Cari

Menteri PPPA Arifah Fauzi Tegaskan: Pendidikan Harus Jadi Ruang Aman, Setara, dan Inklusif



Schoolmedia News Jakarta == Di tengah gemuruh sorakan untuk kepemimpinan inklusif di kalangan generasi muda, sebuah ironi tampak mengganjal. Saat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyerukan pentingnya menumbuhkan nilai-nilai kepemimpinan yang berkeadilan, berkeadaban, dan inklusif dalam pembukaan Akademi Kepemimpinan Mahasiswa Nasional (AKMINAS) 2025.

Kekhawatiran yang lebih besar sedang menggelayuti benak para mahasiswa. Kegelisahan itu berpangkal pada fenomena politik dinasti yang kian masif, yang dikhawatirkan mengkhianati cita-cita kepemimpinan berbasis meritokrasi dan berpotensi menggelapkan masa depan demokrasi Indonesia.

Dalam forum AKMINAS 2025 yang diikuti ratusan mahasiswa lintas iman dan lintas kampus, Rabu (9/10), Menteri Arifah Fauzi dengan tegas menyatakan, "Forum ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah komitmen nyata untuk memastikan dunia pendidikan menjadi ruang yang aman, setara, dan bebas dari diskriminasi. Ruang yang menghargai keberagaman dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan." Ia juga menekankan bahwa pemimpin masa depan harus "berani memperjuangkan kesetaraan gender, perlindungan anak, serta keadilan sosial."

Namun, di luar dinding ruang seminar AKMINAS, semangat inklusif dan keadilan yang diusung oleh pemerintah terasa kontras dengan realitas politik. Bagaimana mungkin generasi muda bisa membangun kepemimpinan berbasis kapasitas, jika pintu-pintu kekuasaan politik kian didominasi oleh segelintir keluarga?

Tumpulnya Taji Meritokras

Menurut survei terbaru dari berbagai lembaga, kekhawatiran anak muda Indonesia terhadap politik dinasti cukup signifikan. Bahkan, sebuah riset menunjukkan bahwa lebih dari separuh (53,9%) anak muda Indonesia merasa situasi politik di negaranya buruk, dengan munculnya dinasti politik sebagai salah satu penyebab utama kepesimisan ini. Mereka khawatir bahwa praktik ini secara fundamental mencederai prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kompetisi sehat dan meritokrasi.

Di balik janji kepemimpinan muda yang inklusif, data menunjukkan bahwa banyak dari wajah-wajah muda di parlemen dan kepala daerah saat ini memiliki afiliasi erat dengan elite politik atau 'darah biru'. Kekuatan finansial, modal sosial, dan jaringan politik yang diwariskan seringkali jauh lebih efektif melanggengkan kekuasaan daripada rekam jejak, kapasitas, atau hasil kaderisasi yang ideal.

Seorang peserta AKMINAS, yang meminta namanya tidak disebutkan, berujar, "Kami didorong untuk menjadi pemimpin yang berkeadilan, tetapi bagaimana kami bisa bersaing secara adil jika jalur politik sudah di-booking oleh anak, menantu, atau kerabat pejabat? Gagasan Inklusif yang diajarkan di sini jadi terasa hipokrit di tengah sistem politik yang semakin eksklusif. 

Ancaman Nepotisme, Politik Dinasti dan Korupsi

Kritik terhadap dinasti politik bukan sekadar persoalan siapa yang berkuasa, tetapi lebih kepada risiko korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Para ahli dan pengamat demokrasi telah lama memperingatkan bahwa politik dinasti cenderung melemahkan mekanisme check and balances pemerintahan. Kontrol menjadi lemah karena orang-orang yang duduk di posisi kunci memiliki ikatan kekeluargaan, yang berpotensi menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan keluarga atau kelompok.

Tentu saja, tampilnya figur muda dalam politik selalu disambut baik sebagai bentuk regenerasi. Namun, ketika proses regenerasi tersebut lebih didasarkan pada privilese daripada perjuangan dari bawah melalui kaderisasi partai yang transparan dan akuntabel, maka demokrasi sejati terancam. Kepemimpinan yang sejati, seperti ditegaskan Menteri Arifah, seharusnya terbit dari kepekaan sosial dan keberpihakan terhadap isu-isu kemanusiaan, bukan sekadar warisan nama besar.

AKMINAS 2025, sebagai wadah strategis untuk mencetak agen perubahan, sesungguhnya membawa pesan moral yang kuat. Namun, pesan ini tidak akan bergema jika tidak ada tindakan nyata dari partai politik dan pemangku kebijakan untuk membatasi ruang gerak dinasti politik serta mengedepankan rekam jejak, kapasitas, dan pengalaman sebagai kriteria utama kepemimpinan.

Jika tren dominasi politik dinasti terus berlanjut, kekhawatiran para mahasiswa bahwa Indonesia akan diselimuti kegelapan demokrasi, di mana suara rakyat tak lagi dihargai dan kompetisi sehat mati suri, bukanlah sekadar pesimisme, melainkan peringatan keras bagi masa depan bangsa.

Tim Schoolmedia

Lipsus Selanjutnya
Antusiasme Membara Siswa dan Santri Ikut Olimpiade Madrasah Indonesia 2025
Lipsus Sebelumnya
PP TUNAS Resmi Berlaku, Sekolah Didorong Siapkan Ekosistem Digital Aman bagi Anak

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar