Cari

Hari Downsyndrom Sedunia, 30% Anak Penyandang Disabilitas Tidak Miliki Akses Pendidikan

 

Schoolmedia News Jakarta ---- Hampir 30 persen anak penyandang disabilitas tidak memiliki akses pendidikan. Di antara mereka yang memiliki akses ke pendidikan, proporsi anak  perempuan disabilitas lebih rendah daripada anak laki-laki, yaitu 39 persen dari semua anak-anak disabilitas mengenyam pendidikan di sekolah.

Korelasi negatif antara peserta didik disabilitas dan tingkat kehadiran di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di antara negara-negara berpenghasilan 
rendah dan menengah, kondisi disabilitas mengurangi tingkat kehadiran di sekolah sebesar 61 persen untuk anak laki-laki dan 59 persen untuk anak perempuan.

Demikian dikatakan Joko Yuwono, Pengurus Asosiasi Profesi Ortopedagogik Indonesia (APOI) dalam peringatan Hari Down Syndorom Dunia yang dilaksanakanKementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Dharma Wanita Persatuan Kemendikbudristek melakukan Peringatan Hari Down Syndrome Internasional dengan menggelar Webinar Pendidikan Khusus yang bertema “Pendidikan Bermutu Bersama Kami”.

Dikatakan, rata-rata lama sekolah di kalangan anak-anak disabilitas hanya 4,7 tahun, sedangkan rata-rata nasional 8,8 tahun. Tingkat penyelesaian sekolah 
dasar adalah 54 persen untuk anak-anak disabilitas , dibandingkan dengan 95 persen untuk anak-anak disabilitas berkebutuhan khusus. Kesenjangan ini lebih 
besar di tingkat sekolah menengah, menunjukkan anak-anak disabilitas menghadapi banyak hambatan saat tingkat pendidikannya semakin tinggi.

Indonesia telah membuat kemajuan yang patut diapresiasi dalam membangun kerangka kebijakan Pendidikan Inklusif yang solid, implementasi kebijakan 
tetap menjadi tantangan berat karena menghadapi berbagai masalah. Pendidikan Inklusif belum sepenuhnya diutamakan ke dalam sistem Pendidikan, karena tanggung jawab yang tidak selaras dalam hal penyampaian layanan, penganggaran, dan kapasitas administratif yang terbatas untuk mengimplementasikan kebijakan.

Menurut dia, Pendidikan Inklusif membutuhkan banyak sumber daya untuk menyediakan pelatihan guru dan staf tambahan, peningkatan kapasitas administrasi, peningkatan anggaran dan data yang berkualitas tentang anak berkebutuhan khusus. Koordinasi lintas sektor yang lebih baik juga penting untuk mengatasi 
masalah ini. 

"Kesenjangan implementasi sebagian muncul dari pembagian kerja, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud-ristek) 
menetapkan kebijakan dan peraturan, sedangkan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah," ujarnya

Pemerintah daerah bertanggung jawab membuat peraturan daerah, menetapkan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, menyelenggarakan pelatihan bagi guru di sekolah, membangun infrastruktur dan membiayai program pendidikan inklusif.

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 menetapkan bahwa kabupaten/kota harus menyediakan setidaknya satu sekolah penyelenggara pendidilan inklusif pada setiap kecamatan dan satu guru pembimbing khusus beserta peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan 
anak-anak berkebutuhan khusus.

Ketua Umum Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrom (POTADS) Noni Fadhilah mengatakan ada persepsi yang salah dalam memandang para penyandang sindroma down (down syndrome) sehingga membuat penyandang susah berkembang. "Para orang tua yang anaknya menyandang sindroma down cenderung pasrah. Pasrah di sini adalah menganggap si anak tidak bisa melakukan apa-apa. Persepsi inilah yang mengakibatkan penyandang down syndrome sulit berkembang.

Down Syndrom bukan penyakit. Sebutan untuk mereka adalah penyandang atau anak yang terlahir dengan Down Syndrome. Dari hasil penelitian kedokteran, orang tua yang melahirkan anak dengan Down Syndrome pada umumnya akan mudah mengalami stres, mudah marah, perasaan bersalah, dan sebagainya. "Ini akan berlarut jika terus menonton tayangan CHSI," ujar Noni.

Down Syndrome terbentuk karena suatu abnormalitas atau kesalahan perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan saat bertemunya sel telur dan sperma.  

“Kami meminta kepada lembaga penyiaran atau rumah produksi meluruskan tentang Down Syndrome, bukan disebabkan karena dosa, karma, kutukan, dan tidak menggunakan kalimat yang dapat menyesatkan pandangan masyarakat tentang Down Syndrome,” ujar Noni.

Penulis Eko 

Lipsus Selanjutnya
Kemenag RI dan MUI Singapura Bertemu Bahas Sidang SOM-MABIMS 2023
Lipsus Sebelumnya
Dorong Peran Pelaku Usaha Perempuan dalam Konteks Bisnis dan HAM

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar