Foto: Unsplash
Schoolmedia News, Jakarta – Belum lama ini beredar kabar yang menyatakan bahwa vaksin Sinovac yang disuntikan sudah kadaluarsa. Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi merespons kabar yang menyebutkan bahwa Vaksin Sinovac akan kedaluwarsa pada 25 Maret 2021. Menurut pihak produsen, vaksin tersebut diproduksi pada September hingga November 2020 dengan masa simpan selama tiga tahun. Namun, guna memastikan keamanan vaksin, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) baru yang mendapatkan data stability produk selama enam bulan.
“BPOM menentukan masa simpan 1,2 juta vaksin akan habis masa simpannya pada 25 Maret 2021. Sementara yang 1,8 juta sampai Mei 2021. Jadi bukan dipercepat, tapi untuk memastikan keamanan dan khasiat vaksin,” ujarnya saat memaparkan perkembangan vaksinasi COVID-19 di Indonesia pada Selasa (16/3/2021) melalui siaran langsung di channel Youtube Kemenkes.
Lebih lanjut, Siti menjelaskan bahwa vaksin Sinovac tahap pertama terdiri dari 1,2 juta yang tiba pada awal Desember dan 1,8 juta pada akhir Desember 2020 sudah habis digunakan untuk tenaga kesehatan dan petugas pelayanan publik.
“Kami sampaikan baik vaksin 1,2 juta maupun yang 1,8 juta semuanya saat ini sudah tidak ada lagi di fasilitas kesehatan karena sudah habis untuk vaksinasi kepada tenaga kesehatan dan petugas pelayanan publik,” kata Siti.
Ia juga memastikan pemerintah tidak mungkin mendistribusikan dan menggunakan vaksin COVID-19 yang bermasalah kepada masyarakat.
Sementara itu, vaksin COVID-19 yang sekarang digunakan untuk tahap kedua bagi lansia dan petugas pelayanan publik masih menggunakan vaksin produksi Sinovac yang diterima dalam keadaan setengah jadi kemudian diproses oleh Bio Farma. Menurutnya, vaksin ini baru diproduksi akhir Februari 2021 sehingga masa simpan masih cukup panjang. Ia juga menjelaskan bahwa ada perbedaan kemasan pada kedua vaksin tersebut.
Baca juga: Bebas Bea Cukai, Ini Manfaat Perjanjian Dagang Indonesia-Australia
“Kemasannya jauh berbeda, tulisannya ‘COVID-19 Vaccine’ berbeda dengan yang awal, yakni ‘SARS-COV-2 Vaccine’. Selain itu, botol vaksin ini juga lebih besar sehingga bisa disuntikkan untuk 9 sampai 11 orang,” jelasnya.
Ia pun mengimbau masyarakat agar tidak perlu khawatir terkait keamanan dan mutu vaksin. Siti juga memastikan bahwa vaksin Sinovac produksi Bio Farma memiliki masa simpan yang cukup lama untuk vaksinasi tahap kedua.
Menanggapi banyak orang yang melakukan pengujian antibodi secara mandiri untuk menguji kadar antibodi yang muncul dalam tubuh usai penyuntikan vaksin, Siti Nadia menegaskan, pengujian antibodi secara mandiri tidak disarankan oleh pemerintah. Menurutnya, uji netralisasi yang dimaksud tidak mudah dilakukan dan sangat berisiko, karena menggunakan virus yang hidup.
Pengujian ini menjadi gold standart untuk menentukan imunogenitas dan hanya bisa dilakukan di laboratorium yang terbatas. Selain itu, sampai saat ini belum ada pengujian standar internasional yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memeriksa kadar antibodi pascavaksinasi. Dalam kesempatan tersebut, Siti Nadia juga mengatakan Pemerintah menunda distribusi vaksin AstraZeneca. Hal ini bukan karena kasus penggumpalan darah yang terjadi, tetapi karena prinsip kehati-hatian mengikuti arahan dari BPOM.
Berdasarkan data WHO, saat ini 17 juta orang mendapatkan vaksin AstraZeneca. Adapun, kasus penggumpalan darah yang dilaporkan sebanyak 40 kasus. Dalam hal ini, BPOM bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), serta para ahli tengah meninjau terkait kriteria penerima vaksin AstraZeneca apakah akan sama atau tidak dengan vaksin produksi Sinovac atau Bio Farma.
Tinggalkan Komentar