Cari

Tahun Pertama Revitalisasi dan Digitalisasi Sekolah Bak Menanam Pohon di Tanah Kering Harus Sabar Menyirami



Schoolmedia News Jakarta == Satu tahun sudah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berjalan. Dalam kurun waktu yang singkat, berbagai kebijakan besar mulai menunjukkan hasilnya. Di antara deretan program unggulan, satu yang paling terasa dampaknya berdenyut di jantung kehidupan bangsa—pendidikan. Melalui program revitalisasi sekolah, pemerintah tengah menanamkan investasi sosial jangka panjang: memperbaiki ruang belajar sebagai fondasi masa depan Indonesia.

Dari ujung Sumatera hingga pelosok Papua, pemandangan seragam sedang terjadi. Sekolah-sekolah yang dulu renta, kini berbenah diri. Atap yang bocor diganti baru, dinding kusam disapu cat segar, dan halaman yang dulu becek berubah menjadi tempat bermain yang layak. “Sekolah kami dulu nyaris roboh, sekarang anak-anak kembali bersemangat datang setiap pagi,” kata Rini, guru di sebuah SD di Lebak, Banten, yang menjadi salah satu penerima program revitalisasi.

Program ini berakar pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan dan Revitalisasi Sekolah serta Digitalisasi Pembelajaran. Ia menjadi bagian dari Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) yang dijalankan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen)—sebuah inisiatif yang menandai semangat pemerintahan Prabowo untuk bekerja cepat dan konkret.

Bagi Presiden Prabowo, pendidikan bukan sekadar urusan kurikulum atau guru, melainkan juga soal martabat. Anak-anak Indonesia, katanya, berhak belajar di tempat yang layak dan membanggakan.

Maka, Rp16,97 triliun digelontorkan pada tahun pertama pemerintahan untuk menjalankan program ini, dengan proyeksi meningkat menjadi Rp22,58 triliun pada 2026. Angka itu bukan sekadar hitung-hitungan anggaran, melainkan komitmen politik dan moral terhadap masa depan bangsa.

Pemerintah menargetkan 13.834 sekolah di seluruh Indonesia untuk direvitalisasi—meliputi jenjang PAUD, SD, SMP, hingga SMA. Angka itu bukan sembarang janji. Hingga 10 September 2025, sebanyak 11.179 sekolah telah menuntaskan tahap administrasi dan menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Kemendikdasmen.

“Lebih dari 800 sekolah akan merampungkan pembangunan fisiknya pada Oktober ini,” ujar Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen Kemendikdasmen, Gogot Suharwoto, penuh optimisme. “Target kami, seluruh proyek tuntas Desember tahun ini.”

Capaian itu membentang dari sekolah-sekolah kecil di pedalaman Papua hingga SMA di perkotaan Jawa Barat. Pemerintah juga membangun 67 Unit Sekolah Baru (USB)—bukti bahwa revitalisasi bukan sekadar mempercantik, tapi juga memperluas akses.

Rinciannya, program ini mencakup:

  • PAUD: 1.260 unit

  • SD: 3.903 unit

  • SMP: 3.974 unit

  • SMA: 2.042 unit

Sekitar 75,8 persen dari penerima manfaat adalah sekolah negeri, sementara 24,2 persen sisanya berasal dari sekolah swasta.

Di balik laju pembangunan yang pesat, terdapat mekanisme pendanaan yang disebut banyak pihak sebagai “terobosan administrasi”. Pemerintah mempercepat seluruh rantai birokrasi dengan pencairan dana langsung ke rekening sekolah.

70% Dana Telah Dicairkan

Hingga 8 September 2025, 70 persen dari total alokasi dana tahap pertama telah cair untuk 9.595 sekolah di seluruh Indonesia. Beberapa pekan kemudian, 251 sekolah telah diverifikasi sebagai penerima program dengan nilai total Rp183,94 miliar. Dari jumlah itu, Rp128,14 miliar atau 69,66 persen telah terealisasi dalam tahap pertama.

Daerah Banten menjadi salah satu contoh percepatan yang menonjol. Di Kabupaten Lebak, 58 sekolah tengah dikebut pembangunannya, sementara Pandeglang mencatat 52 sekolah. Dua lembaga di Serang—TK Persis Serang dan SMA Persis Serang—bahkan memperoleh alokasi khusus Rp8 miliar untuk membangun Unit Sekolah Baru.

Salah satu tonggak perubahan terbesar dalam Inpres ini adalah skema swakelola. Pemerintah memindahkan kendali pembangunan dari tangan birokrasi ke tangan masyarakat dan sekolah.

Jika dulu pembangunan fisik sekolah dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), kini tanggung jawab itu langsung dipegang oleh Kemendikdasmen. Dana disalurkan langsung ke rekening sekolah—tanpa perantara panjang—dan masyarakat dilibatkan melalui Panitia Pengembangan Satuan Pendidikan (P2SP).

Skema ini menghidupkan kembali semangat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang selama ini hanya menjadi jargon dalam dokumen kebijakan. Kini, guru, kepala sekolah, dan orang tua duduk satu meja, merancang pembangunan ruang belajar mereka sendiri.

“Guru bisa fokus mengajar, masyarakat ikut membangun, dan ekonomi sekitar sekolah ikut bergerak,” kata Gogot Suharwoto. Ia menambahkan, setiap proyek revitalisasi melibatkan pekerja lokal, yang membuat program ini tidak hanya menghidupkan sekolah, tapi juga menyalakan ekonomi mikro desa dan kecamatan.

Swakelola juga menjadi ruang bagi gotong royong untuk bernapas lagi. Dari proses pembelian bahan bangunan hingga pengawasan proyek, masyarakat ikut serta. “Kalau dulu kami hanya menunggu hasil pembangunan, sekarang kami merasa memiliki sekolah ini,” ujar Arifin, ketua komite sekolah di Pandeglang.

Namun, sebagaimana setiap proyek ambisius, jalan revitalisasi sekolah tak seluruhnya mulus. Di beberapa daerah, tahap administrasi masih tersendat. Ada sekolah yang belum menandatangani perjanjian kerja sama karena keterlambatan penyusunan dokumen teknis.

Kemendikdasmen pun meminta pemerintah daerah turun tangan lebih aktif, memastikan proses verifikasi dan pencairan tidak berhenti di tengah jalan. “Kami butuh sinergi cepat, karena revitalisasi ini tidak hanya tentang bangunan, tapi juga tentang kepercayaan publik terhadap efektivitas pemerintah,” kata Gogot.

Di sisi lain, ada juga tantangan teknis. Medan geografis yang sulit, keterbatasan tenaga kerja terampil, serta fluktuasi harga material menjadi faktor yang memengaruhi progres pembangunan. Namun sejauh ini, laporan lapangan menunjukkan tren positif—mayoritas proyek berjalan sesuai jadwal.

Bagi pemerintah, revitalisasi sekolah bukan proyek fisik belaka. Ia adalah simbol dari filosofi kerja Presiden Prabowo: cepat, konkret, dan berorientasi hasil.
Kebijakan ini juga membawa pesan sosial: bahwa negara hadir bukan hanya untuk membangun jalan dan jembatan, tetapi juga ruang di mana anak-anak bermimpi.

“Setiap bata yang dipasang adalah doa agar anak-anak kita belajar di tempat yang lebih baik,” ujar salah satu pejabat Kemendikdasmen dalam acara kunjungan lapangan di Jawa Tengah.

Di balik cat baru dan atap seng yang berganti genteng, tersimpan makna yang lebih dalam. Sekolah yang diperbarui adalah metafora tentang bangsa yang sedang memperbaiki dirinya—dari pondasi, bukan permukaan.

Tahun pertama pemerintahan Prabowo ditandai dengan upaya membangun cepat di banyak sektor, tetapi revitalisasi sekolah menjadi salah satu potret paling jelas dari arah kebijakan tersebut: kerja nyata dan hasil terukur.

Layaknya menanam pohon di tanah kering, hasilnya mungkin belum tampak segera. Namun, akar-akar perubahan sudah tumbuh kuat. Di setiap sekolah yang dicat ulang, di setiap papan tulis yang diganti, dan di setiap ruang belajar yang direnovasi, tersimpan secercah harapan baru.

Di sanalah masa depan Indonesia sedang disiapkan—satu ruang kelas demi satu ruang kelas.

Eko Harsono

Lipsus Selanjutnya
Di Balik Revisi Sejarah Nasional Indonesia: Antara Kebanggaan Nasional dan Penghapusan Ingatan”
Lipsus Sebelumnya
TKA Tercoreng Kemendikdasmen Usut Tuntas Pelanggaran Integritas Ujian Nasional

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar