Cari

Energi Fosil Cemari Lingkungan, Ini Solusi dari Akademisi 

Foto: Pixabay

 

Schoolmedia News, Medan - Bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas alam masih menjadi sumber energi pembangkit energi listrik. Padahal, penggunaan bahan bakar fosil ini telah memberikan dampak lingkungan dengan adanya pencemaran udara, air, dan dihasilkannya berbagai gas emisi yang menyebabkan gas emisi rumah kaca (global warming).

Untuk mengurangi kelangkaan bahan bakar fosil yang ketersediannya mulai berkurang, dan untuk mengurangi pencemaran lingkungan, pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) perlu diimplementasikan dan dikembangkan.

Isu itulah yang diangkat oleh Prof. Ir. Hadi Suyono, S.T., M.T., Ph.D., IPU dari Universitas Brawijaya (UB) Malang.

 

Baca juga: Kemendikbud: Ikut Kompetisi Sains Nasional? Ini Prosesnya

 

Mengangkat tema ‘Strategi Percepatan Integrasi Pembangkit Energi Baru dan Terbarukan pada Sistem Tenaga Listrik di Indonesia’, melansir dari laman RRI, Hadi Suyono meraih gelar profesor dalam Bidang Ilmu Rekayasa Sistem Daya dan Kecerdasan Buatan.

Dalam pidato ilmiahnya, ia mengungkapkan, pemilihan topik ini didasarkan pada pentingnya implementasi dan pengembangan injeksi, serta integrasi pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) ke dalam sistem tenaga listrik yang sudah ada. 

“Tujuannya, untuk mengurangi penggunaan pembangkit fosil yang telah memberikan dampak lingkungan yang kurang baik,” katanya, Rabu, 22 Juli 2020 di Medan. 

Menurutnya, pembangkit EBT dengan sumber matahari dan angin memberikan emisi CO2 yang paling rendah dibandingkan dengan teknologi pembangkit lainnya.

Dengan diimplementasikannya pembangkit listrik berbasis EBT, maka kualitas udara dan lingkungan akan semakin baik.

“Ketersediaan teknologi dan pembangkit EBT juga akan memberikan jaminan peningkatan ketersediaan pekerjaan dan manfaat ekonomi lainnya,” ujar pria yang kini menjabat sebagai Ketua Jurusan Elektro FT-UB ini.

 

Baca juga: Ingin Unjani Jadi Digital Smart Campus Berkarakter Militer, Ini yang Dilakukan KASAD

 

Dibandingkan dengan teknologi bahan bakar fosil, Hadi melanjutkan, yang biasanya mekanis dan padat modal, industri energi terbarukan lebih padat karya.

Panel surya membutuhkan tenaga kerja untuk instalasinya, wind farm membutuhkan teknisi untuk pemeliharaan. 

“Ini berarti bahwa secara rata-rata, lebih banyak pekerjaan yang dapat diciptakan untuk setiap unit listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan dibandingkan dari bahan bakar fosil,” ungkap dia.

Indonesia dengan kondisi geografisnya mempunyai potensi pembangkit EBT yang sangat besar dan masih belum banyak diekploitasi dan dikembangkan.

Karena itu masih perlu banyak usaha dan kesempatan untuk implementasi EBT pada sistem kelistrikan di Indonesia, yang mempunyai banyak keuntungan seperti ramah lingkungan dan ketersedian sumber primernya sangat banyak dan tak terbatas.

Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dinilainya masih perlu untuk melakukan akselerasi untuk merealisasikan 23% bauran energi pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050.

 

Baca juga: Begini 7 Prinsip Utama Pengajaran di Masa Pandemi untuk Guru

 

Selain itu, perlu adanya strategi akselerasi implementasi pembangkit EBT untuk mencapai target yang telah dibuat.

Strategi itu diantaranya dengan penguatan dan implementasi regulasi yang telah pemerintah buat, pengembangan sistem pembangkit hibrida pada sistem yang yang telah ada yang biasanya menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

"Juga implementasi dan pengembangan injeksi pembangkit EBT pada sistem distribusi yang secara kapasitas kecil dan dapat secara massif dikembangkan, serta meningkatkan integrasi hybrid pembangkit listrik tenaga surya dan angin,” papar lulusan Electrical Engineering di University of Malaya Kuala Lumpur, Malaysia ini.

Strategi di atas, kata Hadi, dapat dilakukan oleh customer siapa yang akan berkontribusi pada pengembangan EBT ini walaupun dengan skala kecil tetapi akan banyak dari segi jumlah, namun tetap perlu memperhatikan aspek keteknikan, serta aspek ekonomi.

Lipsus Selanjutnya
Kolaborasi untuk Pemerataan Digitalisasi dan Konektivitas Nasional
Lipsus Sebelumnya
Kominfo: Ada Peluang Lewat Budaya Digital

Liputan Khusus Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar