
Aturan Baru Budaya Sekolah Aman Berlaku 2026 Disiapkan
Schoolmedia News Jakarta â Di sebuah ruang pertemuan di bilangan Jakarta Pusat, Rabu (19/11), suasana tampak lebih hidup daripada biasanya. Para peserta, mulai dari pejabat lintas kementerian, komisioner lembaga negara independen, pakar pendidikan, hingga perwakilan organisasi masyarakat sipil, saling bertukar pandangan tentang satu isu yang belakangan kian mendesak: kekerasan di lingkungan pendidikan.
Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang digelar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) itu bukan sekadar forum rutin.
Ia menjadi ruang penting untuk mematangkan penyempurnaan regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikanâsebuah upaya yang disebut pemerintah sebagai fondasi bagi âbudaya sekolah amanâ yang ingin diwujudkan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Muâti menyampaikan langsung arah kebijakan itu di hadapan peserta. Dalam paparannya, ia menegaskan target penerbitan regulasi baru yang lebih komprehensif dan humanis. âKemendikdasmen menargetkan regulasi penyempurnaan ini dapat berlaku mulai semester II tahun pelajaran 2025â2026,â ujarnya.
Target ambisius ini bukan tanpa alasan. Dengan lebih dari 81 juta penduduk Indonesia berada pada kelompok usia sekolah, setiap kebijakan terkait perlindungan peserta didik berarti berhubungan dengan masa depan bangsa.
âMasa depan Indonesia ditentukan oleh peserta didik hari ini. Kita tidak dapat menyelesaikan persoalan ini sendiri. Diperlukan pendekatan kolaboratif dan partisipasi semesta,â kata Muâti.
Kekerasan Disekolah Bertransformasi
Dalam diskusi itu, persoalan kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan dipahami tidak lagi berbentuk tunggal. Kekerasan fisik dan psikologis yang dulu lebih mudah dikenali kini berkelindan dengan bentuk baru yang lahir dari ruang digital.
âKekerasan yang terjadi di kalangan pelajar tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga semakin marak di ruang digital,â ucap Muâti. Kekerasan siber yang berawal dari komentar, unggahan, atau pesan pribadi di media sosial kerap merembet menjadi konflik fisik di dunia nyata.
Dalam praktiknya, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) dinilai memiliki semangat yang baik. Namun, implementasinya belum optimal.
Menurut Muâti, salah satu kendalanya adalah struktur pelaksanaan yang terlalu birokratis sehingga menyulitkan satuan pendidikan mengaktualisasikannya secara lincah dan responsif.
Karena itu, Kemendikdasmen mendorong penyempurnaan peraturan melalui pendekatan yang lebih humanis, kultural, dan kolaboratif. Tujuannya bukan hanya memperbaiki mekanisme penanganan, tetapi menanamkan budaya yang membuat kekerasan tidak mendapat ruang tumbuh.
âKita perlu menerbitkan Permen Dikdasmen yang fokus membangun budaya sekolah yang aman dan nyaman. Regulasi ini harus menekankan gerakan pendidikan karakter yang melibatkan semua pihak, bukan sekadar instrumen birokrasi,â ujarnya.
Bangun Budaya Bukan Aturan
Salah satu penekanan penting dalam arah kebijakan baru ini adalah integrasi dengan program pendidikan yang sudah berjalan. Muâti menyebut beberapa di antaranya, seperti gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, pembelajaran berbasis deep learning, serta penguatan kegiatan ekstrakurikuler seperti kepanduan, kerohanian, dan aktivitas yang membentuk karakter.
Menurutnya, budaya sekolah aman tidak dapat lahir dari instruksi formal semata. Ia harus hidup dalam keseharian peserta didik, didukung lingkungan yang sehat, dan diperkuat contoh dari para pendidik dan orang dewasa di sekitar mereka.
Dalam forum dua hari itu, diskusi berlangsung aktif. Hadir perwakilan dari Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM, Komisi Nasional Disabilitas, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta berbagai kementerian seperti Bappenas, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian PPPA, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Dalam Negeri, hingga Kemenko PMK.
Tidak ketinggalan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media massa yang selama ini banyak melakukan advokasi dan peliputan kasus kekerasan terhadap anak.
Selain cakupan peserta yang luas, DKT ini juga melibatkan Satgas dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (TPPK) dari berbagai daerah serta perwakilan pelajar. Suara mereka menjadi bagian penting dalam merancang aturan yang lebih dekat dengan realitas sekolah.
Kapasitas TPPK Di Sekolah Belum Merata
Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikdasmen, Rusprita Putri Utami, memaparkan hasil evaluasi awal implementasi Permendikbudristek 46/2023 yang dilakukan bersama Inspektorat Jenderal dan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP). Salah satu temuan umum adalah belum meratanya pemahaman dan kapasitas TPPK di sekolah-sekolah.
âForum ini juga membahas hasil evaluasi yang dilakukan Inspektorat Jenderal dan BSKAP. Kami berharap rangkaian kegiatan ini memberikan kontribusi nyata dalam mematangkan kebijakan yang berpihak pada peserta didik melalui pendekatan humanis, kultural, dan partisipatif,â ujar Rusprita.
Bagi Kemendikdasmen, penataan ulang regulasi tidak hanya bermaksud memperkuat aspek pencegahan dan penanganan, tetapi juga menciptakan ruang aman yang berkelanjutan. Gagasan tentang budaya sekolah aman menjadi semakin penting karena ancaman kekerasan kini muncul dalam bentuk yang kian kompleks.
Di akhir diskusi hari pertama, sejumlah peserta berdiri berkelompok kecil di sudut ruangan, membahas sambil membuka catatan. Mereka datang dari latar berbeda, namun membawa keprihatinan yang sama: berbagai kasus kekerasan yang mencederai dunia pendidikan selama ini.
Kemendikdasmen menegaskan bahwa penyempurnaan regulasi bukanlah tujuan akhir, melainkan fondasi bagi gerakan bersama yang lebih luas. Upaya membangun budaya sekolah aman, kata Muâti, harus selaras dengan arah kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa serta visi âPendidikan Bermutu untuk Semua.â
Jika sesuai rencana, aturan penyempurnaan ini akan mulai berlaku pada semester kedua tahun pelajaran 2025â2026. Harapannya, ketika regulasi baru itu diberlakukan kelak, sekolah-sekolah tidak lagi sekadar menjadi ruang belajar, tetapi juga tempat yang benar-benar aman bagi setiap anak untuk tumbuh menjadi warga bangsa yang berkarakter.
Dalam suasana DKT yang berlangsung hingga Kamis (20/11), semangat itu menguat. Ada tekad untuk memastikan bahwa pendidikan bukan hanya soal capaian akademik, tetapi juga tentang membangun manusia Indonesia yang saling menghargai, terlindungi, dan bebas dari kekerasan.
Sebuah visi yang tampaknya sederhana, tetapi membutuhkan keberanian politik, kehadiran negara, dan partisipasi masyarakat secara menyeluruh.
Pada akhirnya, persoalan kekerasan di sekolah bukan hanya isu pendidikan; ia adalah isu kemanusiaan. Dan seperti yang ditegaskan Mendikdasmen, hanya kolaborasi luas dan komitmen bersama yang bisa membawa Indonesia menuju ekosistem pendidikan yang benar-benar aman bagi semua.
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar