses yang gelap itu, mungkin hanyalah gejala dari penyakit yang jauh lebih dalam: kekuasaan yang lupa untuk siapa ia bekerja.

Tim Schoolmedia

Lipsus Selanjutnya
Arisan WC, Cara Kreatif Warga Gotong-Royong Bangun Jamban Sehat
Lipsus Sebelumnya
Jelang Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Bahas Pemberian Gelar Kepahlawanan Nasional

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar