Cari

KONTEN DRAFT

Lemahnya Pengawasan Program MBG, Sekolah Berhak Menolak “Anak Kami Jadi Korban Makanan Gratis”



Schoolmedia News Jakarta == Pagi itu, Ani (38), seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Cisurupan, Garut, tampak gelisah saat melihat putrinya, Nisa (7), mengeluh sakit perut sepulang sekolah. Tak lama kemudian, Nisa muntah dan terlihat lemas. Di Puskesmas, Ani mendapati belasan anak lain dirawat dengan gejala serupa. “Katanya dari makanan gratis di sekolah. Tapi kenapa malah bikin anak saya keracunan?” keluh Ani, matanya berkaca-kaca.

Apa yang dialami Ani bukanlah kejadian tunggal. Sejak diluncurkan awal tahun ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebagai lompatan besar peningkatan gizi anak bangsa, kini menjadi sorotan karena rentetan kasus keracunan yang terus berulang. Teranyar, insiden serupa juga terjadi di Baubau, Banggai, dan sejumlah kota lainnya.

Di atas kertas, MBG adalah kebijakan mulia: menyediakan asupan gizi harian bagi lebih dari 80 juta siswa di seluruh Indonesia. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa niat baik tak cukup bila tak dibarengi kesiapan sistem.

Maya (42), guru SD Negeri di Banggai, menceritakan kekhawatiran yang muncul di kalangan tenaga pendidik. â€œKami yang di sekolah diminta jadi pengawas, tapi pelatihan tidak ada. Dapurnya baru selesai dibangun dua minggu sebelum program jalan. Kadang makanannya datang terlambat, kadang masih panas atau belum matang sempurna,” ungkapnya.

Tak sedikit orang tua yang mulai enggan mengizinkan anaknya makan dari dapur SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Mereka lebih memilih membekali anak dari rumah, meski sederhana. 

“Lebih baik saya bekali anak nasi dan telur dari rumah. Setidaknya saya tahu apa yang dia makan,” ujar Dedi, ayah tiga anak di Baubau.

Kritik Guru Besar Pangan UGM 

Menurut Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM, akar persoalan terletak pada lemahnya pengawasan dan besarnya target yang ingin dicapai dalam waktu singkat.

“Istilahnya too much too soon. Membangun 30 ribu dapur SPPG sekaligus menargetkan 80 juta siswa, itu bukan hal kecil. Apalagi dengan pengawasan yang belum siap,” jelasnya dalam forum diskusi di Kampus UGM, Jumat (26/9).

Menurut Prof. Sri, dapur skala massal yang memproduksi ribuan porsi dalam waktu terbatas sangat rawan kesalahan. Bila bahan mentah tidak diperiksa ketat, makanan bisa terkontaminasi bakteri patogen. Bahkan, proses masak yang terburu-buru dapat menghasilkan makanan tidak matang merata.

Lebih parah lagi, Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga baru belum memiliki sistem pengawasan yang mapan. Sementara itu, sebagian besar daerah masih kekurangan tenaga ahli pangan dan nutrisi di tingkat sekolah.

Prof. Sri juga menyoroti ketiadaan payung hukum yang kuat. Ia mencontohkan Jepang yang memiliki undang-undang resmi soal makan siang sekolah.

“Kita belum punya aturan khusus untuk menjamin keamanan dan tanggung jawab dalam program sebesar ini. Padahal ini menyangkut nyawa dan masa depan anak-anak,” ujarnya.

Sekolah Berhak Menolak MBG

Ia menambahkan bahwa sekolah dan orang tua berhak menolak program jika merasa belum siap. “Tidak bisa dipaksakan. Kalau belum siap dan menolak, itu sah dan tidak bisa dipidanakan,” tegasnya.

Kasus keracunan ini bukan hanya soal kesehatan anak, tapi juga soal kepercayaan publik terhadap program negara. Bila dibiarkan tanpa evaluasi serius, bukan tidak mungkin MBG akan gagal mencapai tujuannya: meningkatkan status gizi anak Indonesia.

Prof. Sri menyarankan agar pemerintah segera melakukan pendataan status gizi siswa sejak awal program dan mengevaluasi dampaknya secara berkala. “Kalau gizi tidak naik dan justru muncul penyakit, berarti ada yang salah. Dan itu harus segera diperbaiki,” katanya.

Di tengah mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045, memastikan anak-anak sehat dan cukup gizi adalah prasyarat utama. Tapi program MBG yang terburu-buru dan minim pengawasan justru membuka ruang bahaya.

Para guru dan orang tua tidak menolak program makan gratis. Mereka justru mendambakan kebijakan yang aman, terjamin mutunya, dan dilaksanakan secara bertahap dan matang.

Karena bagi Ani, Maya, dan jutaan orang tua lainnya, satu hal paling utama tak bisa ditawar.

 â€œKami hanya ingin anak kami makan dengan aman. Bukan jadi korban dari sistem yang belum siap.”

Tim Schoolmedia 

Lipsus Sebelumnya
Indonesia Tegaskan Peran Aktif di Forum SOC-COM ke-21, Dorong Integrasi dan Sinergi ASEAN Pasca-2025

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar