Ilustrasi penelitian, Foto: Pixabay
SCHOOLMEDIA NEWS, Semarang - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengimbau para peneliti dari berbagai lembaga dan instansi untuk melakukan risef dan penelitian secara efektif sehingga tidak membutuhkan anggaran dalam jumlah besar.
"Duit negara yang jumlahnya tak banyak malah diecer-ecer kesana-kemari dan akhirnya malah tidak jadi apa-apa," kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Muhammad Dimyati di Hotel Patra Jasa Semarang, Jawa Tengah, Selasa, 6 Agustus 2019.
Menurut dia, hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab riset di Indonesia tidak maju dan berkembang. Ia mengatakan, pihaknya kaget dengan adanya dua lembaga melakukan penelitian terhadap sesuatu hal yang sama secara terpisah.
"Sekitar dua pekan lalu BPPT 'mempublish' hasil penelitian cangkang kapsul obat dari rumput laut, sedangkan beberapa pekan kemudian, Unair melakukan hal yang sama dan hasilnya sama-sama dimuat di media," ujarnya usai membuka konferensi internasional dalam pengembangan wilayah.
Baca juga: Optimalkan Peran Pelajar, BI Gorontalo Ajari Digitalitasi Ekonomi
Faktor penghambat berkembangnya riset lainnya, kata Dimyati, adalah keterbatasan anggaran dan banyaknya peneliti Indonesia yang hebat secara individu, namun lemah dalam kerja sama tim. Padahal, kata Dimyati, untuk membuat riset yang besar mesti dilakukan secara tim.
Faktor lainnya, Dimyati melanjutkan, fasilitas laboratorium di Indonesia belum semaju di luar negeri, bahkan kekurangan alat dan teknologi saat akan meneliti hal-hal yang sifatnya mikro sehingga mesti menggandeng pihak luar.
"Kemudian, riset yang dilakukan peneliti Indonesia sering tidak melihat kebutuhan pasar atau industri sehingga akibatnya, hasil penelitian sering tak bisa diterima oleh industri karena tak ada 'link and match'," kata Dimyati didampingi Kabid Riset dan Pengembangan Bappeda Pemprov Jateng Tri Yuni Atmojo.
Baca juga: Akademisi Sebut Rektor Dalam Negeri Mampu Berkompetisi
Menurut Dimyati, hal itu terbalik dengan berbagai metode penelitian di luar negeri. Untuk mengatasi hal tersebut, Dimyati menyebutkan, bahwa pemerintah kini menetapkan produk yang boleh diriset hanya 45 macam saja untuk lima tahun ke depan. Masing-masing produk, kata Dimyati, akan dikawal oleh instansi yang diberikan penugasan.
"Melalui metode itu maka akan dapat diketahui mana penelitian yang berhasil dan mana yang tidak sehingga 'reward and punishment' bisa diterapkan untuk memacu penelitian kedepannya," ujarnya.
Produk-produk yang boleh diriset itu antara lain, pada bidang pangan seperti upaya memproduksi padi dari 6 ton menjadi 10 ton per hektare, pengolahan energi sawit menjadi bahan bakar dan pemanfaatan energi nuklir.
Tinggalkan Komentar