Foto: Dok.Kementan
Schoolmedia News, Jakarta - Uni Eropa tidak menunjukkan kepedulian atas dampak sosial dan ekonomi bagi para pekerja sektor sawit yang akan timbul sebagai akibat penerapan kebijakan pembatasan masuk produk sawit Indonesia ke pasar Eropa. Hal ini terlihat dari tidak adanya respon anggota Parlemen Eropa pada diskusi virtual bertajuk “Expanding Labour Migration to Europe: A Multi-stakeholder Vision” pada (17/2) saat wakil dari GAPKI dan KBRI Berlin mengajukan pertanyaan apakah Uni Eropa bisa memfasilitasi penyerapan lebih dari 10 juta pekerja sektor sawit Indonesia untuk bekerja di sektor pertanian Uni Eropa karena berpotensi kehilangan pekerjaan akibat kebijakan pembatasan produk sawit Indonesia di pasar Eropa. Diskusi virtual ini diselenggarakan oleh sejumlah lembaga konsultan kebijakan publik dan think tank Eropa yaitu Ashoka Germany, Overseas Development Institute, porCausa dan Center for Global Development. Diskusi ini dihadiri oleh sekitar 120 peserta dari sejumlah negara anggota Uni Eropa.
Salah satu narasumber, Damian Boeselager yang merupakan anggota Parlemen Eropa dari Jerman dan penggerak Green/European Free Aliance (EFA) yang berfokus pada isu-isu kesejahteraan sosial dan lingkungan hidup di Parlemen Eropa pun tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaaan dari GAPKI dan KBRI Berlin.
Nasib petani sawit Indonesia tidak menjadi perhatian politisi hijau dengan adanya kebijakan pembatasan masuk produk sawit Indonesia ke pasar Uni Eropa sejak 2019. Diskusi yang di latar belakangi dari proposal New Pact on Migration and Asylum dari Komisi Eropa pada September 2020 yang berisi ide perombakan kebijakan penanganan migran di Uni Eropa, termasuk cara meningkatkan jumlah pekerja migran dari negara non-UE dengan menciptakan jalur migrasi yang sah.
Wakil KBRI Berlin kembali menyatakan bahwa akan menjadi win-win solution bagi Uni Eropa dan Indonesia jika Uni Eropa bersedia menyerap lebih dari 10 juta pekerja sawit Indonesia kedalam sektor pertaniannya, karena akan mengatasi masalah keberadaan produk sawit Indonesia di pasar Eropa yang selama ini ditentang Uni Eropa dan di lain pihak juga akan membantu Indonesia dalam hal penyerapan tenaga kerja. Sayangnya Damian Boeselager maupun narasumber lain yang terdiri dari para politisi, pakar dan penggiat isu sosial dan migrasi tersebut tidak merespon pertanyaan ini.
Baca juga: Siswa SMA PGRI 2 Kayen Raih Penghargaan Honorable Mention ISPO 2021
Para narasumber dan peserta diskusi lebih tertarik membahas isu normatif kewenangan UE dan negara anggota dalam hal pekerja migran, kepentingan politik populis anti imigran di beberapa negara anggota UE, dan perlindungan HAM bagi migran dan pencari suaka. Uniknya, jawaban atas pertanyaan GAPKI dan KBRI Berlin mungkin bisa didapat dari moderator diskusi, Shada Islam, yang menyampaikan pendapat belum matangnya kebijakan penanganan migran di Uni Eropa.
“Kita tidak bisa mencapai titik temu penyusunan kebijakan terkait migran dan pencari suaka. Parlemen Eropa harus lebih progresif dalam menentukan langkah terkait isu ini. Pendekatan kepada negara anggota dan sektor swasta dapat menjadi pilihan agar kebijakan tepat sasaran”, ungkap Shada Islam.
Sejak akhir 2019 Indonesia dan Uni Eropa bersengketa di WTO terkait kebijakan penolakan Uni Eropa atas masuknya produk biodiesel asal minyak sawit ke pasar Eropa. Indonesia melakukan perlawanan dengan memberlakukan kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang sangat diperlukan oleh industri-industri baja di UE. Namun Indonesia tidak sendirian dalam perseteruannya dengan UE. Tercatat beberapa negara produsen sawit seperti Kolombia, Kosta Rika, Guatemala, Malaysia dan Thailand ikut bergabung dalam konsultasi dengan WTO.
Tinggalkan Komentar