
Schoolmedia Jakarta = Pemerintah menegaskan komitmen memperkuat perlindungan anak di ruang digital di tengah meningkatnya kasus kekerasan dan eksploitasi daring. Pesan ini disampaikan dalam pembukaan Festival Hari Anak Sedunia (HAS) 2025 di Jakarta, Rabu (20/11), yang mempertemukan kementerian, organisasi masyarakat sipil, serta lebih dari 400 peserta dari berbagai daerah.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyatakan negara berkewajiban menjamin setiap anak aman saat beraktivitas di internet. Ia menekankan bahwa peluang digital harus berjalan seiring dengan perlindungan komprehensif bagi anak.
âRuang digital memberikan peluang besar bagi anak, namun juga menghadirkan risiko serius, seperti eksploitasi seksual online, perundungan siber, paparan konten berbahaya, dan manipulasi digital. Negara wajib hadir dengan sistem perlindungan yang kuat dan responsif,â ujar Menteri PPPA.
Arifah menegaskan ekosistem digital yang aman hanya dapat terwujud jika keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan platform digital âbergerak bersamaâ. Menurutnya, peningkatan kompetensi digital anak harus dibarengi pengawasan yang memadai serta regulasi yang efektif.
Data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan sejumlah kerentanan yang masih membayangi anak-anak. Sebanyak 14,49 persen anak laki-laki dan 13,78 persen anak perempuan usia 13â17 tahun mengaku pernah mengalami perundungan siber. Sebanyak 4 persen lainnya menjadi korban kekerasan non-kontak di dunia digital, termasuk pelecehan berbasis gambar atau pesan seksual.
Selain itu, ancaman lain seperti paparan pornografi, praktik grooming, kecanduan gawai, perjudian daring, hingga konten ekstremisme masih menghantui ruang digital yang sehari-hari digunakan anak.
Di lapangan, dampak kekerasan digital kerap meninggalkan trauma mendalam. Salah satu kisah dipaparkan dalam forum dialog HAS 2025, mengenai seorang anak perempuan berusia 14 tahun dari Jawa Timur yang menjadi korban grooming oleh seseorang yang dikenalnya dari permainan daring. Pelaku memanipulasi korban untuk mengirimkan foto pribadi, kemudian mengancam akan menyebarkannya.
âDia sempat berhenti sekolah selama dua bulan karena takut dan malu. Kasusnya baru terungkap setelah guru sekolah menyadari perubahan perilakunya,â ujar seorang konselor pendamping. Kasus tersebut kini ditangani unit terkait, tetapi pengalaman itu menunjukkan lemahnya ketahanan anak saat menghadapi ancaman digital terselubung.
Regulasi Baru Ruang Digital Anak Disiapkan
Kemen PPPA menyatakan perlindungan anak di ranah daring merupakan agenda strategis nasional. Pemerintah tengah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS), hasil kerja sama enam kementerian. Selain itu, Perpres No. 87 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Dalam Jaringan 2025â2029 juga disiapkan sebagai panduan kebijakan jangka panjang.
Regulasi tersebut menegaskan tanggung jawab penyelenggara sistem elektronikâtermasuk media sosial, platform hiburan digital, dan marketplaceâuntuk menghadirkan fitur keamanan dan mekanisme pelaporan yang lebih ramah anak.
âSetiap anak berhak tumbuh tanpa ancaman kekerasan dan eksploitasi di dunia maya. Negara hadir untuk memastikan ruang digital menjadi tempat yang aman, inklusif, dan memberdayakan bagi seluruh anak Indonesia,â ujar Arifah.
Selain memperkuat regulasi, Kemen PPPA mengembangkan Ruang Bersama Indonesia (RBI) sebagai kelanjutan program Desa Ramah Perempuan dan Anak (DRPPA). RBI berfungsi sebagai forum koordinasi lintas pihak yang memastikan desa bebas stunting dan kekerasan, termasuk kekerasan berbasis digital. Masyarakat dapat melapor ke Call Center SAPA 129 jika melihat atau mengetahui adanya kekerasan terhadap anak.
âRBI memastikan setiap pihak bergerak bersama untuk mencegah dan menangani kekerasan. Negara hadir, masyarakat berdaya, dan anak harus tumbuh dalam lingkungan yang aman,â ujar Menteri PPPA.
Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Mutia Hafid, menekankan perlunya kewaspadaan seluruh pihak dalam menjaga keselamatan anak di dunia maya.
âDunia digital adalah ruang yang membutuhkan kehati-hatian. Anak-anak perlu ditunda aksesnya terhadap platform atau konten yang belum sesuai usia, sementara orang tua harus aktif mendampingi,â katanya.
Mutia menyampaikan, keselamatan anak tidak bisa bergantung pada regulasi saja. Literasi digital keluarga menjadi kunci untuk mengurangi risiko, termasuk membatasi penggunaan gawai pada usia dini.
Komitmen Kolaborasi
Festival HAS 2025 diselenggarakan Kemen PPPA dan Save the Children Indonesia dengan tema âListen to the Future: Anak-Anak Tangguh Menghadapi Tantangan Digital, Krisis Iklim, dan Pemenuhan Hak Anak.â Acara ini dihadiri anak, orang muda, perwakilan lembaga pemerintah, penyelenggara sistem elektronik, serta mitra pembangunan.
Sebanyak 18 kementerian, perusahaan teknologi, dan mitra pembangunan menandatangani Deklarasi Aksi Kolaborasi Perlindungan Anak di Ranah Dalam Jaringan dengan tajuk âAnak Tangguh dan Berdaya Menuju Indonesia Emas 2045.â
CEO Save the Children Indonesia, Dessy Kurwiany Ukar, menyatakan partisipasi anak harus ditempatkan sebagai bagian dari penguatan tata kelola digital.
âAnak-anak menghadapi risiko yang semakin kompleks. Partisipasi mereka melalui Digital Youth Council dan komitmen pemerintah menjadi kunci untuk membangun tata kelola digital yang aman dan partisipatif,â ujarnya.
Digital Youth Council (DYC), yang kini beranggotakan 10 kelompok anak dari berbagai daerah, berperan memberi rekomendasi kepada kementerian dan penyedia platform digital.
Festival HAS 2025 berlangsung 20â22 November dengan berbagai kegiatan seperti edukasi perlindungan anak digital, pameran praktik baik pemenuhan hak anak, Webinar Jejak KREASI, dan pertunjukan âAku, Kamu, Kita adalah Bumiâ di Taman Ismail Marzuki sebagai puncak Kampanye Aksi Generasi Iklim 2025.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar